Jakarta (SIB)
Amerika Serikat (AS) dan sekutunya mempertimbangkan sanksi ekonomi tambahan untuk menghukum Rusia setelah invasi ke Ukraina. Hal ini diungkapkan Menteri Keuangan AS Janet Yellen.
Janet juga menyebutkan, ekonomi Rusia akan dibuat hancur oleh pihaknya dan seluruh sekutu barat sebagai konsekuensi konflik yang terjadi di Ukraina.
"Ekonomi Rusia akan hancur sebagai konsekuensi dari sanksi yang telah kami lakukan. Kami akan mempertimbangkan langkah lebih lanjut yang dapat kami ambil," kata Yellen dalam sebuah acara yang digelar Washington Post, dikutip dari CNN Business, Jumat (11/3).
Yellen tidak merinci secara spesifik tentang sanksi tambahan apa yang dapat dijatuhkan. Namun, dia mencatat hingga saat ini Rusia tidak menghentikan invasinya ke Ukraina, maka sanksi lebih berat akan diberikan.
"Kami terus bekerja sangat erat dengan sekutu kami untuk mempertimbangkan sanksi lanjutan. Pada titik ini, kami belum melihat inisiatif Rusia mundur dari perang mengerikan yang mereka mulai," ujar Yellen.
Dia menjelaskan, kerusakan ekonomi dan keuangan yang disebabkan sanksi Barat yang diberlakukan dalam beberapa pekan terakhir. Rusia diisolasi secara finansial hingga mata uang Rubel pun terjun bebas.
"Kami telah mengisolasi Rusia secara finansial. Rubel telah jatuh bebas. Pasar saham Rusia ditutup. Rusia telah secara efektif ditutup dari sistem keuangan internasional," kata Yellen.
Menurutnya memang ada efek ekonomi pada Amerika Serikat dan Eropa dari sanksi tersebut, namun Yellen menjamin para pejabat telah bekerja untuk meminimalkan dampak tersebut.
"Itu sudah mendorong harga minyak global. Kami melihatnya sendiri dalam harga yang sedang naik," kata Yellen.
Tak gentar
Presiden Rusia Vladimir Putin tak gentar meski negaranya dihujani sanksi dari negara-negara Barat terkait invasi ke Ukraina. Putin justru menyebut dampak dari sanksi terhadap Rusia juga akan dirasakan oleh negara-negara Barat sendiri, termasuk dalam bentuk harga pangan lebih tinggi dan harga energi yang melonjak.
Berbicara dalam rapat pemerintahan Rusia, seperti dilansir Reuters, Jumat (11/3), Putin meyakini Rusia akan mampu menyelesaikan persoalan yang kini menjerat dan bangkit lebih kuat dari sebelumnya.
Ditegaskan juga oleh Putin bahwa tidak ada alternatif dari apa yang disebut Rusia sebagai operasi militer khusus di Ukraina.
Dia menyatakan bahwa Rusia bukan negara yang bisa menerima kompromi atas kedaulatannya demi keuntungan ekonomi jangka pendek.
"Sanksi-sanksi ini akan dijatuhkan dalam situasi apapun," ucap Putin dalam rapat pemerintah Rusia pada Kamis (10/3) waktu setempat.
"Ada sejumlah pertanyaan, masalah, dan kesulitan tapi di masa lalu kita telah mengatasinya dan kita akan mengatasinya sekarang," tegasnya.
"Pada akhirnya, ini semua akan mengarah pada peningkatan kemandirian, swasembada dan kedaulatan kita," ujar Putin dalam rapat yang digelar dua pekan setelah pasukan Rusia menginvasi Ukraina, negara tetangganya.
Pernyataan terbaru Putin ini dirancang untuk menggambarkan sanksi-sanksi Barat sebagai tindakan yang merugikan diri sendiri dan meyakinkan warga Rusia bahwa Moskow akan mampu menghadapi apa yang disebutnya sebagai 'perang ekonomi' terhadap perbankan, bisnis dan para oligarkinya.
Lebih lanjut, Putin menegaskan bahwa Rusia -- produsen energi utama yang memasok sepertiga gas ke Eropa -- akan terus memenuhi kewajiban kontraktual meskipun dihantam sanksi-sanksi termasuk larangan migas oleh Amerika Serikat (AS).
"Mereka mengumumkan bahwa mereka menutup impor minyak Rusia ke pasar Amerika. Harga-harga di sana tinggi, inflasi sangat tinggi, telah mencapai rekor tertinggi dalam sejarah. Mereka berupaya menyalahkan dampak kesalahan mereka sendiri kepada kita. Kita jelas tidak ada hubungannya dengan itu," tegasnya.
Berbicara dengan tenang, Putin mengakui sanksi-sanksi Barat memang mulai dirasakan Rusia. Namun dia juga meyakini semuanya akan bisa diatasi oleh Rusia.
"Jelas bahwa pada saat-saat seperti itu permintaan masyarakat untuk kelompok barang tertentu selalu meningkat, tapi kita tidak meragukan bahwa kita akan mengatasi semua masalah ini sambil bekerja dengan tenang," cetusnya.
"Secara bertahap, orang-orang akan menyesuaikan diri, mereka akan memahami bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa kita akhiri dan selesaikan," tandas Putin.
Rusia menegaskan dapat menyita aset perusahaan dari Negara Barat yang telah meninggalkan di Negara Beruang Merah itu.
Presiden Rusia Vladimir Putin berencana menindak tegas perusahaan yang meninggalkan Rusia. "Kita perlu bertindak tegas kepada perusahaan yang akan menutup produksi mereka," kata Putin, melansir CNN, Jumat (11/3).
Sementara itu, Perdana Menteri Rusia Mikhail Mishustin mengatakan, saat ini undang-undang telah dirancang untuk mendukung aksi tersebut.
"Jika pemilik asing menutup perusahaan secara tidak wajar, maka dalam kasus itu pemerintah dapat mengusulkan pemberlakuan administrasi eksternal. Bergantung pada keputusan pemilik yang akan menentukan nasib perusahaan di masa depan," kata Mishustin. (detikfinance/detikcom/a)