Kolombo (SIB)
Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa mengumumkan status darurat pada Jumat (1/4) waktu setempat, setelah ratusan orang mencoba ‘menyerbu’ kediamannya di tengah krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagaimana dilansir AFP, Sabtu (2/4) Rajapaksa mengatakan dia yakin ada "darurat publik di Sri Lanka" yang mengharuskan penerapan undang-undang keras dan memberikan otoritas keamanan untuk menangkap dan menahan tersangka kerusuhan.
Sebelumnya, warga sempat berunjuk rasa di kediaman pribadi Gotabaya di pinggiran Kolombo pada Kamis (31/3) malam waktu setempat, yang kemudian dibubarkan oleh polisi menggunakan gas air mata.
Pengunjuk rasa menghancurkan tembok pembatas, melemparkan batu ke arah polisi, dan membakar satu unit bus di jalan menuju kediaman Gotabaya. Menurut laporan Reuters, inspektur polisi Amal Edirimanne, mengatakan akibat kekerasan yang terjadi dalam unjuk rasa tersebut, jam malam pun diberlakukan di empat divisi di Kolombo.
Pengunjuk rasa di negara berpenduduk 22 juta jiwa itu memprotes pemadaman listrik bergilir selama 13 jam yang dilakukan pemerintah. Alasannya, negara tidak punya cukup uang untuk mengimpor bahan bakar minyak (BBM) untuk mengoperasikan pembangkit listrik.
Menteri Tenaga Listrik Pavithra Wanniarachchi membenarkan pemerintah mengambil kebijakan mematikan lampu jalan untuk menghemat penggunaan listrik. Pemadaman terus meluas hingga menghentikan perdagangan di bursa saham negara itu. "Kami kekurangan solar. Pemadaman listrik bergilir harus terus berlanjut. Tidak ada lagi yang bisa kita lakukan," ujarnya pasrah.
Awalnya aksi protes di luar rumah presiden dimulai dengan damai, tetapi para pemrotes mengungkapkan polisi menembakkan gas air mata, meriam air, dan juga memukuli orang-orang yang hadir. Sejumlah orang juga ditahan. Demo tersebut menandai perubahan besar pada popularitas Presiden Rajapaksa, yang meraih kekuasaan dengan kemenangan mayoritas pada Pemilu 2019. Dia saat itu menjanjikan stabilitas dan "pemerintahan yang kuat" untuk memerintah negara.
Para pengritik menyalahkan korupsi dan nepotisme sebagai alasan utama atas situasi yang dihadapi negara itu. Apalagi saudara-saudara lelaki dan keponakan presiden menempati sejumlah posisi penting di kementerian utama. Warga bertambah marah saat muncul sejumlah kabar bahwa presiden dan para menteri dikecualikan dari pemadaman listrik dan para anggota keluarga mereka masih saja pamer kekayaan.
Pemadaman listrik dinilai menambah penderitaan warga Sri Lanka yang sudah berurusan dengan kekurangan bahan pokok dan harga yang meroket. Inflasi ritel melesat 18,7 persen pada Maret 2022 dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Sedangkan inflasi makanan dan minuman menyentuh angka 30,2 persen yang sebagian besar dipicu devaluasi mata uang.
Ekonom First Capital Research, Dimantha Mathew menyebut bahwa inflasi Sri Lanka berada pada level terburuknya dalam lebih dari satu dekade.
IMF sendiri baru memulai berdiskusi dengan pejabat terkait untuk mengucurkan program pinjaman dalam beberapa hari mendatang. Pinjaman itu dimaksudkan untuk membantu Sri Lanka mengatasi krisis ekonomi terburuk yang pernah dialami negara itu dalam beberapa dekade terakhir. (AFP/CNNI/c)