Moskow (SIB)
Mantan Presiden Rusia, Dmitry Medvedev, yang juga sekutu dekat Presiden Vladimir Putin, secara gamblang meningkatkan ancaman baru soal penggunaan senjata nuklir dalam operasi militer Rusia di Ukraina.
Seperti dilansir Reuters dan The Guardian, Selasa (27/9), Medvedev yang kini menjabat wakil ketua Dewan Keamanan Rusia -- diketuai Putin-- menegaskan Rusia memiliki hak untuk mempertahankan wilayahnya dengan senjata nuklir jika didorong melampaui batas.
Dia juga menegaskan bahwa hal tersebut 'bukan gertakan'. "Jika ancaman terhadap Rusia melebihi batasan bahaya yang ditetapkan, kami harus merespons. Tanpa meminta izin siapapun, tanpa konsultasi panjang. Dan ini jelas bukan gertakan," tegas Medvedev, yang menjabat Presiden Rusia tahun 2008-2012.
Putin, pada Rabu (21/9) pekan lalu, mengumumkan mobilisasi militer parsial dan mendukung rencana menganeksasi sejumlah wilayah Ukraina melalui referendum. Saat itu, Putin juga memperingatkan Barat bahwa dirinya tidak menggertak ketika menyatakan siap menggunakan senjata nuklir untuk mempertahankan Rusia. Dalam pernyataan yang disampaikan via Telegram, Medvedev secara spesifik mengkritik Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Perdana Menteri (PM) Inggris Liz Truss, yang disebutnya 'menuntut agar Rusia memindahkan tangan dari tombol nuklir'.
Medvedev meyakini Barat tidak akan membantu Ukraina atau melakukan pembalasan jika Rusia memang menggunakan senjata nuklir. "Mari kita bayangkan bahwa Rusia terpaksa menggunakan senjata paling menakutkan terhadap rezim Ukraina, yang telah melakukan aksi agresi skala besar, yang berbahaya bagi keberadaan negara kita. Saya yakin NATO tidak akan secara langsung campur tangan dalam konflik, bahkan dalam situasi ini," cetusnya.
"Para demagog di seberang lautan dan di Eropa tidak akan mati dalam kiamat nuklir," sebut Medvedev. "Bagaimanapun juga, keamanan Washington, London dan Brussels jauh lebih penting bagi Aliansi Atlantik Utara daripada nasib Ukraina, yang tidak dibutuhkan siapapun, bahkan jika negara itu mendapat pasokan berbagai senjata yang berlimpah," ucapnya.
Menurut doktrin nuklir Rusia, Presiden bisa menggunakan senjata nuklir jika negara menghadapi ancaman eksistensial, termasuk dari senjata konvensional. Diketahui bahwa sekira 90 persen hulu ledak nuklir di dunia dipegang oleh Rusia dan AS, yang sejauh ini masih menjadi kekuatan nuklir terbesar di dunia.
"Saya harus mengingatkan Anda sekali lagi -- untuk telinga-telinga tuli yang hanya mendengar diri mereka sendiri. Rusia memiliki hak untuk menggunakan senjata nuklir jika diperlukan," tegas Medvedev, sembari menjelaskan situasi itu berlaku dalam 'kasus-kasus yang telah ditentukan' dan dengan 'sangat mematuhi dasar kebijakan negara dalam bidang pencegahan nuklir'.
Siap-Siap Aneksasi
Sementara itu, presiden Rusia Vladimir Putin dilaporkan bersiap secara resmi menganeksasi atau mencaplok 15 persen wilayah Ukraina. Langkah ini diambil Putin setelah sejumlah referendum penentuan bergabung dengan Rusia digelar di beberapa wilayah Ukraina yang telah diduduki Moskow saat ini.
Kementerian Pertahanan Inggris memprediksi Putin akan secara resmi mengumumkan aneksasi wilayah Ukraina dalam pidato di depan parlemen Rusia, Duma, pada 30 September mendatang.[br]
"Para pemimpin Rusia hampir pasti berharap bahwa setiap pengumuman aksesi akan dilihat sebagai pembenaran operasi militer khusus [invasi] dan akan mengkonsolidasikan dukungan untuk konflik," kata Kemhan Inggris pada Selasa (27/9).
Rumor peresmian pencaplokan ini muncul ketika Rusia selesai menggelar referendum di sejumlah wilayah yang didudukinya di Ukraina. Padahal, referendum itu dinilai komunitas internasional melanggar hukum internasional dan tidak sah, termasuk oleh sekutunya sendiri seperti Serbia sampai Kazakhstan.
Rusia berencana mencaplok sekira 15 persen wilayah Ukraina yang saat ini dikendalikan pasukannya dan sekira 3 persen wilayah lainnya yang tidak dalam kendalinya, termasuk garis depan pasukan Ukraina seperti Donetsk. Area-area yang menjadi target pencaplokan Rusia antara lain sebagian besar Ukraina timur yang dikenal sebagai Donbas.
Donbas telah lama menjadi markas kelompok separatis pro-Rusia dan rumah bagi banyak warga etnis Rusia dan warga Ukraina berbahasa Rusia.
Dalam sensus Ukraina pada 2001, 17 persen warga mengidentifikasi mereka sebagai orang Rusia dan 78 persen lainnya menganggap mereka warga Ukraina. Bahasa Rusia memang menjadi bahasa kedua yang paling banyak dipakai warga Ukraina setelah bahasa Ukraina.
Putin sempat mengatakan penyiksaan orang-orang Rusia dan penutur bahasa Rusia di Ukraina menjadi salah satu alasan menginvasi negara eks Uni Soviet itu. Meski begitu, Rusia tidak pernah memberikan bukti terkait klaim penyiksaan dan diskriminasi tersebut.
Selain Donbas, Rusia juga ingin mencaplok Zaporizhzhia. Moskow setidaknya ingin menguasai 90 ribu kilometer persegi wilayah tersebut atau seluas Hungaria atau Portugal. Putin juga diprediksi akan memasukan Semenanjung Crimea dalam peresmian pencaplokan wilayah Ukraina meski Rusia telah menganeksasi wilayah itu sejak 2014. (Rtr/detiknews/c)