Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 04 Agustus 2025

AS-Inggris Gagalkan Resolusi DK PBB Soal Gencatan Senjata di Gaza

* AS Kirim Bom Presisi Senilai Rp5 Triliun untuk Kemhan Israel
Redaksi - Rabu, 08 November 2023 09:24 WIB
293 view
AS-Inggris Gagalkan Resolusi DK PBB Soal Gencatan Senjata di Gaza
Foto: dok. AP Photo/Craig Ruttle
Sidang Dewan Keamanan PBB membahas konflik di Jalur Gaza 
New York (SIB)
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kembali gagal mencapai konsensus soal rancangan resolusi yang bertujuan menghentikan perang antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza. Amerika Serikat (AS) dan Inggris menentang rancangan resolusi itu karena menyebut soal gencatan senjata.

Seperti dilansir CNN, Selasa (7/11), kegagalan menyepakati resolusi soal situasi perang di Jalur Gaza itu terjadi saat Dewan Keamanan PBB menggelar sidang tertutup pada Senin (6/11) waktu setempat. Sidang itu diharapkan menghasilkan resolusi penting soal perang dan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza. "Belum ada kesepakatan pada saat ini," tegas Wakil Duta Besar AS untuk PBB, Robert Wood, dalam pernyataannya.

Rancangan resolusi yang dibahas dalam sidang tertutup pada awal pekan ini disusun oleh kelompok E-10, yang terdiri atas 10 negara anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

Namun, AS dan Inggris yang sama-sama merupakan anggota tetap Dewan Keamanan PBB, dan memiliki hak veto, menentang rancangan resolusi tersebut. Negara-negara Barat, khususnya AS dan Inggris, menolak menyertakan seruan gencatan senjata segera di Jalur Gaza dalam rancangan resolusi tersebut. Padahal seruan gencatan senjata telah didukung oleh beberapa anggota Dewan Keamanan PBB lainnya.

AS, yang merupakan sekutu dekat Israel, lebih mendorong adanya “jeda kemanusiaan” dibanding gencatan senjata di Jalur Gaza, meskipun mereka belum menentukan berapa lama jeda dalam pertempuran akan diberlakukan. Wood menyatakan bahwa pembahasan soal jeda kemanusiaan sedang berlangsung. "Dan kami tertarik untuk membahas hal tersebut," ujarnya.

Namun demikian, lanjut Wood, ada juga perbedaan pendapat dalam Dewan Keamanan PBB mengenai apakah hal itu bisa diterima. Duta Besar China Jun Zhang, secara terpisah, menyerukan sentimen senada yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Antonio Guterres, dengan menekankan bahwa “Gaza menjadi kuburan bagi anak-anak”. Dia menyerukan gencatan senjata segera untuk memfasilitasi penyaluran bantuan kemanusiaan.

"Ketika kita berbicara saat ini, warga sipil Palestina terus dibunuh. Anak-anaklah yang paling terkena dampaknya, seperti yang telah disampaikan oleh beberapa pejabat AS. Gaza menjadi kuburan bagi anak-anak. Tidak ada yang aman," tegasnya.

Dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada awal pekan ini, negara-negara anggota mendengarkan penjelasan dari para pejabat kemanusiaan PBB soal situasi keamanan yang mengerikan di daerah kantong Palestina tersebut. Sidang Dewan Keamanan PBB sebelumnya juga gagal menyepakati resolusi soal Jalur Gaza, termasuk karena adanya dua veto dari AS. Situasi ini semakin menggarisbawahi kompleksitas dalam mencapai konsensus mengenai masalah penting ini.

Diketahui bahwa resolusi Dewan Keamanan PBB berbeda dengan resolusi Majelis Umum PBB, yang dalam rapat darurat pada akhir Oktober lalu berhasil meloloskan resolusi yang menyerukan “gencatan senjata kemanusiaan segera” di Jalur Gaza.

Resolusi Majelis Umum PBB soal gencatan senjata itu mendapatkan 122 suara dukungan dan 14 suara menolak, dengan sebanyak 55 negara lainnya abstain. Meskipun didukung mayoritas negara anggota, resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat dan hanya mencerminkan sikap berbagai negara.

Sementara itu, resolusi Dewan Keamanan PBB diketahui bersifat mengikat secara hukum, dan bisa digunakan untuk menuntut Israel agar menerima gencatan senjata atau jeda kemanusiaan di Jalur Gaza.


Kirim Bom Presisi
Sementara itu, pemerintah Amerika Serikat akan mengirimkan bom presisi senilai US$320 juta (setara Rp5 triliun) untuk Israel. Pada 31 Oktober lalu, pemerintah Presiden Joe Biden disebut sudah mengirimkan pemberitahuan resmi ke para pemimpin Kongres, tentang rencana pengiriman Spice Family Gliding Bomb Assemblies.

Bom tersebut adalah sejenis senjata berpemandu pesisi, yang ditembakkan oleh pesawat tempur. Laporan Wall Street Journal sebagaimana dilansir Reuters, Selasa (7/11) menyebut produsen senjata Rafael USA akan mentransfer bom tersebut ke perusahaan induknya di Israel, Rafael Advanced Defense Systems. Nantinya pengiriman bom itu bakal dipakai oleh Kementerian Pertahanan Israel.

