Medan (SIB)
Pernyataan Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas yang mengatakan banyak oknum memanfaatkan agama untuk kepentingan politik, langsung di respon berbagai kalangan, termasuk dari praktisi hukum.
Praktisi hukum Rendra Sitorus SH MH kepada SIB, Sabtu (7/10) mengatakan, sekarang ini masyarakat harus bisa membedakan politik agama dan politisasi agama.
Dua frasa itu penting dalam kaitannya dengan pesta demokrasi atau pemilihan umum, dalam mewujudkan Negara Indonesia yang Berketuhanan Yang Maha Esa serta yang adil dan beradab.
Ketua Umum LBH Piladelfia Medan itu menyebutkan, pada dasarnya di dalam aturan dan peraturan Negara Indonesia, tidak ada yang baku melarang atau mengatur boleh atau tidaknya berpolitik di dalam agama, begitupun juga sebaliknya.
Hal ini akan sangat penting agar tidak ada kesalahpahaman bagi setiap warga negara, karena sebagian besar masyarakat menyebutkan jangan bawa-bawa agama ke dalam politik, atau juga ada yang beranggapan bahwa di dalam agama juga harus ada politik.
Politisasi agama katanya, adalah menjadikan agama sebagai media, sarana dan kendaraan untuk mencapai tujuan politik dan kepentingan pribadi atau kelompok.
Sedangkan politik agama adalah menjadikan agama sebagai landasan dalam berpolitik, bahkan menjadi semangat dalam beraktifitas politik. “Pada dasarnya semua agama yang diakui di negara kita, tujuannya adalah baik dan benar,” katanya.
Menurutnya, dalam berpolitik jangan sampai terpecah-belah, karena agama mengajarkan persatuan dan kesatuan, jangan sampai agama itu disusupi paham radikal dan paham komunis yang secara teori diketahui paham-paham tersebut sangat tidak baik.
Pada masa sekarang ini lanjut dia, ada beberapa aktivis politik yang sering memakai nama agama untuk mencapai tujuan politiknya. Setelah tujuan politik itu tercapai, dia lupa segalanya, termasuk nilai-nilai agama yang sebenarnya.
Hal itu tentu harus disampaikan kepada bangsa ini, agar proses politik itu berjalan dengan baik tanpa harus menjadikan masyarakat terpecah belah.
"Agama harus dijadikan dalam semua aspek kehidupan, termasuk aspek politik, tetapi jangan sampai agama dipakai hanya untuk mencapai tujuan politik semata. Jika tujuan politik sudah tercapai, bekerjalah sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianut masing-masing," ucap praktisi hukum, Rendra Sitorus.
Lemahnya Basis Massa
Sementara itu, kalangan DPRD Sumut menilai, oknum-oknum yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik, akibat lemahnya basis massa serta tidak memiliki pondasi ideologis yang kuat, sehingga melakukan berbagai macam propaganda yang tujuannya untuk meraih simpati para pemilih.
Hal itu diungkapkan anggota Komisi D DPRD Sumut Viktor Silaen dan Ketua Komisi C Poaradda Nababan kepada wartawan, Selasa (10/10).
"Jika kita melihat fakta di lapangan, memang banyak aktor politik intelektual yang memanfaatkan agama sebagai cara untuk memperoleh dukungan. Ini penyebabnya, lemahnya basis massa serta tidak memiliki fondasi ideologis yang kuat," tambah Viktor.
Selain itu, kata politisi Partai Golkar ini, lemahnya basis program yang dimiliki oknum politisi, sehingga masyarakat tidak mengenal atau mengetahui program apa yang akan diusungnya, sehingga yang paling mudah dan berbiaya murah, hanya "menjual" isu agama.
Dalam keadaan seperti ini, tambah Poaradda, mereka akan memanfaatkan potensi politik identitas di tengah masyarakat untuk mempertegas siapa dirinya dan siapa yang lain, sehingga melakukan trik yang sangat ekstrim serta melukai masyarakat lainnya.
Menurut Viktor, menariknya isu agama "dijual" dalam mencapai popularitas politik, tidak lain dikarenakan di level masyarakat masih memahami agama sebagai sesuatu yang sakral, sehingga mau berkonflik, bahkan kadang rela mempertaruhkan nyawa demi mempertahankan yang sudah dianggapnya benar.
"Perlu kita ingat, agama dimanfaatkan bukan benar-benar untuk ideologi politik yang bersangkutan, akan tetapi dipergunakan juga untuk kepentingan lainnya, yakni mencari pendukung sebanyak-banyaknya untuk legitimasi kekuasaan," tandasnya.
Namun, tambah Poaradda, isu agama dan politik merupakan isu tua dalam sejarah manusia modern, keduanya pun senantiasa memantik polemik ihwal posisi agama dalam arena politik, sehingga menjadi warisan secara turun-temurun.
"Satu pihak mengampanyekan agar agama dilibatkan dalam setiap pertimbangan politik. Di sisi lain, ada pihak yang justru menolak campur tangan agama dalam urusan politik. Dalam perpolitikan Indonesia, isu ini turut mewarnai perjalanan sejarah bangsa Indonesia," katanya.
Bisa Dilaporkan
Terpisah, Anggota Bawaslu Sumut Romson Poskoro Purba mengatakan, sanksi bagi oknum yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik, memang tidak diatur dalam undang-undang (UU), namun laporan bisa disampaikan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar dilakukan pengecekan dan kalau ada unsur pidana atau lainnya.
“Tidak ada sanksinya di UU, namun kalau ada laporan akan dicek kebenarannya. Kalau ada indikasi pidana atau lainnya, akan diproses dan direkomendasi ke instansi terkait,” ujar Anggota Bawaslu Divisi Sumber Daya Manusia dan Organisasi (SDMO) Sumatera Utara (Sumut) Romson Poskoro Purba kepada SIB, Senin (9/10) saat dikonfirmasi di ruangannya.
Jadi, semua aduan dan temuan akan dicek kebenarannya dan kalau mengandung unsur pidana akan dilaporkan ke Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) untuk diperiksa. Dari Gakumdu akan diteruskan ke pengadilan untuk diputuskan bersalah atau tidak. “Pengadilan lah yang memutuskan bersalah dan memberi sanksi atas kesalahannya,” ujarnya.
Kalau terkait ada membawakan agama dalam berpolitik, pihaknya akan merekomendasikan ke induk organisasi keagamaan, seperti MUI, PGI dan lainnya. Apapun nanti hasilnya akan ditindaklanjuti Bawaslu kalau ada fitnah, berbau SARA atau menghasut. Sedangkan kalau berhubungan dengan Aparatur Sipil Negara (ASN) maka akan diteruskan ke Menpan.
Seperti diberitakan SIB sebelumnya, Menag Yaqut Cholil Qoumas menyebut banyak oknum yang memanfaatkan agama untuk kepentingan politik. Yaqut pun mewanti-wanti santri terkait fenomena tersebut.
Mulanya, Yaqut menyinggung kepemimpinan Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari yang berpolitik tapi tetap beragama. Dia menyebut Hasyim beragama dengan politik saat memutuskan Nahdlatul Ulama (NU) bergabung dengan Masyumi.
"Sejarah para santri sudah banyak mencontohkan yang ini seringkali dibolak-balik diputar-putar kita mengenal Hadratus Syaikh Hasyim Asy'ari. Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari itu bukan tidak berpolitik, beliau berpolitik, beliau beragama dengan politik. Ketika memutuskan Nahdlatul Ulama, Ormas besar yang beliau pimpin pada waktu itu untuk bergabung dengan Masyumi, yang isinya ini kelompok-kelompok garis keras yang kita kenal sekarang itu," kata Yaqut dalam pidatonya di acara launching logo Hari Santri Nasional di Kementerian Agama, Jakarta Pusat, Jumat (6/10). (**)