Jakarta (SIB)
Program Pengampunan Sukarela (PPS) atau tax amnesty jilid II akan dimulai pada 1 Januari hingga 30 Juni 2022.
Artinya, pemerintah memberikan waktu selama enam bulan bagi pengemplang pajak yang belum melaporkan hartanya di Surat Pemberitahuan (SPT) untuk bertobat.
Tax Amnesty jilid II tertuang dalam UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sementara aturan turunan dari UU tersebut belum terbit sampai dengan saat ini.
Berikut hal-hal seputar tax amnesty jilid II yang perlu diketahui:
Tarif
Ada dua skema tarif yang ditetapkan pemerintah.
Pertama, untuk wajib pajak orang pribadi dan badan yang merupakan peserta tax amnesty jilid I. Ini untuk harta yang diperoleh hingga 31 Desember 2015 dan belum dilaporkan pada tax amnesty sebelumnya.
Tarif PPh Final untuk skema pertama ini adalah:
- 11% untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri.
- 8% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi ke dan aset dalam negeri
- 6% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA)
Kedua, berlaku hanya bagi wajib pajak orang pribadi yang hartanya belum diungkapkan dalam SPT tahun pajak 2020. Ini berlaku untuk harta yang diperoleh pada periode 2016-2020.
Tarif PPh final yang diberikan untuk skema kedua ini adalah:
- 18% untuk harta di luar negeri yang tidak direpatriasi ke dalam negeri
- 14% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri
- 12% untuk harta di luar negeri yang direpatriasi dan harta di dalam negeri yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN) dan hilirisasi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi terbarukan.
Sanksi
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berkali-kali mengingatkan para wajib pajak yang belum patuh untuk mengikuti program tax amnesty jilid II. Jika tidak akan dikenakan sanksi yang cukup berat.
Pertama, untuk harta yang diperoleh hingga tahun 2015 sanksinya sebesar 200%. Sanksi ini sudah ada sejak tax amnesty jilid satu dan sudah dijalankan oleh pemerintah.
Artinya, jika tidak ikut PPS maka sanksinya lebih besar dari nilai harta yang disembunyikan.
Kedua, untuk harta yang diperoleh tahun 2016-2020 dan belum juga dilaporkan maka akan dikenakan sanksi lebih tinggi yakni 25% untuk pajak badan, 30% untuk orang pribadi dan 12,5% untuk pajak lainnya ditambah sanksi 200%.
Senjata Baru
Sri Mulyani berkali-kali menekankan bahwa ini adalah kesempatan terakhir bagi pengemplang pajak untuk bertobat. Sebab, setelah program ini berakhir, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan memberikan denda jika hartanya ditemukan.
Kali ini, wajib pajak tidak akan bisa lari lagi karena pemerintah memilih banyak senjata untuk menemukan harta pengemplang. Pertama, ia memiliki penyatuan nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan nomor induk kependudukan (NIK).
Menurutnya, dengan penyatuan ini maka wajib pajak tidak akan bisa lari lagi dan mengganti nama saat melakukan pembelian harta. Sebab, semua data akan terekam di satu NIK.
Kedua, ia juga memiliki kerjasama dengan negara lain melalui Automatic Exchange of Information (AEoI). Dengan kerjasama ini, Indonesia dengan negara lain bisa melakukan pertukaran data terkait kebutuhan perpajakan.
Dengan kerjasama ini, Sri Mulyani mengakui bisa mendapatkan data wajib pajak yang menyimpan hartanya di Singapura ataupun negara suaka pajak lainnya seperti di Panama.
Ketiga, ia juga memiliki asistensi penagihan pajak global. Dalam hal ini Indonesia bekerjasama dengan negara lain untuk saling menagih pajak dari warganya yang berada di wilayah negara lain.
Rumah Warisan
Seluruh harta yang belum dilaporkan dalam SPT tahunan wajib ikut PPS atau dikenal dengan tax amnesty jilid II. Termasuk juga harta warisan baik itu rumah, mobil ataupun emas yang diterima.
"Kalau anda masih punya harta warisan, diberikan dari mertua atau hibah entah dari hamba allah tapi belum disampaikan di dalam SPT anda, ini kesempatannya anda melakukannya (ikut PPS)," ujar Sri Mulyani Indrawati saat ikut dalam sosialisasi UU HPP di Jawa Barat pekan lalu.
Hal ini tentu membuat banyak orang yang merasa aneh. Sebab, warisan bukanlah objek pajak yang bisa dihitung sebagai Pajak Penghasilan (PPh). Selama ini warisan hanya perlu dilaporkan di SPT tanpa dipungut pajaknya.
Lalu kenapa harus dilaporkan tax amnesty?
Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo pun menjelaskan, warisan yang belum dilaporkan dalam SPT sama kedudukannya dengan harta lainnya. Ini juga dilakukan saat tax amnesty jilid I lalu.
Sebab, waktu pembetulan SPT bagi wajib pajak sudah habis dan saat ini tidak bisa lagi dilakukan. Sehingga meskipun warisan bukan objek pajak, namun jika belum dilaporkan dalam SPT mau tidak mau harus ikut tax amnesty jilid II.
Artinya, wajib pajak yang mempunyai harta dari hasil warisan harus membayar sesuai tarif yang berlaku di UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
"Waktu tax amnesty, kondisinya karena belum lapor SPT ya ikut tax amnesty, bayar uang tebusan. Kalau sekarang istilahnya bayar PPh final," jelasnya kepada CNBC Indonesia.
Adapun tarif yang berlaku bagi harta warisan dan harta lainnya sama yakni untuk harta yang diperoleh hingga 31 Desember 2015 diberikan tarif 6%-11%. Kemudian untuk harta dan warisan yang didapat pada 2016 sampai 2020 tarif diberikan 12%-18%.
"Ya sama saja skemanya dengan PPS. Kalau dulu ikut tax amnesty dan ada warisan yang diperoleh 2015 dan sebelumnya ya kebijakan 1 yang (tarif) 6-11%. Kalau tahun 2016-2020 kebijakan 2," pungkasnya. (CNBCI/Detikfinance/a)