Jakarta (SIB)
Menko Polhukam Mahfud Md memimpin pertemuan ke-26 dewan politik dan keamanan ASEAN. Mahfud mendorong adanya perjanjian ekstradisi ASEAN.
Berdasarkan dari keterangan yang diterima, Selasa (9/5), di awal sambutannya Mahfud menyambut keikutsertaan Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Timor Leste Adaljiza Magno. Dia berharap Timor Leste dapat memberikan kontribusi membangun ASEAN.
"Hari ini, kita juga menyambut keikutsertaan Menteri Luar Negeri dan Kerja Sama Timor-Leste Yang Mulia Adaljiza Magno dalam pertemuan APSC untuk pertama kalinya. Saya yakin keikutsertaan Timor-Leste akan memberikan kontribusi besar bagi pembangunan komunitas ASEAN," kata Mahfud.
Mahfud menyebut, ASEAN kini sudah berada di persimpangan jalan. Mahfud mengatakan, krisis demi krisis yang ada, jika tidak dilalui akan membahayakan organisasi tersebut.
"ASEAN saat ini berada di persimpangan jalan. Krisis demi krisis tengah menguji kekuatan kita sebagai sebuah Komunitas. Jika kita gagal untuk mengatasinya akan berisiko membahayakan relevansi kita," ujarnya.
"Dari luar, kita menghadapi persaingan antara kekuatan besar yang berpotensi memecah belah kelompok kita. Pada saat yang sama, kita juga harus menghadapi krisis pangan dan energi serta perlambatan ekonomi global," lanjut Mahfud.
Mahfud juga menyinggung krisis di Myanmar. Namun, dia juga mengingatkan polemik lain, seperti terorisme hingga perdagangan orang. "Dari dalam, kita menghadapi krisis berkepanjangan di Myanmar serta dampak kemanusiaan yang dibawanya. Isu-isu ini mengemuka pada pertemuan-pertemuan ASEAN beberapa waktu belakangan. Namun, kita tidak boleh melupakan tantangan lain di kawasan ini," ujarnya.
"Saya ingin kita memperhatikan proliferasi kejahatan transnasional di kawasan ASEAN, mulai dari terorisme, narkoba, hingga pencucian uang dan perdagangan orang. Tindak kejahatan ini tidak hanya mengancam perdamaian, stabilitas, dan kemakmuran di kawasan, tetapi juga menghambat proses pembangunan masyarakat kita," ucapnya.[br]
RI sebut Mahfud memberikan perhatian serius ada polemik yang atas. Mahfud mengatakan pemerintah mengutamakan pembahasan terkait perdagangan orang. "Kita tidak punya pilihan lain selain memastikan ASEAN siap untuk mengatasi tantangan ini secara efektif.
Keketuaan Indonesia tahun ini memberikan perhatian serius pada masalah ini. Para pemimpin kita esok akan mengadopsi Declaration on Combatting Trafficking-in- Persons Caused by Abuse of Technology. Deklarasi ini mengedepankan pendekatan menyeluruh terhadap Perdagangan orang, mulai dari pencegahan hingga perlindungan korban, sambil meningkatkan kolaborasi kita untuk melawan penyalahgunaan teknologi," ucapnya.
Untuk melengkapi upaya pencegahan tersebut, Mahfud lantas mendorong adanya perjanjian ekstradisi ASEAN. Perjanjian itu kata Mahfud untuk melindungi kawasan ASEAN agar tidak jadi surga bagi para penjahat.
"Untuk melengkapi upaya ini, kita harus membuat kemajuan dalam negosiasi Perjanjian Ekstradisi ASEAN. Perjanjian semacam itu telah lama tertunda. Perjanjian ini akan melindungi kawasan kita agar tidak menjadi surga bagi para penjahat, dan memperkuat ASEAN sebagai komunitas yang berlandaskan aturan," ucapnya.
"Hanya dengan bekerja sama kita dapat memastikan APSC tetap adaptif dan responsif terhadap perubahan lingkungan yang strategis di kawasan," imbuh Mahfud.
Dorong
Terkait pada penanganan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Mahfud mendorong agar tidak ada restorative terhadap pelaku TPPO.
"Saya katakan dalam forum, terhadap mereka yang sudah ditangkap supaya aparat penegak hukum di Indonesia ini tegas dan memberikan hukuman yang setimpal, tidak boleh ada restorative justice atau penyelesaian damai di luar pengadilan terhadap pelaku TPPO ini," kata Mahfud di Media Center KTT ke-42 ASEAN, Bintang Flores Hotel, Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Selasa (9/5/2023) malam.
Mahfud mengakui, memang pemerintah mengkampanyekan restorative justice. Namun hal itu hanya untuk tindakan pidana ringan (tipiring).
"Kita sekarang mengkampanyekan restorative justice tapi terhadap hal-hal yang ringan misalnya berita hoaks sudah didamaikan saja, fitnah, pencemaran nama baik bisa direstorative justice, tapi kalau TPPO, korupsi, penyuapan, kejahatan yang berat itu tidak boleh ada restorative justice," ucapnya.
Mahfud mengatakan meskipun korban memaafkan, namun proses hukum harus tetap berjalan. Menurutnya, pelaku kejahatan akan melawa negara bukan korban.
"Dalam hukum pidana itu meskipun korban memaafkan negara tidak boleh memaafkan, penjahat itu lawannya negara bukan korban yang harus dia lawan," ujarnya.[br]
Eks Ketua MK ini lantas mengungkap respons negara-negara ASEAN terkait dorongannya itu. Dia menyebut ada respons baik tinggal hanya penyusunan teknis.
"Bagus-bagus semua negara sudah menyatakan komitmennya traficcing in person itu istilah internasionalnya itu, sudah dibacarakan nanti kita tinggal pada tataran teknis," ujarnya.
Ungkap
Mahfud Md juga mengungkap temuannya terkait sindikat TPPO. Sindikat itu mengirim 200 orang melalui kapal dengan kode-kode tertentu.
"Yang pertama tindak pidana perdagangan manusia,karena ini sudah menjangkiti semua negara di kawasan ASEAN hampir semuanya. Nanti negara ASEAN akan membuat komitmen bersama untuk bekerja sama memberantas TPPO ini," kata Mahfud.
"Karena perdagangan orang di sini ada yang mengirim, di tujuan ada yang menerima yang semuanya sindikat, jadi kalau kita hanya mencari di hulunya tanpa menyelesaikan di hilirnya juga itu tidak akan efektif, nah itu kita akan kerja sama. Misalnya kalau Indonesia tadi pada tingkat teknis membuat MoU tentang penanganan TPPO," lanjut Mahfud.
Mahfud lantas mengungkap hasil sidaknya terkait sindikat TPPO ini. Dia menyebut pengiriman mencapai 200 orang dengan kode-kode tertentu.
"Ini yang kami temukan ya, sidak saya di lapangan itu ada orang dikirim secara massal, kira-kira satu kali pengiriman 100-200 orang dengan kode-kode tertentu ketika naik kapal. Itu yang saya peroleh dari Pak Romo Paskalia yang melakukan advokasi terhadap korban TPPO," ujarnya.
Data pengiriman orang itu pun kata Mahfud tidak benar dan tidak masuk di jalur biasa saat tiba di negara penerima. Setelah diterima, orang tersebut diperlakukan tidak layak.
"Dikirim dari Indonesia dengan paspor dan data yang tidak benar, kemudian di Malaysia misalnya atau di negara lain itu menerima, sehingga tidak masuk jalur biasa, begitu masuk dapat pekerja, gajinya tidak dibayar, orangnya disiksa, kalau mau pulang diminta uang dulu dan sebagainya, alasannya saya sudah bayar kepada agent yang ngirim," imbuhnya. (detikcom/d)