Jakarta (SIB)
Ombudsman RI menduga kelangkaan minyak goreng di Tanah Air disebabkan oleh beberapa faktor, dari disparitas harga hingga adanya perilaku panic buying yang dilakukan individu atau pelaku usaha yang meningkatkan stok minyak goreng.
Ombudsman menyarankan agar pemerintah melindungi kelompok masyarakat miskin dengan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) dan memantau distribusi pasar.
Hal itu disampaikan anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika, dalam konferensi pers virtual di siaran YouTube Ombudsman RI, Selasa (15/3). Yeka membeberkan beberapa faktor diduga penyebab kelangkaan minyak goreng, di antaranya disparitas harga, perbedaan data DMO (domestic market obligation) yang dilaporkan dengan realisasinya.
Sebab, menurutnya, meskipun pemerintah telah menyebarkan 415 ribu ton minyak goreng hasil DMO ke pasar, realisasi DMO hanya akan terkonfirmasi dengan data yang semestinya dikumpulkan dari distributor. Penyebab kedua, DMO tanpa diikuti oleh memasangkan antara eksportir CPO/olahannya dan produsen minyak goreng dinilai tidak efektif karena tidak semua produsen minyak goreng berorientasi ekspor.
"Kenapa? Karena tidak semua produsen minyak goreng mendapatkan CPO dari DMO dengan harga DPO. Perlu diketahui, tidak semua produsen minyak goreng mendapatkan CPO dengan harga DPO. Jadi dengan harga DPO ini paling mahal dalam bentuk olein, produsen minyak goreng bisa mendapatkan bahan baku seharga Rp 10.300 ataupun dalam bentuk CPO seharga Rp 9.300 dan ini sangat jauh lebih murah dibandingkan dengan harga pasar yang mencapai sekitar Rp 18.000 sampai Rp 19.000," kata Yeka.
Kemudian Ombudsman menduga masih terdapat panic buying. Serta pihak rumah tangga/pelaku usaha UMKM diduga menyetok minyak goreng yang lebih banyak karena khawatir dengan ketersediaan minyak goreng.
"Jadi ini bukan berarti masyarakat yang melakukan "penimbunan" tetapi upaya peningkatan stok minyak goreng yang dilakukan oleh rumah tangga maupun pelaku usaha UMKM. Ini merupakan respon terhadap belum adanya jaminan ketersediaan minyak goreng, terlebih lagi menghadapi puasa dan hari raya," katanya.
Lebih lanjut, Ombudsman menduga langkanya minyak goreng gara-gara munculnya spekulan yang memanfaatkan kondisi disparitas harga yang sangat besar antara HET dan harga di pasar tradisional yang sulit untuk diintervensi. Aktivitas spekulan ini juga yang memunculkan dugaan terjadinya penyelundupan minyak goreng.
"Jadi seperti diketahui kalau di (pasar) modern ini bisa diintervensi, kalau di pasar tradisional tidak bisa diintervensi, pelaku sangat banyak, dan aktivitas spekulan ini juga yang memunculkan dugaannya terjadinya penyelundupan minyak goreng.
Jadi kalaupun misalnya disampaikan oleh Menteri Perdagangan bahwa dengan adanya DMO sebanyak 415.000 ton dan itu melebihi dalam waktu 3 minggu dan itu melebihi dari kebutuhannya lantas masih langka, maka dugaan adanya penyeludupan ini merupakan hal-hal yang sangat wajar saja," paparnya.
Tak hanya itu, langkanya minyak goreng juga diduga terjadi gara-gara belum berhasilnya pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan. Menurutnya, fungsi pengawasan tidak akan berhasil diterapkan ketika disparitas harga terjadi dengan gap yang sangat besar. Sebab, menurutnya, akar masalah dari kelangkaan minyak goreng adalah disparitas harga.
"Sehingga Bapak Ibu semuanya Ombudsman melihat bahwa akar permasalahan terjadinya kelangkaan minyak goreng ini adalah karena tingginya disparitas antara harga DPO, HET, dan harga pasar disparitas harga itu berkisar antara Rp 8.000 sampai Rp 9.000. Jadi bisa dibayangkan disparitas ini yang tinggi ini memunculkan tadi hal-hal yang menjadi penyebab yang tadi disampaikan sebelumnya," imbuhnya.
Oleh karena itu Ombudsman menyarankan agar pemerintah menghilangkan disparitas harga, yaitu dengan melepas kepada mekanisme pasar dengan tetap memberlakukan DMO untuk menjamin ketersediaan minyak goreng. Selain itu, pemerintah diminta mengawasi ketat ekspor use cooking oil serta melakukan revisi kebijakan dengan memasukkan ekspor jenis minyak goreng dan turunannya ke dalam ekspor larangan terbatas.
"Langkah berikutnya adalah dalam rangka menjamin ketersediaan minyak goreng, maka pemerintah perlu mengawasi secara ketat, salah satunya adalah ekspor use cooking oil, didahului dengan memasukkan ekspor jenis ini ke dalam ekspor larangan terbatas," tutur Yeka.
"Terus berikutnya pada prinsipnya adalah karena di ketika dilepaskan kepada mekanisme pasar, maka dampak di lepaskan pada mekanisme pasar itu adalah tingginya harga minyak goreng. Oleh karena itu, pemerintah perlu melindungi kelompok masyarakat yang rentan, seperti keluarga miskin, UMKM dan mikro yang mengkonsumsi minyak goreng dalam bentuk curah," ungkapnya. (detikcom/a)