Medan (PN)
Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan tidak dapat menerima tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Lamria Sianturi dari Kejari Medan terhadap terdakwa Sunardi alias Gundok dan Syafwan Habibi dalam persidangan yang digelar di ruang Cakra 2 PN Medan, Rabu (24/3).
Menurut majelis hakim yang diketuai Abdul Kadir, perkara tersebut melanggar azas hukum Ne Bis In Idem yang artinya perkara tersebut sudah pernah diadili dan diputus hakim.
"Mengadili, satu, memerintahkan jaksa penuntut umum mengeluarkan terdakwa dari dalam tahanan. Menyatakan penuntutan terhadap terdakwa tidak dapat diterima untuk keseluruhannya," ucap Ketua Majelis Hakim Abdul Kadir.
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis berpendapat baik objek, subjek dan locus (tempat) perkara telah pernah diadili sebelumnya di peradilan. Atas putusan itu, JPU Lamria menyatakan pikir-pikir untuk melakukan upaya hukum.
Sementara itu, ratusan pendukung pihak keluarga korban yang memadati ruang sidang hingga ke pelataran ruang tunggu gedung PN Medan tak terima dengan putusan majelis hakim.
Pantauan wartawan di PN Medan, mendengar putusan tersebut massa pendukung pihak keluarga korban mengamuk dan menghujat majelis. Ada juga massa yang mengejar hakim, namun berhasil dihalau petugas keamanan.
Hingga di luar sidang suasana semakin memanas, massa pendukung dari pihak korban terus berusaha mencari hakim yang memutus perkara itu.
"Hakim harus mempertanggung jawabkan putusannya itu. Kenapa tiba-tiba dia sebut ne bis in idem. Dimana rasa keadilan hakim, hadirkan hakimnya ke sini sekarang," kecam Amrul Sinaga SH kuasa hukum korban dari Badan Penyuluhan dan Pembelaan Hukum (BPPH) MPC Pemuda Pancasila (PP) Medan.
Menurutnya, kejadian yang mereka laporkan berbeda, walaupun tempat kejadiannya sama. Keluarga korban yang nampak hadir di persidangan, bahkan terlihat menangis sembari berteriak meminta agar hakim segera hadir ke hadapan mereka.
"Tidak boleh hakim seperti itu. Kita juga paham hukum ya, dia juga seharusnya pertimbangkan rasa keadilan. Ini ada korban, ada yang tewas, tapi tidak dipertimbangkannya sama sekali," tandas Amrul.
Sedangkan Irwansyah, rekan Amrul Sinaga yang juga tergabung dalam BPPH MPC PP Kota Medan mengecam putusan majelis hakim. Menurutnya patut diduga telah terjadi penyelewengan hukum dalam kasus tersebut.
"Kita patut menduga ada permainan dalam penanganan kasus pembunuhan tersebut, soalnya sudah tiga kali pembacaan putusan ini ditunda," ucapnya.
Karena itu pihaknya akan mengambil langkah hukum dengan melaporkan majelis hakim ke Badan Pengawas Mahkamah Agung. Selain itu ia juga meminta agar jaksa penuntut umum segera mengambil sikap dengan menyatakan banding.
Sementara itu kuasa hukum para terdakwa Dwi Ngai Sinaga dan Erwin Sinaga mengapresiasi putusan hakim. "Ini tidak ujug-ujug hakim memutus seperti ini, tapi ini ada fakta hukum bahwa kejadian yang sama, objek dan subjek yang sama tidak bisa bisa diadili dua kali. Selain itu tidak ada juga fakta baru dalam persidangan. Jadi jangan juga kita giring opini bahwa adanya kekeliruan dalam penuntutan lalu ditimpakan ke klien kita," jelas Ngai.
Dwi Ngai Sinaga juga meminta agar JPU segera mengeluarkan kedua terdakwa dari tahanan."Kami minta hari ini juga terdakwa dikeluarkan dari tahanan. Paling lambat besok sesuai putusan hakim," tegas Ngai.
Sebelumnya dalam kasus ini, kedua terdakwa dituntut jaksa dengan pidana 6 tahun penjata. Mengutip dakwaan jaksa, kasus ini bermula pada Minggu, 8 September 2019, sekitar pukul 16.30, setelah kegiatan Rapat Pemilihan Pengurus Pemuda Pancasila Anak Ranting Pangkalan Mansyur di Kantor Kelurahan Pangkalan Mansyur.
Korban Syahdilla bersama beberapa temannya dari ormas PP saat itu disebut pergi menuju warung di Jalan Eka Rasmi untuk bersilaturahmi dengan ormas IPK. Mereka juga hendak menanyakan soal spanduk milik ormas PP yang dicopot oleh ormas IPK.
Namun malah terjadi cekcok dan berujung bentrokan yang mengakibatkan korban Syahdilla Hasan Afandi meninggal dunia. (A17)
Sumber
: Hariansib.com edisi cetak