Jakarta (SIB)
Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Basarah menyambut baik perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura. Dia berharap perjanjian tersebut nantinya dapat mengekstradisi para buron asal Indonesia yang melakukan tindak pidana korupsi, pencucian uang, penyuapan, kasus perbankan, narkotika, terorisme, serta pendanaan aktivitas lintas negara yang terkait terorisme.
"Saya mengapresiasi keberhasilan perjanjian ekstradisi ini. Apalagi perjanjian ini berlaku surut hingga 18 tahun ke belakang, terhitung tanggal diundangkannya. Itu artinya, kendati sudah berganti kewarganegaraan, berdasarkan perjanjian ini para koruptor itu tetap bisa dipulangkan ke Indonesia tergantung kapan kejahatan itu mereka lakukan," ujar Basarah dalam keterangannya, Rabu (26/1).
Perjanjian ekstradisi tersebut ditandatangani oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan Laoly dalam acara Leader's Retreat yang diadakan di Bintan, Kepulauan Riau pada Selasa (25/1) kemarin dan dihadiri oleh Presiden Jokowi serta Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong.
Perjanjian ekstradisi kedua negara itu memang memiliki masa retroaktif sesuai dengan ketentuan maksimal kadaluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Pemberlakuan perjanjian ekstradisi ini dapat menjangkau para pelaku kejahatan di masa lampau sekaligus memfasilitasi penerapan Keputusan Presiden RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Selain Basarah, keberhasilan pemerintah memperjuangkan perjanjian ekstradisi ini juga mendapat apresiasi dari Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI), Boyamin Saiman. Dia mengatakan keberhasilan Jokowi dan Yasonna itu sebagai super positif, bagai memenuhi kerinduan burung Pungguk kepada bulan.
"Presiden Jokowi bukan saja telah memenuhi janji kampanyenya lewat keberhasilan kerja diplomatik ini, tapi juga memenuhi dahaga mereka yang selama ini marah melihat para koruptor ongkang-ongkang kaki di negeri tetangga tanpa bisa dijangkau," tegas Basarah.
Selain menyaksikan penandatanganan Perjanjian Ekstradisi Indonesia-Singapura, Jokowi dan Lee Hsien Loong juga menyaksikan penandatanganan 15 dokumen kerja sama strategis di bidang politik, hukum, keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya, termasuk persetujuan tentang penyesuaian Flight Information Region (FIR), Pernyataan Bersama Menteri Pertahanan Indonesia dan Singapura tentang Kesepakatan untuk memberlakukan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan 2007 (Joint Statement MINDEF DCA).
Basarah pun menilai, semua keberhasilan Jokowi tersebut layak mendapat apresiasi. Terutama mengingat perjanjian ekstradisi antara Indonesia-Singapura sudah mangkrak sejak pertama kali diupayakan pada 1998.
Namun di era pemerintahannya, Jokowi tidak hanya berhasil merampungkan perjanjian ekstradisi tersebut tapi juga sejumlah diplomasi politik luar negeri, yang menurut Basarah, telah mengangkat harkat dan martabat bangsa sekaligus mengembalikan kepercayaan dunia internasional pada Indonesia.
Basarah mencatat diplomasi politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi mencakup penguatan diplomasi ekonomi, diplomasi pelindungan, diplomasi kedaulatan dan kebangsaan, peningkatan kontribusi dan kepemimpinan Indonesia di kawasan dan dunia, serta penguatan infrastruktur diplomasi oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia.
Pada tahun 2020, Indonesia menempati kursi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, serta menjadi Ketua Foreign Policy and Global Health (FPGH). Lalu pada periode 2021-2022, Indonesia menjadi anggota Dewan HAM PBB serta memegang posisi bergengsi presidensi Group of Twenty (G20) per 1 Desember 2021. Puncak prestasi diraih Indonesia yang pada 2023 akan menjadi Ketua ASEAN dan Ketua G-20 serta menjadi koordinator dialog kemitraan dengan AS untuk periode 2021-2024.
"Saya juga mencatat, selama 2021 Indonesia turut berkontribusi melakukan diplomasi memperkokoh kedaulatan wilayah NKRI di mana 17 perundingan perbatasan dilakukan dengan negara-negara tetangga. Paling penting, di tahun ini juga Indonesia berjuang mendorong kesetaraan akses vaksin global," pungkas Basarah.
Reputasi Makin Baik
Sementara itu, Kantor Staf Presiden (KSP) menyebut, penandatanganan perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura merupakan wujud menguatnya kewibawaan kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Perjanjian itu juga disebut menjadi bukti bahwa reputasi pemerintah dalam tata kelola yang transparan dan akuntabel semakin membaik.
"Konsekuensinya Indonesia harus membuktikan mampu memberantas segala kejahatan yang merendahkan martabat dan menghancurkan sendi keadilan, seperti korupsi, kejahatan ekstremisme, atau kejahatan kemanusiaan lainnya," kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden RI Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam keterangan tertulis, Rabu (26/1).
Ruhaini menjelaskan, kerja sama ekstradisi dengan Singapura yang dikenal dengan good dan clean governance, akan menaikkan leverage Indonesia di mata dunia. Posisi Indonesia di dunia internasional dinilai bakal semakin kuat.
"Posisi Indonesia dalam membangun kerja sama internasional semakin kuat, baik di bidang politik, ekonomi, atau bidang strategis lainnya," tutur Ruhaini.
Ruhaini juga menyinggung soal penandatanganan kesepakatan pengambilalihan kendali udara atau Flight Information Region (FIR). Ruhaini menilai kesepakatan tersebut harus bisa terkonsolidasi dalam agenda strategis dan program prioritas.
"Tidak hanya di kementerian/lembaga tapi juga semua unsur termasuk dunia usaha dan masyarakat sipil. KSP akan mengawal itu," tegas Ruhaini yang juga guru besar bidang HAM dan gender.
Dia mengatakan kesepakatan Indonesia dengan Singapura terkait FIR di Natuna memiliki tiga substansi penting. Tiga hal itu antara lain kepentingan substantif kebangsaan, kepentingan politis strategis kenegaraan, dan kedaulatan hakiki.
"Ini menegaskan Indonesia sebagai the emerging country yang punya kewibawaan politis serta modalitas sumberdaya produktif dan kompetitif," ujar Ruhaini.
"Sekaligus menguatkan kepentingan resiliensi sosial menghadapi globalisasi pada era revolusi industri 4.0," sambung dia.
Seperti diketahui, perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura kini benar-benar terealisasi setelah diinisiasi sejak 18 tahun silam. Perjanjian ekstradisi RI dan Singapura itu membuka peluang koruptor yang sudah pindah kewarganegaraan tetap bisa dicokok.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly begitu menggembar-gemborkan perjanjian ekstradisi itu. Yasonna menegaskan tak ada koruptor yang bisa bersembunyi lagi di Singapura.
"Koruptor, bandar narkoba, dan donatur terorisme tak bisa lagi sembunyi di Singapura," kata Yasonna dalam keterangan pers tertulis, Selasa (25/1).
Yasonna selaku Menteri Hukum dan HAM RI menjadi pejabat yang menandatangani perjanjian ekstradisi dalam Leader's Retreat di Bintan, Kepulauan Riau. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Singapura (PM) Lee Hsien Loong turut hadir dan menyaksikan langsung.
Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura memiliki masa retroaktif selama 18 tahun ke belakang. Artinya, perjanjian ekstradisi RI-Singapura ini berlaku surut terhitung tanggal diundangkannya.
Yasonna menjelaskan status perjanjian berlaku surut selama 18 tahun ke belakang sesuai dengan KUHP. Di mana, dalam Pasal 78 KUHP diatur ketentuan maksimal kedaluwarsa yakni 18 tahun.
"Selain masa rektroaktif, perjanjian ekstradisi ini juga menyepakati bahwa penentuan kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak pidana dilakukan," papar Yasonna seusai penandatanganan perjanjian ekstradisi.
"Hal ini untuk mencegah privilese yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan dari pelaku tindak pidana guna menghindari proses hukum terhadap dirinya," imbuhnya. (detikcom/f)