Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Sabtu, 28 Juni 2025

Hari Kartini, Perempuan Jangan Jadikan Emansipasi Tameng untuk Meraih Posisi

Redaksi - Kamis, 21 April 2022 08:50 WIB
334 view
Hari Kartini, Perempuan Jangan Jadikan Emansipasi Tameng untuk Meraih Posisi
Foto: Ist/harianSIB.com
Adolfina Elisabeth Koamesakh, Rochani Litiloly, Martha Lumbantobing.
Medan (SIB)
Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi satu-satunya hal yang benar-benar dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.

RA Kartini
Kesetaraan gender di Indonesia dipelopori RA Kartini sejak tahun 1908 tak semata untuk persamaan hak tapi perjuangan keadilan segala bidang. Mulai pendidikan sebagai basisnya hingga memerdekakan individu dari keterbelakangan. Seabad lebih perlawanan atas ketidakadilan terhadap kaum perempuan untuk masa kini, jangan berlindung di balik emansipasi untuk meraih posisi tapi harus mengandalkan kualitas.

Demikian simpulan tiga cendikiawan perempuan Indonesia dalam memeringati Hari Kartini 21 April. Ketiganya adalah Dr Adolfina Elisabeth Koamesakh SH MMin, Rochani Litiloly SH dan Martha Lumbantobing SE.

Adolfina Elisabeth Koamesakh marah jika perempuan masih mengemis posisi bertameng emansipasi. “Apalagi yang dimaui? Undang-undang kuota 30 persen untuk perempuan, sudah. Jika masih tak bisa diisi, instrospeksi. Seterusnya, jika berkualitas, pasti dapat mengisi posisi strategis lebih dari 30 persen,” ujar Direktur Pascasarjana STT Paulus pada STT Paulus Jalan Kapt Pala Bangun Simalingkar Medan tersebut.

Ia menginginkan, perempuan Indonesia sudah berpikir global untuk aksi parsial guna menyejajarkan kaumnya. Menurutnya, Indonesia meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) sejak lebih dua dasa warsa lalu. “Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan itu sudah memroteksi perempuan agar jangan cengeng,” tegas satu dari sedikit cendikiawan Kristen Indonesi yang bicara di PBB tersebut.

Martha Lumbantobing sependapat dengan pikiran Adolfina Koamesakh. “Ya bener... Undang-undang No 7 tahun 1984 membuka akses dan membungkam diskriminasi terhadap perempuan di segala bidang pembangunan. Tetapi masih dibutuhkan action yang masih mengancam pencapaian keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia,” tegasnya.

Wakil Sekretaris Persatuan Intelegensia Kristen Indonesia (PIKI) Sumut itu mengatakan, semua pihak bicara kesetraan gender tapi ketika kompetisi berlangsung dan persaingan antara perempuan vs pria terjadi, kecenderungan subyektivitas mengemuka. “Ah... perempuan. Gak khawatir repot karena harus mengurus rumah tangga. Bandingkan dengan pria yang bebas,” ujar perempuan yag menangani kelompok kerja wartawan di PDAM Tirtanadi Medan tersebut.

Rochani Litiloly menunjuk peluang perempuan yang masih diincar pria. Menurutnya, perjuangan RA Kartini sudah menjangkau hak dasar kehidupan. Mulai dari Mendapatkan Kesetaraan dalam Hak Pendidikan; Membuka Lebar Kesempatan Perempuan untuk Berkarya; Membangkitkan Kualitas Hidup Perempuan.

“Yang perlu didukung adalah hal psikologis yakni mendorong percaya diri perempuan dalam berkarier karena spirit mental sangat perlu,” ujar perempuan kelahiran Ambon, 9 Agustus 1971 yang pada 1998 dipercaya negara bertugas di Dinas Perhubungan Sumut.

Ibu dari Siti Raini Ayuba yang pelajar SMAN 2 Medan dan Roselly Anggita SMA Harapan Medan itu memastikan, spirit RA Kartini adalah terobosan. “Kalau dari etnis Ambon, ada Pahlawan Nasional Marthina Christina Tiahahu yang tak hanya berjuang emansipasi tapi angkat senjata. Itulah cermin kami, tapi melupakan jasa pahlawan lainnya,” ujar Sekretaris Umum Maluki Satu Rasa (M1R) Salam Sarange (SS) Sumut yang fokus sosial dan melestarikan warisan leluhur tersebut.

Adolfina Elisabeth Koamesakh, Rochani Litiloly dan Martha Lumbantobing memastikan karena perjuangan tak hanya untuk menguntungkan perempuan maka wajar didukung dengan Indonesia maju. (R10/d)

Sumber
: KORAN SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru