Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Kamis, 05 Juni 2025

Paling Suka Sedekah di Dunia, Indonesia Mudah Dieksploitasi Jaringan Teroris

Redaksi - Sabtu, 29 Juli 2023 09:06 WIB
229 view
Paling Suka Sedekah di Dunia, Indonesia Mudah Dieksploitasi Jaringan Teroris
(Foto: Dok. Yayasan Prasasti Perdamaian)
Noor Huda Ismail 
Jakarta (SIB)
Data World Giving Index 2022 menyebutkan bahwa Indonesia menjadi negara dermawan nomor wahid di Indonesia. Tak terhindarkan, kedermawanan ini menjadi celah yang dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu karena tidak adanya mekanisme pengaturan dana swadaya yang dikumpulkan dari masyarakat, terutama bidang keagamaan.
Terlebih dengan adanya narasi 'untuk membantu dan meringankan beban orang lain atau menjadi semacam jalan tol menuju surga tanpa hisab.
"Narasi beramal di dunia untuk mendapatkan keuntungan berlipat di dunia dan akhirat tampaknya menjadi strategi yang memuluskan kelompok pro kekerasan mendapatkan derma dengan beragam sumbangan," tulis Dr Noor Huda Ismail dalam buku 'Narasi Mematikan Pendanaan Teror di Indonesia.
Buku terbitan Kreasi Prasasti Perdamaian ini diluncurkan di kampus Universitas Paramadina, Kamis (27/7). Acara dibuka oleh Rektor Paramadina Prof Didik J Rachbini dan dibedah oleh Ketua Program Studi Islam Madani Universitas Paramadina Dr M. Subhi Ibrahim dan dosen Fakultas Psikologi UI Dr Mirra Noor Milla.
Secara sosiologis, Noor Huda melanjutkan, mayoritas penduduk Indonesia mencari kehidupan sebagai petani atau pedagang. Atau berasal dari keluarga petani atau pedagang. Karena itu keuntungan berlipat ganda melalui dua kegiatan usaha itu sangatlah realistis dan masuk akal dalam cara pandang mereka. Cara hitung-hitungan keuntungan berlipat ganda ini makin terkuatkan ketika dikaitkan dengan narasi 'pahala' untuk 'menghapus dosa'.
"Di titik ini dapat terjelaskan mengapa di kantong-kantong kemiskinan atau di tempat-tempat yang secara sosial dianggap daerah hitam, pengumpulan derma untuk kegiatan berbendera keagamaan atau kemanusiaan yang terhubung dengan peristiwa keagamaan tidaklah sulit," tulis Noor Huda yang pernah mengenyam pendidikan dasar di Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki (1985-1991).
Dia mengutip pernyataan Kepala Pusat Riset Ilmu Kepolisian dan Kajian Terorisme UI Dr Sapto Priyanto bahwa kelompok-kelompok pengumpul dana telah berkembang dan berevolusi. Sebab mereka tahu bahwa orang Indonesia sangat dermawan, mudah menyumbangkan dana untuk kemanusiaan.
Cara ini memang cukup berbahaya karena mereka beraksi sangat halus sehingga masyarakat rentan tertipu. Namun bila diamati dan diperhatikan, sebetulnya ada pola dan indikasi yang tidak hilang. "Mereka cenderung anti-pemerintah," kata Sapto.
Perkembangannya, dalam mencari pendanaan untuk melakukan aksi-aksi mereka, kata Huda, kelompok kelompok teroris itu telah mengalami transformasi. Tidak hanya merampok, mereka juga memperoleh pendanaan melalui jalur-jalur formal seperti mendirikan LSM, yayasan, lembaga pendidikan, serta memakai teknologi baru seperti cryptocurrency.
"Dari sini ternyata terjadi pergeseran strategi, dan narasi telah menjadi unsur penting untuk mendapatkan pendanaan tersebut," kata Huda yang kini aktif sebagai visiting fellow di RSIS, Nanyang Technological University, Singapura.
Dalam buku ini, Noor Huda membagi pembahasan menjadi 10 bab. Pada bab pertama, 'Narasi di Balik Peristiwa' Noor Huda bercerita tentang bagaimana narasi 'Pahlawan Islam' menyusupi pemakaman dr Sunardi, anggota JI yang tewas akibat terjangan timah panas Tim Densus 88 Antiteror. Bab II 'Membedah Pendanaan Terorisme' yakni memaparkan bagaimana para kelompok terorisme tidak hanya memainkan narasi, namun bisa memanfaatkan karakteristik masyarakat Indonesia yang dikenal sangat pemurah.
Di bab III 'Kelindan Narasi' Huda menguraikan bagaimana para credible voice mengalami proses transisi dari sekadar percaya pada tingkat kognitif atau pemikiran terhadap narasi yang dimainkan kelompok kekerasan menjadi terlibat dalam tindakan (behaviour) pendanaan terorisme.
Profil para credible voice yang menjadi narasumber dalam buku ini dipaparkan Noor Huda dalam bab IV yaitu 'Memilih Credible Voice Pendana Teror'. Sedangkan bab V 'Menimbang Suara Pasangan' bercerita tentang peran dua istri credible voice yang sering dianggap sebagai invisible actor.
Adapun pada bab keenam yakni 'Narasi Pendana Kelompok Pendana Teror' Noor Huda mencoba menjelaskan bahwa pembahasan isu terorisme tidak bisa hanya berdasarkan karakteristik individu semata melainkan sebuah fenomena kelompok. Pada bab VII 'Dapur Sayap Militer' diceritakan tentang munculnya upaya baru untuk menghidupkan kembali JI yang secara legal formal telah dianggap organisasi terlarang.
Sedangkan pada bab VIII yaitu 'Riak Gelombang Tamkin Neo-JI' Noor Huda menceritakan hasil wawancaranya dengan sang pemimpin Neo-JI, Para Wijayanto. Bab IX 'Kampanye Alternatif Berbasis Narasi' berisi tentang upaya para instansi yang terlibat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme mendukung upaya kampanye publik pencegahan pendanaan terorisme berbasis narasi dengan melibatkan credible voice.
Di bab terakhir yakni 'Narasi Menghidupkan' berisi kesimpulan. Noor Huda mengatakan melalui bukunya bahwa dirinya percaya bahwa terlibat dalam aksi terorisme itu adalah proses panjang dan sangat kompleks. (detikcom/c)



Baca Juga:
Sumber
: Koran SIB
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru