Washington DC (SIB)
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) merilis Laporan Praktik Hak Asasi Manusia (HAM) di berbagai negara, termasuk Indonesia. Penggunaan aplikasi PeduliLindungi menjadi salah satu yang disorot.
Dikutip dari 2021 Country Reports on Human Rights Practices: Indonesia yang dilihat dari situs Deplu AS, Jumat (15/4), ada sejumlah hal yang disorot dalam laporan tersebut. Salah satunya terkait gangguan sewenang-wenang atau melanggar hukum terkait privasi.
"Laporan Tahunan Negara tentang Praktik Hak Asasi Manusia - Laporan Hak Asasi Manusia - mencakup hak individu, sipil, politik, dan pekerja yang diakui secara internasional, sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan perjanjian internasional lainnya. Departemen Luar Negeri AS menyerahkan laporan tentang semua negara yang menerima bantuan dan semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa kepada Kongres AS sesuai dengan Undang-Undang Bantuan Luar Negeri tahun 1961 dan Undang-Undang Perdagangan tahun 1974," demikian tertulis di awal laporan itu.
Dalam laporannya terhadap kondisi HAM di Indonesia, AS membahas gangguan sewenang-wenang atau melanggar hukum terkait Privasi, keluarga, rumah, atau korespondensi.
"Undang-undang mensyaratkan surat perintah pengadilan untuk penggeledahan kecuali dalam kasus-kasus yang melibatkan subversi, kejahatan ekonomi, dan korupsi. Pasukan keamanan umumnya menghormati persyaratan ini. Undang-undang juga mengatur penggeledahan tanpa surat perintah ketika keadaan 'mendesak dan memaksa'. Polisi di seluruh negeri kadang-kadang mengambil tindakan tanpa otoritas yang tepat atau melanggar privasi individu," tulis laporan itu.
"Pemerintah mengembangkan PeduliLindungi, sebuah aplikasi smartphone yang digunakan untuk melacak kasus Covid-19.
Peraturan pemerintah berupaya menghentikan penyebaran virus dengan mewajibkan individu yang memasuki ruang publik seperti mal untuk check-in menggunakan aplikasi. Aplikasi ini juga menyimpan informasi tentang status vaksinasi individu.
LSM menyatakan keprihatinan tentang informasi apa yang dikumpulkan oleh aplikasi dan bagaimana data ini disimpan dan digunakan oleh pemerintah," tulis laporan itu.
Buzzer hingga Spyware Israel
Laporan Departemen Luar Negeri AS juga menyoroti soal kebebasan internet. AS mengulas soal buzzer hingga kabar penggunaan spyware (perangkat pengintai) buatan Israel.
Ada tujuh bagian dalam satu laporan ini, yakni dari Bagian 1 Penghormatan Integritas Manusia hingga Bagian 7 Hak-hak Pekerja.
Pada Bagian 2 Penghormatan terhadap Kebebasan Sipil, terdapat sub bagian 'Kebebasan Internet'. Di sini, banyak masalah soal kebebasan di dunia maya disoroti. Mereka menyoroti soal UU ITE.
Laporan ini mengulas peristiwa pada 23 Februari-19 2021, patroli siber menandai 189 unggahan media sosial sebagai unggahan yang berpotensi melanggar hukum. Warganet pengunggah konten diperingatkan untuk mengoreksi kontennya.
Laporan AS ini kemudian menyoroti peristiwa dilaporkannya pengkritik Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjadi Wali Kota Solo.
"Contohnya pada 13 Maret, pengguna media sosial mengkritik kompetensi Gibran Rakabuming Raka, wali kota Solo dan putra Presiden Widodo. Polisi virtual merespon komentar di media sosial dengan pernyataan, 'Jangan menyebar hoax di media sosial.' Selanjutnya, polisi memfilmkan dan merilis video berisi pengguna media sosial itu dibawa ke kantor polisi, diproses, dan menyampaikan permintaan maaf atas unggahannya," kata laporan itu.
Laporan AS mengutip SAFEnet menyebut dugaan pembatasan akses internet sebanyak empat kali di Papua selama 2020.
Pada 27 Oktober 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pemblokiran internet oleh pemerintah sah dan konstitusional.
Menurut laporan AS ini, peretas (hacker) pendukung pemerintah sering melakukan doxing terhadap kelompok-kelompok pegiat HAM. Hacker sering menganggu acara-acara online dan meretas akun-akun media sosial serta mengintimidasi pengkritik pemerintah. Mereka mengutip SAFEnet dalam laporan 2020, ada 147 serangan digital, kebanyakan terjadi saat Oktober, yakni selama marak demonstrasi terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja.
"Aktivis-aktivis juga melaporkan adanya 'food bombing' lewat aplikasi online yang dapat memesan makanan dan banyak pesanan makanan itu diarahkan ke LSM, wartawan, dan banyak lokasi lain dengan metode pembayaran 'cash on delivery'," tulis laporan itu.
Bahas Korupsi
Masalah korupsi juga jadi sorotan. Terdapat bagian khusus yang membahas korupsi dan kurangnya transparansi pemerintah.
Dalam bagian 'korupsi dan kurangnya transparansi dalam pemerintah, AS menyoroti kurangnya upaya penegakan hukum terhadap kasus korupsi di Indonesia. Laporan ini menyatakan korupsi tetap mewabah terlepas dari penangkapan dua menteri (sekarang mantan menteri) yang dilakukan KPK terkait korupsi.
Laporan ini juga menyebut koordinasi antara penegak hukum yang berwenang mengusut kasus korupsi tidak konsisten.
Lembaga yang dimaksud ialah KPK, Polri, Unit Kejahatan Ekonomi Khusus Angkatan Bersenjata atau POM TNI dan Kejaksaan.
"Koordinasi dengan unit angkatan bersenjata tidak ada. Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki wewenang untuk menyelidiki anggota militer, juga tidak memiliki yurisdiksi dalam kasus-kasus di mana kerugian negara bernilai kurang dari Rp 1 miliar," tulis laporan itu.
Selain itu, AS juga menyoroti kasus etik yang dilakukan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar. AS mengutip putusan Dewan Pengawas KPK dalam laporannya.
Respon Kemlu
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia pun merespons hal ini.
"Tidak ada negara yang sempurna dalam isu HAM dan tidak juga AS," kata Juru Bicara Kemlu RI, Teuku Faizasyah, Jumat (15/4).
Menurut Faizasyah, AS sendiri bukanlah negara yang sempurna dalam soal HAM. Kasus George Floyd menjadi salah satu contohnya. Pembunuhan pria kulit hitam oleh polisi pada 25 Mei 2020 itu memicu protes masif. Itu adalah salah satu bukti bahwa perkara HAM di AS juga sama-sama belum sempurna.
"Masih ingat kasus terbunuhnya George Floyd oleh polisi AS serta gerakan Black Lives Matter (BLM) sesudahnya?" singgung Teuku Faizasyah.
Tidak Mendasar
Sementara itu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengatakan terkait privasi yang menyeret penggunaan PeduliLindungi, dugaan tersebut tidak berdasar.
"Tuduhan aplikasi ini tidak berguna dan juga melanggar hak asasi manusia (HAM) adalah sesuatu yang tidak mendasar," kata juru bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi seperti dikutip dari situs Sehat Negeriku Kemenkes, Jumat (15/4).
Dia mengatakan laporan AS itu tidak menuduh PeduliLindungi melanggar HAM. Dia berharap tidak ada pihak yang menyimpulkan telah terjadi pelanggaran HAM pada penggunaan PeduliLindungi.
"Marilah kita secara seksama membaca laporan asli dari US State Department. Laporan tersebut tidak menuduh penggunaan aplikasi ini melanggar HAM. Kami memohon agar para pihak berhenti memelintir seolah-olah laporan tersebut menyimpulkan adanya pelanggaran," tutur Nadia.
Nadia mengatakan PeduliLindungi telah berkontribusi pada penanganan pandemi Covid-19. Dia mengatakan rendahnya penyebaran Covid-19 di Indonesia tak lepas dari penggunaan aplikasi itu.
Melindungi Rakyat
Menko Polhukam Mahfud Md mengatakan PeduliLindungi dibuat untuk melindungi rakyat.
"Kita membuat program PeduliLindungi justru untuk melindungi rakyat. Nyatanya kita berhasil mengatasi Covid-19 lebih baik dari Amerika Serikat (AS)" kata Mahfud, Jumat (15/4).
Dia mengatakan, perlindungan HAM bukan cuma hanya HAM individu. Mahfud menilai ada HAM komunal yang juga harus dilindungi.
Mahfud kemudian membandingkan laporan dugaan pelanggaran HAM oleh Indonesia dan AS. Dia menyebut AS lebih banyak dilaporkan.
"Kalau soal keluhan dari masyarakat kita punya catatan AS justru lebih banyak dilaporkan oleh SPMH. Pada sekitar kurun waktu 2018-2021 misalnya, bedasar Special Procedures Mandate Holders (SPMH), Indonesia dilaporkan melanggar HAM 19 kali oleh beberapa elemen masyarakat sedangkan AS pada kurun waktu yang sama dilaporkan sebanyak 76 kali, ada juga India yang juga banyak dilaporkan. Laporan-laporan itu ya biasa saja dan bagus sebagai bentuk penguatan peran civil society. Tapi laporan seperti itu belum tentu benar," ujarnya. (Detikcom/a)