Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Kamis, 07 Agustus 2025
Di Era Modern

Semakin Banyak Wanita Memilih Tidak Menikah-Punya Anak

Sejumlah Negara Barat Hingga Asia Diserang Resesi Seks
Redaksi - Minggu, 28 Agustus 2022 09:25 WIB
2.112 view
Semakin Banyak Wanita Memilih Tidak Menikah-Punya Anak
Foto : Istimewa
Indah Sundari Jayanti
Jakarta (SIB)
Sejumlah negara, salah satunya China, kini melaporkan 'penyusutan' populasi imbas 'resesi seks'. Pasalnya, warga termasuk para wanita enggan menikah, berhubungan seks, serta memiliki atau membesarkan anak.

Dilihat dari ranah psikologi, ada banyak faktor penyebab wanita enggan menikah dan punya anak. Di antaranya, yakni kencangnya tuntutan dan stigma pada wanita untuk menjadi ideal sesuai standar sosial. Walhasil, di era modern dengan keterbukaan informasi dan ruang berpendapat, semakin banyak wanita memilih untuk tidak menikah dan mempunyai anak.

"Semakin ke sini kita menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan yang semakin besar. Otomatis itu berdampak kepada bagaimana kesiapan kita untuk menikah, menjadi ibu, mengurus anak. Bahkan banyak kok perempuan yang memutuskan (punya anak) satu saja. Bukan karena mereka nggak mau punya anak lagi, tetapi mereka tahu (mempunyai anak) sangat menantang ke depannya," ujar psikolog pendidikan sekaligus influencer Indah Sundari Jayanti, MPsi, saat ditemui di Jakarta Selatan, Kamis (25/8).

Penyebab kedua yakni semakin sulitnya tantangan untuk membesarkan anak, terlebih di kota besar. Bukan hanya perihal materil dan biaya, melainkan juga menjaga anak dari terpaan pergaulan di kota besar.

"Biaya sekolah, membesarkan anak di kota besar yang pergaulannya juga harus sangat diperhatikan. Itu tantangannya di situ. Jadi aku rasa, hal-hal itu menjadi beberapa alasan yang membuat banyak perempuan memutuskan untuk nggak mau menikah atau punya anak," beber Indah lebih lanjut.

Terakhir menurutnya, semakin banyak informasi tentang wanita enggan menikah dan membesarkan anak, semakin banyak orang memutuskan untuk melakukan hal serupa.

Terdapat kemungkinan, keengganan untuk menikah dan mempunyai anak sudah lama dirasakan oleh seorang wanita.

Dengan melihat banyak orang lain melakukan hal serupa, wanita tersebut merasa tervalidasi sehingga menjadi tidak ragu untuk mengikuti keinginannya.[br]

"Semakin banyak orang yang berani berpendapat seperti itu, membuat semakin banyak orang yang merasa bahwa nggak apa-apa saya berpendapat seperti itu. Toh dia (orang lain) juga melakukan yang sama," jelas Indah.

"Jadi ada semacam komunikasi persuasi antara satu dan lain perempuan. Semakin banyak orang yang ngomong begitu, bentuk perilakunya juga akan semakin nyata. Akhirnya karena banyak yang speak up, banyak juga perempuan merasa terwakilkan dan merasa nggak apa-apa kalau melakukan hal yang sama," pungkasnya.


Diserang Resesi Seks

Fenomena "resesi seks" terjadi di banyak negara di dunia, mulai dari wilayah Barat hingga Asia. Istilah ini merujuk pada menurunnya mood pasangan untuk melakukan hubungan seksual, menikah dan punya anak.

Resesi seks yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir ini muncul sebagai dampak dari sejumlah soal. Mulai dari China, Amerika Serikat (AS), hingga negara tetangga RI, Singapura, menjadi deretan negara yang mengalami fenomena ini.

Berikut sejumlah negara yang juga mengalami resesi seks, mengutip dari berbagai sumber:


Amerika Serikat (AS)

Mckinsey mencatat ukuran rumah tangga di AS terus menyusut selama bertahun-tahun. Pada 1960, rata-rata jumlah orang dalam sebuah rumah tangga sebanyak 3,33 orang. Pada 2021, angkanya turun menjadi 2,51 orang saja.

Analis Jake Novak dalam hasil penelitiannya yang dimuat di CNBC International, mengatakan 'resesi seks' terjadi di kalangan milenial di rentang usia 20-an hingga menjelang 40 tahun. Menurutnya, menurunnya tingkat seks dan pernikahan mengindikasikan bahwa kaum muda ingin menunda aspek-aspek "kedewasaan" lainnya.

Ini bisa berimbas ke sejumlah sektor lain di kehidupan seperti properti (membeli rumah) atau otomotif (membeli mobil).


China

Data Biro Statistik Nasional China mencatat angka kelahiran hanya mencapai 7,52 kelahiran per 1.000 orang pada 2021, jumlah terendah sejak 1949. Sementara angka kelahiran pada tahun 2020 adalah 8,52 kelahiran per 1.000 orang.

Data juga menunjukkan ada 10,62 juta kelahiran pada tahun 2021 dibandingkan dengan 12 juta pada tahun 2020. Tak hanya itu, tingkat pertumbuhan alami populasi China, yang tidak termasuk migrasi, hanya 0,034% untuk 2021, terendah sejak 1960.

Tak ada alasan langsung mengapa angka kelahiran turun. Namun keengganan untuk menikah dan memiliki anak sendiri dimotori oleh kurangnya waktu dalam mengurus keluarga hingga biaya pernikahan dan beban ekonomi.

Pada Oktober lalu, Liga Pemuda Komunis China mengeluarkan publikasi yang mencatat hampir setengah atau 50% dari wanita muda yang tinggal di perkotaan negeri itu enggan menikah.[br]

Huang Wenzheng, pakar demografi dari Pusat China dan Globalisasi yang berbasis di Beijing, mengatakan jumlah kelahiran kemungkinan akan berfluktuasi dalam kisaran 10 juta sebelum menurun lebih jauh karena tidak banyak perubahan kebijakan.

"Kebijakan akan memberikan dukungan yang lebih besar untuk tingkat kelahiran dalam jangka panjang," kata Huang.

"Kemajuan karir dapat dikaitkan dengan apakah Anda memiliki anak atau tidak; insentif ekonomi; atau bahkan pembayaran tunai langsung oleh masyarakat untuk memenuhi biaya membesarkan keluarga."


Jepang

Mengutip Reuters, ada 811.604 kelahiran di Jepang pada tahun lalu. Angka ini merupakan rekor terendah sejak 1899.

Di sisi lain, angka kematian naik menjadi 1.439.809 jiwa. Hal ini menyebabkan penurunan populasi hingga 628.205 jiwa.

Selain itu, tingkat kesuburan keseluruhan turun selama enam tahun berturut-turut, menjadi 1,3. Tingkat kesuburan keseluruhan ini sendiri menggambarkan jumlah rata-rata anak yang lahir dari seorang wanita seumur hidupnya.

Jepang sendiri merupakan negara yang mengalami penuaan tercepat di dunia. Dengan angka kelahiran yang rendah, Tokyo saat ini mulai mengandalkan pekerja dari luar negeri.


Korea Selatan (Korsel)

Di Korsel, fenomena resesi seks makin banyak dilakukan pasca munculnya sebuah kelompok feminis radikal yang mendukung hal tersebut. Kelompok itu bernama '4B' atau 'Four No's'.

Menurut laporan, Four No's sendiri merupakan kepanjangan dari 'no dating, no sex, no marriage, and no child-rearing', yang artinya adalah tidak berkencan, tidak melakukan seks, tidak menikah, dan tidak memiliki atau mengasuh anak.

Kelompok tersebut berisikan kumpulan wanita yang menolak sistem sosial patriarki yang kaku dan bersumpah untuk tidak menikah, punya anak, atau bahkan berkencan dan berhubungan seks.

Menurut data satu dekade lalu, hampir 47% wanita Korea yang lajang dan belum menikah mengatakan bahwa mereka menganggap pernikahan itu perlu. Namun sejak 2018, jumlahnya turun menjadi 22,4%.

Sementara itu, jumlah pasangan yang menikah merosot menjadi 257.600 pasangan saja, turun dari 434.900 pernikahan pada tahun 1996. Akibat hal ini, Korsel terancam menghadapi bencana demografis yang membumbung tinggi.

Saat ini, tingkat kesuburan total di Korsel turun menjadi 0,98 pada tahun 2018. Persentase ini jauh di bawah 2,1% yang dibutuhkan untuk menjaga populasi tetap stabil.

Pemerintah memperkirakan populasi Korsel yang saat ini di angka 55 juta, akan turun menjadi 39 juta pada tahun 2067. Pada tahun itu, setengah dari populasi negara tersebut akan berusia 62 tahun atau lebih.


Singapura

Berdasarkan data yang dirilis pada 2021, hanya ada 19.430 pernikahan yang terjadi antar warga Singapura pada 2020.

Jumlah ini menurun 12,3% dari 22.165 pernikahan pada tahun sebelumnya. Ini merupakan angka terendah sejak tahun 1986, yakni 19.348 pernikahan.

Selain itu, kurang bersemangatnya para wanita melakukan hubungan seks menjadi penyebab fenomena ini. Dalam sebuah riset yang dilakukan Rumah Sakit Wanita dan Anak KK (KKH) Singapura akhir tahun lalu, disimpulkan bahwa 60% wanita Singapura yang disurvei mengalami 'resesi seks' karena memiliki fungsi seksual yang rendah.[br]

Perkawinan yang langka dilakukan warga Singapura membuat negara itu mengalami tingkat kelahiran rendah.

Pada 2021, misalnya, angka kelahiran di negara tersebut hanya mencapai 1,12 bayi per wanita. Adapun, jumlah ini sangat rendah jika dibandingkan dengan rata-rata global yang berkisar di angka 2,3.

Kondisi ini lantas membuat pemerintah melakukan sejumlah upaya guna menggenjot tingkat perkawinan di Negeri Singa.

Salah satunya dengan menawarkan insentif uang tunai 'bonus bayi' untuk menambah semangat warga negara tersebut memiliki anak.

Bahkan, Singapura berencana mengizinkan para wanita lajang untuk membekukan sel telurnya mulai tahun depan. Ini membuka kemungkinan bagi para wanita untuk hamil sekalipun saat tubuhnya tak lagi memproduksi sel telur.


Rusia

Indikasi resesi seks di Rusia terlihat dari krisis populasi yang tengah terjadi. Hal itu akhirnya membuat Presiden Rusia Vladimir Putin meluncurkan dekrit baru. Dia menghidupkan kembali penghargaan "Mother Heroine" era Uni Soviet untuk mengatasi krisis populasi yang sedang melanda negaranya saat ini.

Mother Heroine ditunjukkan untuk wanita yang memiliki lebih dari 10 anak. Tujuannya adalah dalam rangka meringankan krisis demografis Rusia.

Penghargaan itu sendiri diperkenalkan oleh Joseph Stalin setelah Perang Dunia II. Pada waktu itu, populasi di Uni Soviet menurun drastis mencapai puluhan juta.

Namun akhirnya Mother Heroine berhenti diselenggarakan saat Uni Soviet runtuh tahun 1991. Lebih dari 30 tahun berlalu, penghargaan kembali dihidupkan melalui pemerintah Putin.

"Sang ibu akan diberikan 1 juta Rubel (Rp 248 juta). Yakni saat anak ke-10nya berusia 1 tahun dan seluruh anaknya masih hidup," tulis CNN International.

Statistik Rosstat terbaru mengatakan populasi negara tersebut menyusut rata-rata 86 ribu orang per bulan hanya dalam periode bulan Januari hingga Mei.

Sementara itu perang dengan Ukraina juga berdampak pada Rusia. Kerugian besar akibat perang juga terjadi di antara pasukan di Ukraina, meskipun jumlah korban pastinya belum diungkapkan. (detikhealth/CNBCI/d)

Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru
Bupati Kolaka Timur Kena OTT KPK

Bupati Kolaka Timur Kena OTT KPK

Jakarta(harianSIB.com)KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) di Sulawesi Tenggara (Sultra). Salah satu pejabat yang ditangkap ialah seor