Sebelumnya Dewan Perwakilan Amerika Serikat (DPR AS) meloloskan rancangan undang-undang (RUU) soal bantuan US$14,3 miliar (Rp226 triliun) untuk Israel yang masih menggempur habis-habisan Jalur Gaza Palestina imbas perangnya dengan Hamas.

DPR AS meloloskan RUU itu pada Kamis (2/11) waktu setempat setelah debat kusir terjadi hingga ribut dan membuat Kongres terpecah. RUU itu didukung 226 anggota DPR, sementara yang menolak 196 orang. Dua anggota DPR dari Partai Republik menolak RUU gagasan partainya tersebut, sementara itu 12 anggota dari Partai Demokrat justru mendukungnya.

RUU pertama yang didorong oleh Ketua DPR AS yang baru, Mike Johnson, ini diprotes Senat karena dinilai berisiko memicu defisit. Pemimpin Senat Partai Demokrat Chuck Schumer mengatakan RUU ini merupakan "proposal yang sangat cacat" dan tidak akan disetujui pihaknya.

Dalam beleid tersebut, AS mau memberikan US$14,3 miliar atau setara Rp226 triliun kepada Israel. Jumlah ini bakal diambil dari pendanaan untuk Internal Revenue Service (IRS).


Pikul Tanggung Jawab
Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu menegaskan negaranya akan memikul “tanggung jawab keseluruhan” atas keamanan Jalur Gaza untuk periode yang tidak terbatas, setelah perang melawan Hamas berakhir nantinya.

Seperti dilansir AFP, Selasa (7/11), penegasan itu disampaikan Netanyahu dalam wawancara dengan televisi terkemuka Amerika Serikat (AS), ABC News, yang disiarkan pada Senin (6/11) waktu setempat. "Israel, untuk jangka waktu yang tidak ditentukan, akan memikul tanggung jawab keamanan secara keseluruhan atas Jalur Gaza," tegas Netanyahu dalam wawancara tersebut. "Ketika kami mempunyai tanggung jawab keamanan, yang kami alami adalah meletusnya teror Hamas dalam skala yang tidak bisa kami bayangkan," sebutnya.

Pernyataan Netanyahu itu, menurut Al Arabiya dan Al Jazeera, mengisyaratkan bahwa pendudukan Israel atas daerah kantong Palestina tersebut akan terus berlanjut. Militer Israel tanpa henti menyerang Jalur Gaza via udara, darat dan laut sejak 7 Oktober, setelah Hamas melancarkan serangan lintas perbatasan yang menewaskan lebih dari 1.400 orang, sebagian besar warga sipil. Lebih dari 240 orang, termasuk warga negara asing, disandera Hamas dan dibawa ke Jalur Gaza.

Rentetan serangan militer Israel, menurut otoritas kesehatan Gaza, telah menewaskan lebih dari 10.000 orang di Jalur Gaza, dengan lebih dari 4.000 orang di antaranya masih anak-anak. Dalam wawancara dengan ABC News, Netanyahu menyangkal angka yang dirilis otoritas kesehatan Gaza yang dikuasai oleh Hamas. Dia memperkirakan total korban tewas mungkin mencakup “beberapa ribu” kombatan Palestina.

Netanyahu, dalam wawancara dengan ABC News, bersikeras menolak gencatan senjata tanpa adanya pembebasan sandera yang ditahan Hamas di Jalur Gaza. Namun demikian, Netanyahu mempertimbangkan jeda taktis demi memfasilitasi masuknya bantuan kemanusiaan atau memungkinkan pembebasan para sandera.

Penolakan disampaikan Netanyahu saat seruan gencatan senjata semakin marak, termasuk dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres dan para pemimpin dunia. "Tidak akan ada gencatan senjata, tidak ada gencatan senjata secara umum di Gaza, tanpa pembebasan para sandera." tegasnya. Namun Netanyahu menambahkan soal kemungkinan adanya jeda taktis yang berlangsung sebentar, demi membuka akses untuk bantuan kemanusiaan atau membuka peluang untuk pembebasan sandera oleh Hamas.

"Namun untuk jeda taktis sebentar -- satu jam di sini, satu jam di sana -- kami sudah pernah melakukan itu sebelumnya," ucap Netanyahu dalam wawancara dengan ABC News. "Saya kira kami akan memeriksa keadaannya, demi memungkinkan barang-barang kemanusiaan, bisa masuk, atau para sandera, sandera individu, bisa pergi," cetusnya.

Baik Israel maupun Hamas sama-sama menolak tekanan internasional yang semakin besar untuk menerapkan gencatan senjata di Jalur Gaza. Israel menegaskan Hamas harus membebaskan para sandera terlebih dahulu, sedangkan Hamas enggan membebaskan sandera atau menghentikan pertempuran saat Jalur Gaza terus diserang. (AFP/detiknews/Rtr/CNNI/c)



SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru