Jakarta (SIB)
Pemerintah bakal menerapkan teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk menangani polusi udara di Jabodetabek. Rencananya modifikasi cuaca di wilayah Jabodetabek itu dilakukan mulai pekan depan.
Hal tersebut disampaikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar selepas mengikuti rapat koordinasi bersama Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan terkait permasalahan polusi udara di Jabodetabek, Jumat (18/8). Siti awalnya menjelaskan mengenai fenomena street canyon atau pergerakan udara yang dipengaruhi oleh keberadaan gedung tinggi hingga kondisi geomorfologi Jakarta.
"Yang saya laporkan juga tadi Jakarta itu kan bentuk geomorfologinya kipas aluvial. Kipas aluvial itu dia merendah, melebar ke laut, sedangkan di pinggir-pinggirnya bergelombang dan bungkil. Kemudian, selain itu, ada daerah-daerah yang gedung-gedungnya tinggi. Nah, ini dalam pergerakan polusi udara, kita sebutnya street canyon," kata Siti di Kantor Kemenko Marves, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Jumat (18/8).
Siti menerangkan, fenomena street canyon menyebabkan udara polusi berputar-putar. Karena itulah, teknologi modifikasi cuaca diperlukan untuk menangani polusi udara.
"Artinya, udara yang polutif itu bergerak begini-begini aja gitu, kagak bisa ke mana-mana. Maka kita akan lakukan modifikasi cuaca," terangnya.
Sejauh ini, KLHK telah menggelar rapat koordinasi bersama BMKG membahas mengenai rencana modifikasi cuaca. Rencananya, teknologi tersebut diterapkan di waktu-waktu yang telah ditentukan.
"Tadi saya sudah diskusikan, kita di KLHK udah rapat-rapat dengan BMKG juga sudah didiskusikan bahwa nanti dilihat. Kemungkinan tanggal 22, 21, 22, 28 (Agustus), kemudian nanti di bulan September tanggal 2, tanggal 5, dan seterusnya," ucapnya.
Siti tidak memerinci lokasi modifikasi cuaca itu diterapkan. Namun saat ini Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menentukan standar jenis hingga penempatan alat yang akan diterapkan.
"Tanggal 15 Agustus kemarin, Badan Standardisasi Nasional sudah mengeluarkan standar untuk jenis alat dan penempatan alat," imbuhnya.
Kurangi PLTU Batu Bara
Luhut Binsar Pandjaitan juga membeberkan upaya-upaya untuk mengurangi polusi udara di Jabodetabek. Luhut menyampaikan langkah awal yang akan dilakukan, yakni modifikasi cuaca.
"Setelah mengikuti Rapat Terbatas yang digelar oleh Presiden @jokowi di awal minggu lalu, saya menindaklanjutinya lewat Rapat Koordinasi lintas Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah dalam rangka upaya peningkatan kualitas udara di kawasan Jabodetabek. Kita perlu bekerja mulai dari sektor hulu hingga hilir untuk mencapai solusi yang holistik. Untuk langkah awal yang cepat, kami akan melakukan modifikasi cuaca untuk membasahi dan mengurangi polutan udara," ujar Luhut dalam unggahan akun Instagram resminya, seperti dilihat, Jumat (18/8).
Selain itu, lanjut Luhut, pemerintah akan mewajibkan industri menggunakan 'scrubber'. Luhut juga mengatakan PLTU batu bara akan dikurangi.
"Sebagai upaya pengendalian emisi, kami akan mewajibkan industri untuk menggunakan 'scrubber' dan mengurangi jumlah PLTU batu bara. Perluasan dan pengetatan uji emisi kendaraan untuk beroperasi di jalan akan segera diterapkan dalam waktu dekat," paparnya.
Luhut menuturkan regulasi pembagian kerja juga akan disampaikan ke seluruh perusahaan. Hal itu dilakukan agar bisa mengurangi macet yang menyebabkan polusi di jalan.
Dia mendorong warga untuk menggunakan transportasi publik serta ditingkatkan kapasitas transportasi publik pada jam sibuk. Dia juga meminta ada kajian soal pemberian insentif lebih ke para pengguna transportasi umum agar termotivasi beralih dari kendaraan pribadi.
"Yang tidak kalah penting adalah dorongan untuk percepatan elektrifikasi kendaraan dan juga faktor pengawasan yang komprehensif. Kita tidak boleh membuat kebijakan tanpa mengawasi penerapannya. Di sinilah partisipasi aktif masyarakat terus dibutuhkan," jelas Luhut.
Dia berharap semua pihak bisa menciptakan dampak nyata dalam penanganan kualitas udara. Luhut menekankan kebijakan ini juga dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
"Bukan hanya hari ini atau esok, tapi untuk anak cucu kita di masa depan," paparnya.
Luhut membeberkan, berdasarkan data WHO, polusi udara memicu 6,7 juta kematian prematur setiap tahun. Selain itu, menurut dia, dampak polusi udara jarang dirasakan secara langsung, melainkan berdampak dalam jangka panjang yang menyebabkan penurunan kualitas kesehatan masyarakat, kualitas hidup, hingga meningkatkan beban kas negara.
"Partikel polutan PM 2,5, yang berukuran 2,5 mikrometer ini adalah penyebab salah satu dari 10 penyakit besar yang dibiayai oleh JKN dan menghabiskan anggaran negara hingga Rp 10 triliun," kata dia. (detikcom/r)