Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 16 Juni 2025

Anggota DPR soal UU Kesehatan: Sudah Cukup Demonya, Silakan Judicial Review

* UU Kesehatan Baru, Pengusaha Tetap Wajib Daftarkan Pekerja BPJS
Redaksi - Kamis, 13 Juli 2023 09:14 WIB
185 view
Anggota DPR soal UU Kesehatan: Sudah Cukup Demonya, Silakan Judicial Review
Foto: Silvia Ng/detikcom
Komisi IX DPR 
Jakarta (SIB)
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi NasDem, Irma Chaniago, merespons anggapan RUU Kesehatan terkesan terlalu terburu-buru disahkan. Irma juga menyarankan agar pihak yang belum bisa menerima untuk menempuh judicial review.

"Kan naskah akademiknya sudah kita siapkan sebelumnya bukan baru tiba-tiba kita bikin naskah akademiknya ketika kita melakukan rapat-rapat, jadi mereka keliru," kata Irma saat audiensi di ruang rapat Badan Legislatif (Baleg) di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (12/7).

"Nah, harusnya yang begini-begini didengar teman-teman yang ada disini, sampaikan juga ke kawan-kawan yang temen-temen kenal juga, sudahlah cukuplah demo-demonya," sambung dia.

Irma meminta agar demo terkait pengesahan UU Kesehatan dapat dihentikan. Untuk itu, Irma mendorong agar pihak yang tidak puas dengan pengesahan UU Kesehatan itu dapat mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kalau judicial review itu dibenarkan, silakan saja lakukan judicial review nggak ada masalah, karena memang itu diperbolehkan. Tapi harus tahu juga yang mana yang harus di-judicial review," ungkap Irma.

Irma pun mencontohkan salah satu hal yang menjadi polemik dalam UU Kesehatan ialah soal liberalisasi dan mandatory spending. Menurut Irma, kerap kali para pengkritik UU Kesehatan tak dapat menjelaskan duduk permasalahannya.

"Kemarin disampaikan soal liberalisasi, liberalisasi yang mana? Coba kasih saya contohnya, nggak pernah bisa ngasih contoh, aneh kan? Ngotot bicara liberalisasi tapi nggak bisa kasih contoh apa yang dimaksud liberalisasi disini, nah yang begini-begini harus membuat temen-temen kesehatan itu lebih cerdas lagi lah, nanti kalau saya bilang bodoh kan nggak enak didengarnya, makanya kemarin saya bilang sudah ikut rapat dari awal sampai akhir," tutur dia.

"Kemudian mandatory spending aja yang jadi masalah, nggak ngaku lagi, ya saya bilang aja pembohong nih, karena saya punya bukti, saya nggak pernah bicara sampah, saya berani bicara karena saya punya dasar, jadi nggak pernah bicara sampah saya," sambungnya.

Pada kesempatan itu, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI pun menjelaskan mandatory spending dalam UU Kesehatan tidak diberlakukan karena lebih banyak fraksi menyetujui konsep penganggaran berbasis kinerja. Melki mengatakan anggaran akan dikucurkan sesuai dengan program yang dirancang selama 5 tahun ke depan.

"Nah setelah kemarin dibahas dengan semua fraksi dan pemerintah, akhirnya usulan pemerintah yang lebih banyak disetujui oleh berbagai fraksi dan akhirnya kita menyepakati bahwa penganggaran untuk persoalan kesehatan atau sektor kesehatan di tanah air memakai konsep penganggaran berbasis kinerja," kata Melki.

"Di mana nantinya melalui rencana di bidang kesehatan yang juga di UU ini diatur, akan dibahas berbagai macam program, langkah-langkah yang akan dibuat oleh pemerintah pusat dan daerah terkait bagaimana kita merespons berbagai persoalan kesehatan di Tanah Air yang akan kita kerjakan lalu kemudian anggaran akan kita siapkan untuk mendukung program yang akan kita laksanakan tersebut," lanjutnya.

Menurutnya, UU Kesehatan akan menggunakan skema Rencana Induk Bidang Kesehatan (RIBK) yang mengatur program lima tahun ke depan. Skema ini, kata Melki, akan memaksimalkan penggunaan anggaran di sektor kesehatan.

"RIBK dalam UU Kesehatan itu kalau zaman dulu seperti Repelita, ada persiapan program selama lima tahun yang dibuat bagaimana di tingkat pusat dan daerah di sektor misalnya untuk urusan tenaga kesehatan, urusan di tingkat fasilitas pertama dan fasilitas lanjut di puskesmas, rumah sakit, dan sebagainya itu kita sudah punya program kita mengatasi stunting bagaimana, mengatasi cancer, stroke, jantung, dan sebagainya dengan baik dan kemudian itu yang kita putuskan programnya dan kemudian anggarannya akan disiapkan menyesuaikan dengan program yang akan diputuskan, itu akan dibahas lagi di RIBK rencananya bidang kesehatan sehingga anggaran kita bisa didorong maksimal," tutur dia.


Wajib
Rancangan Undang-undang (RUU) Kesehatan yang baru disahkan DPR RI tak mengatur pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerja di BPJS Kesehatan. Hal ini bukan berarti perusahaan tak wajib daftarkan pekerja sebagai peserta BPJS Kesehatan.

Anggota Komisi IX DPR Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay mengatakan perusahaan tetap wajib mendaftarkan pekerja sebagai peserta BPJS Kesehatan. Hal itu diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS, di mana jika melanggar pemberi kerja terancam bui paling lama 8 tahun dan denda maksimal Rp 1 miliar.

"Dalam UU Kesehatan (baru) ini tidak diatur menyeluruh kewajiban perusahaan karena dalam UU BPJS dan SJSN itu sudah ada soal kewajiban perusahaan dan itu belum dihapus," kata Saleh, Rabu (12/7).

Dalam RUU Kesehatan sebenarnya sudah disinggung bahwa pemberi kerja wajib menjamin kesehatan pekerja melalui upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif, serta wajib menanggung seluruh biaya pemeliharaan kesehatan pekerjanya. Hal itu tercantum dalam Pasal 100 ayat (1).

Lalu, Pasal 100 ayat (2) mengatur pekerja dan setiap orang yang berada di lingkungan tempat kerja wajib menciptakan dan menjaga lingkungan tempat kerja yang sehat dan menaati peraturan kesehatan dan keselamatan kerja yang berlaku di tempat kerja.

Pemberi kerja juga wajib menanggung biaya atas penyakit akibat kerja, gangguan kesehatan, dan cedera akibat kerja yang diderita oleh pekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

"Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan dorongan dan bantuan untuk perlindungan pekerja," tulis Pasal 100 (4) UU Kesehatan baru.

Selain itu, Pasal 411 ayat (2) RUU Kesehatan juga mengatur seluruh penduduk wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan. Hanya saja memang UU baru itu tidak mengatur terkait sanksi jika ada orang yang tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan.

"Penduduk yang ingin mendapat manfaat tambahan dapat mengikuti asuransi kesehatan tambahan dan/atau membayar secara pribadi," tulis Pasal 411 ayat (5). (detikcom/detikfinance/d)



Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru