Medan (SIB) -Para tokoh masyarakat dari berbagai elemen profesi dan kalangan komunitas di daerah ini, mengecam keras aksi penambangan liar berupa order keruk-kuras produk pasir dan bebatuan dari tubuh bebukitan kawasan Danau Toba, pada sejumlah objek gugusan pantai (tepian) danau, selama ini.
Secara terpisah dengan sikap sama, protes dan kecaman penuh keprihatinan itu dicetuskan Dr RE Nainggolan MM, mantan Bupati Tapanuli Utara dan mantan Sekda dan Kepala Bappeda Provinsi Sumut, yang juga pengurus pusat rumpun marga Keluarga Besar Nainggolan (KBN), Ketua Umum Parsadaan Pomparan Raja Silahisabungan (PPRS) Eddin Sihaloho selaku praktisi bisnis pariwisata (perhotelan resor) Danau Toba di Samosir, Mantan Bupati Samosir Ir Mangindar Simbolon selaku pengurus pusat Punguan Simbolon dohot Boru-bere se-Indoesia (PSBI), pengurus pusat rumpun marga keturunan Si Raja Oloan (SRO) Sanggam SH Bakkara yang juga Wakil Ketua umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumut dan unsur dewan pertimbangan Gapensi Sumut, serta pakar ekonomi dan SDM Dr Polin Pospos dari Pascasarjana USU.
RE Nainggolan (SIB 21/4) menegaskan aksi penambangan liar (galian C) di kawasan Danau Toba ini benar-benar sudah sangat mengkhawatirkan karena akan membahayakan dan merusak lingkungan Danau Toba sendiri di saat pemerintah pusat sedang menggencarkan pembangunan dan pengembangan potensi dan prospek ekonomi Danau Toba sebagai destinasi wisata super prioritas dengan alokasi anggaran (APBN) yang begitu besar.
"Dengan maraknya galian C yang diduga liar selama ini, tidak kurang dari lima hal yang akan merusak Danau Toba dalam hal citra, lingkungan, sosial, ekonomi, pariwisata dan budayanya sendiri. Ironisnya, semua aksi perusakan Danau Toba itu dilakukan sebagai modus atau dalih mata pencaharian atau sumber inkam ekonomi masyarakat dan di satu sisi itu pula yang jadi alasan (kesan) 'pembiaran' bagi pihak Pemda," ujar Eddin Sihaloho kepada pers di kegiatan sosial generasi muda (GM) PPRS di RSU Tere Margareth Medan, Rabu (21/4).
Kelima aksi itu, yang terjadi selama ini, adalah: (1). Perusakan lingkungan akibat maraknya aksi tebang kayu dan perambahan hutan kawasan Danau Toba di sekitar Bukit Sibaganding, Bukit Simarjarunjung, Area Tormatutung, Renun-Dairi, Sikodon-kodon, Aekhotang (Merek) dan juga di kawasan Tele Pulau Samosir. (2). Pencemaran ekosistem dengan penyebaran keramba jaring apung (KJA) yang merambah perairan Danau Toba sejak 1997 (sudah 24 tahun) hingga melewati batas daya dukung karea mencapai 10.000-an keramba. (3). Pembuangan limbah aneka jenis berupa sampah dan limbah 'produk individu' dari rumah tangga atau hotel dan warung-warung dan usaha peternakan 'mamalia' (kerbau pendek) maupun limbah industri yang langsung dialirkan (buang) ke perairan Danau Toba. (4). Permainan spekulan tanah yang memanfaatkan minat dan iming-iming sejumlah calon investor yang berjanji akan membangun Danau Toba, untuk menguasai dan mencaplok lahan pada areal tertentu, sehingga mengakibatkan konflik terkait status tanah adat dan ulayat, dan (5) Penambangan liar pada sektor galian-C yang menguras dan mengeruk pasir-batu pada objek bukit sekitar Danau Toba, seperti yang marak terus hingga saat ini.
"Memang, sejak UU No.23/2014 tentang Pemda, pemerintah pusat telah menarik wewenang dan urusan pertambangan dari pihak Pemkab ke Pemprov. Tapi sejak saat itu, terkesan makin banyak pertambangan galian-C yang liar--ilegal di lapangan, seolah-olah tidak ada lagi yang mengawasi. Apalagi, pihak Pemkab-nya tidak pernah tahu tentang aturan perizinan sebelumnya, maka sangat sulit untuk langsung turun tangan, apakah untuk mengawasi atau menindak," ungkap Mangindar Simbolon kepada SIB melalui rilis WA, Selasa (19/4).
Oleh karenanya, ujar Kepala Toba Caldera UNESCO Global Geopark (TC -UGG) itu, ke depan urusan proses izin usaha pertambangan atau wilayah izin usaha pertambangan (IUP-WIUP) bidang galian-C harus dialihkan kembali ke daerah (Pemkab) sebagai kewenangan Dinas ESDM atau Dinas Lingkungan Hidup. Selain memudahkan pengendalian serta pengawasan yang lebih efisien dan efektif, juga karena pihak Pemkablah yang lebih tahu situasi dan kondisi serta potensi objek galian-C yang pada umumnya berlokasi di sekitar desa-desa atau tepian pantai.
Sedangkan bagi Sanggam Bakkara dalam wawancara singkat di Merdeka Walk Lapangan Merdeka Medan, maraknya aksi penambangan galian-C liar di kawasan Danau Toba selama ini perlu kajian komprehensif untuk proses tindak lanjut yang terkait dengan aspek sosial ekonomi maupun penegakan hukum dan kepastian birokrasi.
"Masalah atau kasus maraknya bisnis galian-C liar di kawasan Danau Toba ini memang jadi pelik, rumit dan agak sensitif. Di satu sisi, bisnis ini adalah semata-mata objek mata pencaharian masyarakat demi kebutuhan 'sejengkal perut'nya. Tapi di sisi lain, bagaimana solusinya kalau hal ini memang pelanggaran hukum, apakah cuma para pekerja atau buruh tukang keruk atau juru paculnya saja yang ditangkap dan dihukum dengan alasan memang mereka atau rakyat itulah para pelakunya. Bagaimana dengan pemasoknya, apakah memang betul tidak ada pengusaha yang terlibat atau bermain di belakang para pekerja itu. Soalnya, aktifitas ini kan sudah berlangsung sejak dulu, bahkan turun temurun. Lokasinya saja yang berbeda," katanya prihatin.
Lalu, terkait peraturan atau birokrasi, Sanggam mendukung proses dan wewenang perizinan IUP dan WIUP secepatnya dikembalikan ke daerah (Pemkab), apakah ke Dinas ESDM atau Lingkungan Hidup (DLH). Lebih dari itu, katanya, untuk legalitas operasi bisa mengadopsi sistem kerja Dinas Kehutanan yang memasang plang merek bagi pemegang izin penebangan kayu berupa HPH, IPK atau HPT. Dengan plang bagi pemegang IUP-WIUP itu akan jelas lokasi atau zona yang menjadi areal resmi dan legal untuk penambangan setempat.
Pada plang merek itu nantinya, ujar Sanggam mantan anggota DPRD Sumut era reformasi, akan tertera apakah penambangan itu untuk pengambilan pasir atau batu, jumlah atau batas maksimal kapasitas keruk(galian), milik individu atau perusahaan, kategori usaha komersial atau khusus untuk pembangunan strategis daerah dan sebagainya.
Sedangkan bagi Polin Pospos yang pernah jadi staf ahli (Pokja) Pemprov Sumut di masa Gubernur T Rizal Nurdin, maraknya kecaman dan keprihatinan publik atas maraknya aksi galian-C sebagai bisnis liar yang merusak ekoistem dan prospek ekonomi kawasan Danau Toba selama ini, tidaklah cukup hanya dengan proses penegakan hukum dan kepastian birokrasi.
Alasannya adalah fakta dan kenyataan hal itu berulang terus walau terjadi protes, demo dan hukuman penjara.
"Ketika ada wacana pembangunan dermaga Ro-Ro Pelabuhan Belawan untuk mendukung aktifitas wisata berkendaraan antarnegara IMT-GT dari dan ke Danau Toba (Parapat dan Samosir), saya dalam kapasitas Dewan Pertimbangan Kadin Sumut (1993-1995) sudah mengusulkan agar bisnis galian-C untuk order jual-beli pasir atau batu untuk proyek-proyek pembangunan daerah ini, sebaiknya dikelola oleh suatu instansi atau badan usaha milik daerah, mirip BUMD. Selain operasionalnya legal, omsetnya sebagai bagian sumber devisa atau PAD akan sangat jelas dan transparan. Kalau seperti yang selama ini, apakah yang namanya retribusi atau pajak galian-C itu kita tidak tahu persis, padahal setiap truk angkutan pasir-batu wajib setor rupiah setiap melintas di lokasi tertentu, entah untuk apa dan siapa," katanya prihatin. (A5/d)