Medan (SIB)
Lahan-lahan dengan status tanah terlantar di Indonesia saat ini mencapai 120.000 hektar, yang mayoritas terdapat di daerah-daerah luar Pulau Jawa, termasuk di daerah Sumatera Utara.
Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Tata Ruang (DJ PPT-TR) Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (Kemen-ATR/BPN) M Shafik Ananta menyebutkan, posisi tanah terlantar yang 120.000 hektare itu merupakan bagian dari total potensi stok tanah terlantar di Indonesia yang mencapai 950.000 hektare sesuai data base Kementerian ATR/BPN selama ini.
"Saat ini tidak kurang dari 120.000 hektare lahan berstatus terlantar di Indonesia, dengan masing-masing kronologi kasus dan potensi konflik permasalahannya. Tapi saya kurang hafal di daerah mana saja tanah-tanah terlantar itu. Sebagian areal atau lahan itu memang dimanfaatkan untuk proses reforma agraria dan peralihan status atau fungsi dengan penertiban sesuai aturan," katanya kepada pers di Medan, Kamis (10/6).
Dia mengutarakan hal itu dalam forum dialog terbatas (focus group discussion-FGD) untuk sosialisasi UU Nomor 11/2020 Ciptaker, di Hotel Aryaduta Medan. FGD yang digelar Biro Hukum Kemen-ATR/BPN dengan tajuk 'Penertiban Status Lahan dan Tata Ruang untuk Investasi dan Pembangunan', itu membahas materi tentang norma, standar, prosedur dan kriteria (NSPK) penertiban, penguasaan, pengaturan status lahan tata ruang.
Selain statusnya tanah terlantar, Shafik Ananta yang didampingi Kepala Kanwil BPN Sumut Dr Dadang Suhendi SH MH dan pejabat Biro Hukum Kemen-ATR/BPN, menyebutkan adanya sejumlah lahan yang berstatus tidak berfungsi, seperti lahan-lahan eks hak guna usaha (HGU) sejumlah perusahaan perkebunan milik negara (BUMN). Namun, Shafik enggan menyebutkan ketika ditanyai pers, apakah lahan-lahan tak berfungsi itu termasuk lahan eks HGU PTPN-II di Sumut selama ini.
"Saya hanya tegaskan, lahan-lahan yang dibiarkan lama terlantar begini, nantinya akan diproses final untuk penertiban status dan fungsinya oleh negara, lalu akan di-redistribusi kepada masyarakat, termasuk warga UMKM-nya. Ini menjadi salah satu cara penyelesaian masalah yang bersentuhan dengan masyarakat. Mudah-mudahan kebijakan ini bisa cepat mengakhiri konflik dan memerbaiki status pertanahan di Indonesia, termasuk di Sumatera Utara ini," ujar Shafik optimis sembari menambahkan Sumut ditetapkan sebagai Klaster 10 Besar Sosialisasi NSPK di Indonesia oleh Kementerian ATR/BPN.
Dia menambahkan, aturan dan dasar hukum pengelolaan dan penguasaan tanah terlantar ini telah diatur dalam PP 20 Tahun 2021, bahwa tanah hak milik yang terlantar selama 20 tahun, bisa menjadi menjadi objek pembangunan dan investasi dengan penertiban dan penetapan status, dan prosesnya sambil berjalan dan bisa dituntaskan kemudian. Namun, lagi-lagi tidak diperjelas apakah sistem ini berlaku bagi lahan-lahan eks HGU PTPN-II di Sumut.
Sebagaimana diketahui, saat ini dari total luas 5.873,06 hektare lahan eks HGU PTPN-II, seluas 2.768 hektar telah dihapusbukukan oleh Kementerian BUMN pada tahun 2018 lalu dan telah dipublisir di masa Kakanwil BPN-ATR Sumut Bambang Priono SH MH, sehingga tersisa seluas 3.104 hektare lagi. Namun calon 'penerima'-nya belum ditetapkan sesuai daftar nominatif. Presiden Jokowi dalam rapat terbatas di Jakarta 11 Maret 2020 lalu telah meminta Gubernur Sumut Edy Rahmayadi agar segera mendistribusikannya kepada pihak warga yang berhak.
Sejak awal Mei 2021, lahan-lahan terlantar dan menganggur itu sedang dalam 'monitoring' Tim Adhyaksa Estate bentukan Kajati Sumut (SIB 5/5). Selain untuk monitor apakah lahan yang sudah dilepaskan seluas 2.768 hektare itu memang disalurkan kepada masyarakat, juga untuk monitor apakah lahan sisa seluas 3.104 hektare itu bisa dipastikan untuk rakyat atau petani dalam arti sebenarnya. (A05/d)