Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Kamis, 10 Juli 2025

PKB Kritik Wamenkum HAM Beropini Edhy Prabowo-Juliari Layak Dituntut Mati

* ICW: Penjara Seumur Hidup dan Pemiskinan Lebih Beri Efek Jera
Redaksi - Kamis, 18 Februari 2021 08:45 WIB
433 view
PKB Kritik Wamenkum HAM Beropini Edhy Prabowo-Juliari Layak Dituntut Mati
Foto: Lamhot Aritonang
Cucun Syamsurijal.
Jakarta (SIB)
Wamenkum HAM Edward Omar Sharif Hiariej menilai eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan eks Menteri Sosial Juliari Batubara layak dituntut hukuman mati. Pernyataan itu menuai kritik.

"Sebagai pejabat negara pembantu presiden jangan buat gaduh beropini yang bukan tupoksinya," kata Ketua Fraksi PKB DPR RI Cucun Syamsurijal kepada wartawan, Rabu (17/2).

Anggota Komisi III DPR RI itu meminta Wamenkum HAM Edward Omar Sharif Hiariej tidak asal berbicara. Khususnya, terkait kasus yang sedang ditangani oleh lembaga lain.

"Sebagai mitra Kemenkumham mengingatkan Wamen jangan asal bicara bukan kewenangannya dan jangan membuat opini suatu perkara yang sedang ditangani lembaga lain," ujarnya.

Cucun meminta semua pihak menghargai proses yang sedang dilakukan terkait kasus korupsi yang dilakukan Edhy Prabowo dan Juliari Batubara.

"Biarkan lembaga berwenang yang sedang menangani di lingkungan KPK dan Pengadilan Tipikor yang menentukan," tegasnya.

Secara terpisah, Waketum PKB Jazilul Fawaid meminta Wamenkum HAM Edward Omar Sharif Hiariej berhati-hati mengeluarkan komentar. Menurut dia, komentar seorang pejabat dapat memengaruhi opini publik hingga proses hukum yang berjalan.

"Kami tidak yakin ini penggiringan opini, namun perlu hati hati sebab komentar seorang pejabat negara, apalagi setingkat wakil menteri dapat saja mempengaruhi opini publik dan proses hukum yang berjalan," ujarnya.

Sebelumnya, Edward Omar Sharif Hiariej berbicara soal modifikasi hukum acara pidana di masa pandemi Covid-19. Ia mengatakan tindak pidana yang dilakukan di saat pandemi Covid-19 harus dimaknai sebagai hal memberatkan.

Kemudian, Omar menyinggung soal tindak pidana korupsi yang dilakukan Edhy Prabowo dan Juliari Batubara. Ia menjelaskan, Edhy dan Juliari melakukan korupsi di saat keadaan darurat yakni pandemi Covid-19. Untuk itu, ia menilai kedua mantan menteri itu layak dituntut ancaman hukuman mati.

"Kedua kasus korupsi yang terjadi pada era pandemi, seperti misalnya kita ketahui bersama misalnya bahwa dua mantan menteri terkena OTT KPK pada akhir tahun 2020. Yang satu pada bulan akhir November, yang satu pada 4 Desember," kata Omar, Selasa (16/2).

"Bagi saya kedua mantan menteri ini melakukan perbuatan korupsi yang kemudian kena OTT KPK, bagi saya mereka layak dituntut dengan ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi, yang mana pemberatannya sampai pidana mati," imbuh Omar.

Efek Jera
Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) tak sepakat jika Edhy Prabowo dan Juliari Batubara dituntut hukuman mati. ICW menilai untuk memberi efek jera bagi para koruptor lebih tepat dengan penjara seumur hidup dan pemiskinan.

"ICW beranggapan pemberian efek jera kepada pelaku kejahatan korupsi lebih tepat jika dikenakan kombinasi hukuman berupa pemidanaan penjara maksimal (seumur hidup) serta diikuti pemiskinan koruptor (pengenaan uang pengganti untuk memulihkan kerugian keuangan negara atau menjerat pelaku dengan Undang-Undang Anti Pencucian Uang)," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, kepada wartawan.

Dia memahami tuntutan publik, termasuk Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Omar Sharif Hiariej, yang menginginkan agar dua eks menteri itu dapat dituntut hukuman mati. Sebab, kata dia, korupsi yang dilakukan keduanya memang sangat keji dan terjadi di tengah kondisi ekonomi negara maupun masyarakat sedang merosot tajam karena pandemi Covid-19.

"Hukuman mati pada dasarnya hanya diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, yang penting untuk dijadikan catatan, dua orang penyelenggara negara tersebut tidak atau belum disangka dengan Pasal tentang Kerugian Negara, melainkan baru terkait penerimaan suap (Pasal 11 dan/atau Pasal 12 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)," ucap Kurnia.

Kurnia memberi catatan terkait keberatannya hukuman mati diterapkan pada para koruptor. Ada dua hal yang dia soroti.

"Pertama, praktik itu bertentangan dengan hak asasi manusia. Kedua, sampai saat ini, belum ditemukan adanya korelasi konkret pengenaan hukuman mati dengan menurunnya jumlah perkara korupsi di suatu negara," katanya.

ICW menilai untuk saat ini lebih baik fokus perhatian diletakkan pada penanganan perkaranya saja. Misalnya, kata dia, untuk perkara yang menjerat Juliari, alih-alih mengenakan pasal terkait kerugian negara, sampai saat ini saja KPK seperti enggan atau takut untuk memproses atau memanggil beberapa orang yang sebenarnya berpotensi kuat menjadi saksi.

"Maka dari itu, dari pada berbicara mengenai tuntutan hukuman mati, lebih baik pemerintah mendorong agar KPK berani untuk membongkar tuntas dua perkara tersebut," ujarnya. (detikcom/c)

Sumber
: Hariansib edisi cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru