Jakarta (SIB)
Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) mengajukan gugatan terhadap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait aplikasi PeduliLindungi. PBHI menilai aplikasi PeduliLindungi rawan bocor karena dikelola oleh swasta.
Obyek gugatan tersebut adalah Keputusan Kementerian Kesehatan Nomor Hk.01.07/Menkes/5680/2021 Tentang Pedoman KerjaSama Penggunaan QR Code Pedulilindungi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). PBHI menilai Keputusan Menkes itu melanggar sejumlah ketentuan peraturan perundang-undabgan terkhusus mengabaikan kewajiban Negara dalam menjamin penghormatan terhadap hak privasi masyarakat.
"Kebijakan kerjasama dengan pihak swasta dalam skema QR Code aplikasi PeduliLindungi dengan Penyedia Platform Aplikasi (PPA) swasta yang diterbitkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan masih nihilnya perspektif hak asasi manusia, terkait dengan data pribadi sebagai hak dasar yang wajib dilindungi oleh negara dalam penyusunan regulasi dan kebijakan di Indonesia," kata Ketua PBHI Julius Ibrani dalam keterangan persnya, Kamis (28/4).
Pasal 28 G ayat (1) secara tegas menyebutkan bahwa Negara berperan sebagai aktor yang memberikan perlindungan penuh terhadap sistem perlindungan data pribadi sebagai bagian dari hak privasi dan guna menghindarkan potensi penyalahgunaan data tersebut.
"PBHI menyayangkan serta mempertanyakan sikap gegabah Kemenkes untuk membuka ruang kerja sama pemanfaatan data-data pribadi yang dapat dikategorikan sebagai personal health records pengguna aplikasi (data vaksinasi, hasil tes Antigen-PCR) diteruskan kepada pihak swasta," ujar Julius.
Berdasarkan ketentuan Pasal 47 UU Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, hanya dokter maupun pimpinan sarana kesehatan yang dapat mengakses data tersebut, dan wajib menjaga kerahasiannya.
"Penerbitan kebijakan ini jelas telah melanggar ketentuan dan prinsip dasar perlindungan dan pernghormatan Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan pasal 17 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang memandatkan negara untuk meminimalisir potensi kebocoran data pribadi melalui akses kepentingan otoritas dan pihak ketiga," beber Julius.
Kedua, Keputusan setingkat menteri yang secara substansi seharusnya bersifat individual, konkret dan final. Tapi justru merumuskan sejumlah pengaturan umum yang berdampak besar kepada jaminan perlindungan data pribadi para pengguna aplikasi.
"Ketiadaan partisipasi publik dan nihilnya sistem pengawasan independen dalam keseluruhan proses pelaksanaan kebijakan dapat membuka peluang besar praktek penyalahgunaan data oleh seluruh pemangku kepentingan yang terlibat," tegas Julius.
Oleh sebab itu, PBHI mendesak DPR untuk segera mengesahkan Rancangan UU Perlindungan Data Pribadi yang mengakomodir aspirasi masyarakat sipil dan mengedepankan prinsip dan standar proteksi tertinggi terhadap hak dan kebutuhan dasar privasi masyarakat Indonesia. Selaim itu, pemerintah untuk melakukan penataan ulang produk kebijakan setingkat menteri yang bertanggungjawab.
"Pemerintah c.q Kementerian Kesehatan c.q seluruh pemangku kepentingan terkait untuk memastikan partisipasi dan keterlibatan penuh publik dalam setiap penyusunan kebijakan, pembentukan peraturan perundang-undangan dan regulasi terkait lainnya," pungkas Julis (detikcom/d)