Medan (SIB)
Publik Sumut dari beberapa elemen masyarakat di Medan menyesalkan terjadinya pelarangan, bahkan pengusiran sejumlah jurnalis yang akan bertemu Jaksa Agung ST Burhanuddin ketika berkunjung ke Kantor Kejati Sumut, Kamis (11/11) lalu, sehingga gagal memperoleh informasi tindak lanjut pengusutan mafia tanah yang sedang digencarkan pemerintah saat ini.
Ketua DPD Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) Provinsi Sumut, Heryanson Munthe bersama Sekum-nya Pantun Amudhy Pasaribu menyatakan, pelarangan atau pengusiran wartawan atau jurnalis saat kedatangan Jaksa Agung, merupakan tindakan yang kurang terpuji dan tidak profesional terlebih bagi kalangan penegak hukum di negeri ini. Memang, Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejatisu Yos Arnold Tarigan SH telah membantah adanya pengusiran jurnalis dengan alasan kunjungan kerja Jaksa Agung bersifat internal.
"Jurnalis atau wartawan itu kan bekerja melaksanakan tugas dan fungsinya dilindungi UU PERS No.40 Tahun 1999. Kok musti dilarang dan diusir seperti itu. Kendati perlakuannya kepada pers, sebagai publik kami atau kita juga berhak untuk meminta penjelasan kenapa hal ini terjadi. Kami sudah layangkan surat resmi pada 15 November lalu untuk audiensi kepada Kepala Kejatisu," ujar mereka kepada pers di Medan, Selasa malam (16/11).
Mereka, ujar Amundhy Manurung, dalam temu audiensi yang akan disertai sejumlah jurnalis di Medan itu ingin mengetahui sejauhmana tindak lanjut pihak Kejatisu mengungkap kasus dan memberantas mafia tanah yang berkedok developer dan berbagai modus lainnya selama ini, khususnya setelah pembentukan Tim Adhiyaksa Estate (khusus penanganan kasus-kasus mafia dan sengketa tanah) bentukan Kejatisu pada Mei lalu.
Misalnya kasus dugaan korupsi lahan eks HGU PTPN II yang telah menjadi perumahan mewah di Helvetia, Sampali, kasus jual beli sertifikat dalam proyek pembangunan 141 unit properti ruko di Kompleks Tapakuna (belakang Graha Helvetia), kasus dugaan pencaplokan lahan eks PTPN II oleh kelompok mafia tanah di kawasan Kelambir Tanjunggusta yang dilaporkan mantan anggota DPRD Kota Medan (Irwan Sihombing), dan kasus sengketa lahan lainnya.
"Padahal, kita jurnalis juga ingin konfirmasi soal adanya kecurigaan publik atas putusan PN Medan yang lebih ringan dari tuntutan jaksa, terhadap seorang pelaku yang diduga mafia tanah (Can, seorang developer) yang menggelapkan 35 berkas sertifikat lahan, tapi mengagunkannya pula ke BTN. Vonis dari PN Medan kepadanya hanya 28 bulan, lebih ringan dari tuntutan jaksa, tiga tahun enam bulan. Ada apa," ujar Sahat Simatupang, jurnalis majalah Tempo di Medan.
Sembari menunjukkan ringkasan data yang semula akan dikonfirmasikan kepada Jaksa Agung di kantor Kejatisu pada 15 November lalu, Sahat bersama jurnalis lainnya memparkan adanya indikasi permainan dalam proses hukum (perubahan vonis) terhadap pelaku penggelapan sertifikat lahan ruko-ruko Tapakuna yang dibangun developer PT Krisna Agung Yudha Abdi (KAYA) milik 'Can' (juga sebagai Dirut-nya). Properti sebanyak 141 unit ruko niaga di atas lahan 5.000 meter persegi diduga sarat kasus dengan masalah jual beli sertifikat setelah terungkap penggelapan sertifikat kepada 19 orang (pembeli ruko) yang kemudian malah diagunkan ke BTN untuk proses kredit senilai Rp14,7 miliar. (A5/f)