Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Rabu, 25 Juni 2025

Ketua MPR RI Sebut Urgensi PPHN Telah Ada Sejak Awal Kemerdekaan RI

Redaksi - Selasa, 30 Agustus 2022 10:49 WIB
439 view
Ketua MPR RI Sebut Urgensi PPHN Telah Ada Sejak Awal Kemerdekaan RI
Foto: Istimewa
Bambang Soesatyo
Jakarta (SIB)
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menekankan munculnya gagasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) bukan untuk membatasi otoritas pemerintah. Menurut Bamsoet, gagasan tersebut didasari pada niat baik.

Menurutnya, kebutuhan akan PPHN telah dirasakan sejak awal kemerdekaan. Kala itu MPR sebagaimana dimaksud Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 belum bisa dibentuk.

Untuk memenuhi ketentuan pasal IV Aturan Peralihan, dibentuk Komite Nasional Pusat (KNP) pada 29 Agustus 1945. KNP yang merupakan Badan Pembantu Presiden, memiliki anggota yang terdiri dari pemuka-pemuka masyarakat dari berbagai golongan dan daerah-daerah, termasuk mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Bamsoet menjelaskan pada persidangan kedua 16 Oktober 1945, KNP mendesak Presiden untuk segera membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat. Di samping itu, KNP juga meminta segera dibentuk Badan Pekerja yang bertanggung jawab terhadap KNP.

Adapun permintaan tersebut didasarkan pada pertimbangan banyak anggota KNP yang diperlukan di daerah, sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan maksimal.

"Bung Hatta yang hadir dalam Sidang KNP, akhirnya mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X (nomor eks, karena belum diberi nomor) tanggal 16 Oktober 1945. Di dalamnya menegaskan bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), serta pekerjaan KNP sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggungjawab kepada KNP," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Senin (29/8).[br]

Usai melantik Faisal Amri dari Kelompok DPD menjadi Anggota MPR RI dalam Pergantian Antar Waktu, di Komplek MPR RI, Jakarta, Ketua DPR RI ke-20 ini memaparkan pada tahun 1960, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) menetapkan Ketetapan MPRS Nomor: I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-Garis Besar daripada Haluan Negara.

"Ketetapan tersebut menjadi pedoman dalam menyusun cetak biru pembangunan, yang selanjutnya ditetapkan oleh MPRS dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana tahap pertama 1961-1969. Pada masa persidangan yang sama, MPRS juga menetapkan Ketetapan MPRS Nomor IV/MPRS/1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. Jadi, saya heran kalau hari gini masih ada yang ragu terhadap kehadiran PPHN," jelas Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menyebut kebutuhan Garis-Garis Besar Haluan Negara terus berlanjut hingga era pemerintahan Presiden Soeharto. Menurut Bamsoet, dalam rentang tahun 1973 sampai dengan 1998, MPR menetapkan enam Ketetapan MPR tentang Garis Garis Besar Haluan Negara.

Di antaranya terkait tugas Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai Pola Umum Pembangunan Nasional. Ini merupakan rangkaian lanjutan dari program-program Pembangunan di segala bidang dalam rangka mewujudkan Tujuan Nasional sebagaimana yang diamanatkan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

"Garis-Garis Besar Haluan Negara tetap dibutuhkan pada awal reformasi. MPR menetapkan Ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara; dan Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004," terang Bamsoet.

Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila ini pun menyayangkan eksistensi GBHN yang hilang sejalan dengan dipilihnya presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat. Lebih lanjut, Bamsoet menyebutkan salah satu dampak model perencanaan pembangunan yang berlaku saat ini adalah pembangunan menjadi bersifat executive centris.

Padahal, kata Bamsoet, berdasarkan Undang-Undang Dasar terdapat lembaga-lembaga negara lainnya yang mewakili cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif, yang juga memerlukan haluan dalam menjalankan wewenang dan tugasnya. Alhasil, cabang-cabang kekuasaan dalam negara seolah tidak terhubung antara satu sama lain.

"Tidak heran jika kini berkembang anggapan bahwa pandangan yang menjadikan pemilihan langsung sebagai alasan untuk menghilangkan eksistensi GBHN merupakan pemikiran yang keliru. Pemilihan langsung hanyalah bentuk sistem pemilihan presiden yang merupakan konsekuensi logis dari wujud kedaulatan rakyat. Pemberi kedaulatan yang terwakili oleh lembaga perwakilan rakyat yang paling lengkap, yaitu MPR seharusnya tetap memiliki hak untuk merumuskan arah haluan pembangunan nasional," tuturnya.[br]

Dewan Pakar KAHMI ini menekankan bertalian dengan dasar kedaulatan rakyat, serta model demokrasi permusyawaratan yang menjadi ciri khas demokrasi Indonesia, ide menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara sebagai panduan pembangunan menjadi lebih relevan. Meski diakuinya upaya tersebut tidak mudah. Bamsoet mengatakan dalam dua periode keanggotaan yang lalu, MPR hanya mampu menghasilkan rekomendasi kepada MPR periode berikutnya.

Karena itu, pada pertengahan bulan September mendatang, pihaknya berencana menyelenggarakan Sidang Paripurna untuk menindaklanjuti hasil kajian substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara yang telah diselesaikan oleh Badan Pengkajian MPR.

"Saya harus menegaskan gagasan menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara, tidak dimaksudkan untuk mempertentangkan dominasi antara eksekutif dan legislatif sebagaimana sering diperdebatkan para ahli. Tidak pula dimaksudkan sebagai upaya MPR untuk membatasi otoritas pemerintah dalam ruang presidensial," katanya.

"Gagasan ini didasari oleh niat baik, yaitu untuk lebih memberikan jaminan kesinambungan dan keterpaduan pembangunan seluruh penyelenggara negara, baik di pusat maupun daerah. Mampu memberikan gambaran wajah Indonesia dalam kurun waktu 50 atau 100 tahun ke depan, beserta tahapan-tahapan yang harus dilakukan untuk mencapainya. Serta, untuk semakin meneguhkan arah cita-cita Indonesia merdeka," pungkas Bamsoet. (detikcom/d)

Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru