Sebanyak 12 dari 14 Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif disetujui Jaksa Agung RI melalui JAM-Pidum Fadil Zumhana, setelah terlebih dahulu dilakukan ekspose (gelar perkara) secara virtual, Kamis (7/7) lalu. Demikian disampaikan Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam siaran persnya melalui WA kepada wartawan, Sabtu (9/7).
Menurut Kapuspenkum,gelar perkara secara virtual terhadap 14 perkara tindak pidana umum (Pidum) itu, dihadiri JAM-Pidum Fadil Zumhana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani, Koordinator pada JAM-Pidum, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) dan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) yang mengajukan permohonan penerapan restorasi keadilan atau restorative justice (RJ).
Kedua belas berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan penerapan RJ tersebut yaitu; dua tersangka yang diajukan Kejari Murung Raya terkait perkara pelanggaran Pasal 162 UU RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara jo pasal 39 Ke-2 UU RI Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja jo pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Satu tersangka dari Kejari Jakarta Timur terkait pelanggaran pasal 335 Ayat (1) KUHP Atau Pasal 2 Ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Pengancaman atau Membawa Senjata Tajam, satu tersangka dari Kejari Jakarta Timur terkait pelanggaran Pasal 76 C Jo Pasal 80 ayat (1) UU RI Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan satu tersangka dari Kejari Tarakan terkait perkara penadahan.
Kemudian satu tersangka dari Kejari Bontang terkait pelanggaran Pasal 310 Ayat (4) UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dua tersangka dari Kejari Palu terkait penganiayaan, satu tersangka dari Kejari Ketapang terkait pencurian, satu tersangka dari Kejari Karanganyar terkait pelanggaran Pasal 310 Ayat (1) UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, satu tersangka dari Kejari Purbalingga terkait perkara Pencurian, dua tersangka dari Kejari Nias Selatan, satu tersangka dari Kejari Kepulauan Morotai terkait perkara penganiayaan dan dua tersangka dari Kejari Kepulauan Sula terkait perkara penganiayaan.[br]
Menurut Kapuspenkum,alasan pemberian penghentian penuntutan dengan penerapan RJ untuk 12 perkara itu antara lain; karena telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf; tersangka belum pernah dihukum; tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana; ancaman pidananya adalah denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya.
Kemudian proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi; tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar. Lalu pertimbangan sosiologis karena masyarakat merespon penerapan RJ secara positif.
Sementara dua berkas perkara lagi yaitu satu tersangka dari Kejari Serang yang disangka melanggar Pasal 363 Ayat (1) ke-3 dan ke-5 KUHP tentang Pencurian dengan Pemberatan, dan satu tersangka dari Kejari Medan yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP Jo Pasal 64 Ayat (1) KUHP tentang pencurian, tidak dikabulkan JAM-Pidum Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, dikarenakan perbuatan atau tindak pidana yang telah dilakukan oleh tersangka bertentangan dengan nilai-nilai dasar sesuai Peraturan Jaksa Agung (Perja) Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
“JAM-Pidum memerintahkan kepada para Kajari untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif, sesuai Perja Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” kata Kapuspenkum Kejagung. (BR1/a)