Medan (SIB)
Sekretaris Dewan Pembina Gereja Pentakosta, Pbs Edwin Siburian SEAk MSi dan Gembala Gereja Pentakosta Sumatera Utara / Pinksterkerk (GPSU/P), Pdt Krisman Saragih STh mengkritisi Peraturan Gubernur (Pergub) Sumut yang dinilai diskriminatif. Ia menyorot Pergub Nomor 19 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pengelolaan Belanja Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD.
Di tempat terpisah, keduanya menyesalkan Pergub yang memunculkan ragam penafsiran bahkan membuka kemungkinan kontra produktif. “Bagi saya, Pergub yang dinilai diskriminatif itu memacu langkah dan pikiran positif pada gereja untuk ikut berpolitik, agar seluruh kebijakan memerhatikan kepentingan seluruh umat. Gereja jangan alergi berpolitik tapi harus berpolitik,” ujar Pdt Krisman Saragih seusai menghadiri Wisuda Angkatan I Sekolah Alkitab Saem Ekklesia Medan di Jalan Seser - Medan Amplas, Medan, Sabtu (24/9).
Ia tahu, ada desakan revisi dan gubernur menyediakan waktu untuk berdialog. “Antisipasi di kemudian hari, hendaknya lebih hati-hati mengeluarkan Pergub. Saya yakin Pak Edy Rahmayadi seorang nasionalisme sejati tapi kasus-kasus ‘diskriminatif’ pada gereja, dapat dipolitisir lawan-lawan politiknya. Kan prihatin, masyarakat menonton ada katakanlah ‘akrobat’ politik,” ujarnya.
Sebagaimana jadi diskusi publik, khususnya kalangan gereja, sehubungan keluarnya Pergub Nomor 19 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pengelolaan Belanja Hibah dan Bantuan Sosial yang Bersumber dari APBD.
Sama seperti Pdt Krisman Saragih, Pbs Edwin Siburian menanggapi positif Pergub tersebut, tapi karena sudah terkategori diskriminatif tentu tidak baik. “Bagi saya, Pergub yang dinilai diskriminatif itu memacu langkah dan pikiran positif pada gereja untuk ikut berpolitik, agar seluruh kebijakan memerhatikan kepentingan seluruh umat. Gereja jangan alergi berpolitik tapi harus berpolitik. Di politik itulah dimasukkan kebijakan pro-gereja,” ujarnya ketika dihubungi dari Medan. Pbs Edwin Siburian sedang berada di Kantor Pusat Gereja Pentakosta Jalan Lingga Pematangsiantar.
Pbs Edwin Siburian mengulas pada pasal 7 yang merinci bahwa Gereja Kharismatik tidak diizinkan mendapat bantuan dana yang bersumber APBD. “Semua warga Sumut, apalagi gereja adalah bagian dari Sumut. Jadi tidak terlarang mendapat bantuan. Bantuan untuk gereja berarti ‘menempatkan’ tanggung jawab pemerintah dalam membina warganya. Dalam hal ini jemaat Gereja Pentakosta,” tegasnya. “Pahami, tidak ada jemaat gereja, dalam konteks ini gereja kharismatik, terhukum.”
Pdt Krisman Saragih memerhatikan fenomena penganggaran di Pemerintah Provinsi Sumut, sepertinya ada diskriminasi pada warga Kristen. “Saya berharap, gubernur terbuka atas masukan dari gereja. Saya yakin benar nasionalisme keIndonesiaan seorang Pak Edy Rahmayadi. Artinya, Gubernur harus memiliki pemikir yang berasal dari gereja,” tegasnya.[br]
Hal serupa diutarakan Pbs Edwin Siburian. Selain mengusulkan agar kader-kader gereja berpolitik, agamawan pun diharap menetralisir bila ada riak. “Saya sudah tahu, gubernur terbuka dan bersedia merivisi. Dalam pekan ini pun dilakukan pertemuan terbuka, tapi berarti ada mubazir waktu. Idealnya, ketika draf disusun, digodok hingga ditandatangani, lebih dahulu dikupas bersama warga gereja hingga tidak terjadi ‘penolakan’,” tegasnya.
Pbs Edwin Siburian dan Pdt Krisman Saragih berharap, gereja tidak menjadi obyek diskusi terkait keduniawian. Keduanya menyorot pernah terjadi “dialog kritis” soal penganggaran sehubungan tidak dianggarkan dana perayaan ibadah gereja untuk perayaan Natal dan Paskah Oikumene. “Kurang bijaksana jika diskursus itu terkait hal sensitif, keuangan!” tegas Pdt Krisman Saragih.
Keduanya berterima kasih jika gubernur cepat tanggap dan langsung memanggil unsur gereja untuk mengesampingkan Pergub Sumut yang dinilai diskriminatif dimaksud. (R10/a)