Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 17 Agustus 2025

Satgas Pangan Polri Bakal Ciduk Toko yang Jual Mahal Harga Beras Bulog

* Ombudsman Minta Bantuan Pangan Diperpanjang Selama Masih Ada Orang Miskin
Redaksi - Senin, 18 Maret 2024 08:55 WIB
341 view
Satgas Pangan Polri Bakal Ciduk Toko yang Jual Mahal Harga Beras Bulog
Sudedi Rasmadi/detikJabar
Ilustrasi
Jakarta (SIB)
Ombudsman RI memiliki sejumlah dugaan kenapa harga beras masih mahal, meskipun Perum Bulog sudah menggelontorkan beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Salah satunya, dugaan penyalahgunaan beras SPHP yang dikemas ulang sebagai beras komersil dan dijual di atas ketetapan harga.
Padahal, ketentuan harga beras SPHP kemasan 5 kg punya acuan berbeda dari harga eceran tertinggi (HET) beras premium yang naik Rp 1.000 per kg. Dengan rincian, Rp 10.900 per kg untuk Zona 1, Rp 11.500 per kg untuk Zona 2, dan Rp 11.800 per kg untuk Zona 3.
Menyikapi situasi tersebut, Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi memastikan, beras SPHP tetap dilepas ke pasar dengan HET beras medium sesuai zonasi. "Kalau beras SPHP tidak Rp 13.900 per kg, tetapi Rp 10.900 per kg, itu harus ya," jelasnya dalam pernyataan tertulis, Sabtu (16/3).
Apabila masyarakat menemukan ketidaksesuaian, Arief minta segera laporkan outlet dimaksud. "Teman-teman di Satgas Pangan Polri nanti akan mengontrol di lapangan, membantu kita bersama-sama," ungkapnya.
"Jadi kalau ada beras SPHP dijual lebih dari Rp 10.900 per kg untuk wilayah DKI Jakarta dan beberapa tempat yang zona 1, mohon bisa disampaikan karena kita akan tegur atau kita setop kemitraan dengan outlet itu," tegasnya.
Oleh karenanya, ia meminta semua penjual wajib mentaati patokan harga beras SPHP yang dikemas per 5 kg. Jika tidak mematuhinya, Arief mengancam bakal memasukan toko tersebut ke dalam daftar black list.
"Semua tokonya terdaftar by name by address by outlet. Verifikasi oleh dinas urusan pangan di setiap daerah. Jadi setiap outlet yang ada itu harus menjual dengan harga yang ditentukan, khusus beras SPHP," terangnya.
Menurut catatan Bapanas, hingga 13 Maret 2024, penyaluran beras SPHP terus digenjot ke daerah-daerah dan telah berada di angka 440 ribu ton. Adapun daerah penyaluran terbesar ada di wilayah DKI Jakarta & Banten, Jawa Timur, serta Jawa Barat. Sementara beras SPHP yang dikucurkan melalui retail modern dan pasar tradisional telah capai 14 ribu ton.

Diperpanjang
Ombudsman juga merekomendasikan pemerintah memperpanjang program bantuan pangan. Program bantuan pangan sebaiknya dilanjutkan meski bakal berakhir pada Juni 2024.
"Ombudsman berharap kepada pemerintah, bantuan pangan tetap harus dilakukan, kekurangannya harus dievaluasi bersama," ucap Anggota Ombudsman Yeka Hendra Fatika di Gudang Bulog Sunter Timur II Kelapa Gading, Jakarta Utara, Jumat (15/3).
Yeka kemudian menjelaskan bahwa berdasarkan kalkulasinya, 22 juta rumah tangga tidak akan menerima bantuan pangan pada Juni. Ini berarti, 22 juta rumah tangga itu akan masuk ke pasar untuk bisa memperoleh pangan, salah satunya beras.
"Kalau rata-rata 10 kilogram berarti 22 juta dikali 10 kilogram. Nah itu berarti sekitar 220 ribu ton (beras) masuk ke pasar," tuturnya.
Yeka menilai, bahwa program bantuan pangan harus dilanjutkan secara jangka panjang. Sebab, bantuan pangan adalah salah satu bentuk kehadiran pemerintah kepada masyarakat, khususnya bagi kaum papa.
"Setiap bulan, setiap tahun, selama warga miskin itu ada, maka salah satu pelayanan publik dari pemerintah itu kepada warga miskin adalah menjaga ketersediaan pangan bagi warga miskin. Maka, sepanjang republik ini berdiri, sepanjang masih ada warga miskin, maka setiap bulan pemerintah harus menyalurkan bantuan pangan untuk warga miskin," tegasnya.
Di sisi lain, Yeka mengatakan tidak ada masalah perihal anggaran bantuan pangan. Sejak zaman dulu, ia menuturkan pemerintah Indonesia selaku melakukan program bantuan pangan.
Namun, yang jadi persoalan program itu tidak konsisten, contohnya mulai dari rastra hingga Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT).
"Program rastra diganti dengan program BPNT, program BPNT sekarang tidak jelas nggak tahu diganti atau ditiadakan, tapi ada program bantuan pangan. Ketidakjelasan inilah yang membuat salah satu juga pasar bisa mudah mengintervensi harga," pungkasnya.



Terima Fakta
Ombudsman mengatakan masyarakat harus menerima fakta bahwa Indonesia mengimpor beras. Hal ini diutarakan lembaga pengawas pelayanan publik itu melihat data historis yang ada.
"Impor itu jelas pencatatannya, kalau produksi kan klaim. Mari kita lihat data historical. Indonesia itu rata-rata pasti mengimpor walaupun ada satu tahun dua tahun tidak impor tapi di tahun berikutnya impor," ucap Yeka Hendra Fatika.
Kendati demikian, Yeka menilai bahwa pemerintah perlu membuat perencanaan impor beras jangka panjang. Ia menilai hal ini diperlukan agar pemerintah bisa mengukur kebutuhan impor yang diperlukan dalam kurun waktu beberapa tahun.
Dengan begini, pemerintah bisa memastikan kebutuhan yang diperlukan sehingga masyarakat tidak kaget lagi jika impor beras dilakukan. Seturut dengan hal tersebut, ia mengusulkan agar pemerintah berhenti menggunakan definisi swasembada 100%.
"Gunakanlah misalnya swasembada 80% atau 90%. Artinya apa, kalau 90% swasembada 10%nya boleh (impor) sehingga ketika ada keputusan impor tidak disalahkan, tidak diperdebatkan, tidak menjadi area hujatan. Tensinya harus diturunkan karena korbannya masyarakat, petani. Tinggal pemerintah tentukan mulai saatnya sekarang swasembadanya jangan 100% karena faktanya impor. Kita hak bisa mengatakan swasembada itu di satu tahun, buat apa? Buat apa kita men-declare swasembada satu tahun, dua tahun, tiga tahun, tahun keempat, tahun kelima kita impor. Nothing," jelasnya.
Oleh sebab itu, Yeka menilai impor beras merupakan kenyataan yang harus diterima oleh pemerintah dan masyarakat. Namun, hal ini bukan berarti pemerintah tidak melakukan upaya meningkatkan produksi beras dalam negeri. Yeka menjelaskan peningkatan produksi beras bisa dilakukan sembari melakukan impor untuk memastikan ketersediaan pangan masyarakat.
"Terima saja kenyataannya kita itu perlu impor, belum cukup. Pakai target swasembadanya diturunkan. Nanti selagi target swasembada diturunkan berati ada kepastian dalam perencanaan pengadaan, maka pemerintah mulai melakukan pembenahan secara tenang. Pembenahan apa? Pembenahan produksinya. Tenang dia, nggak akan disalahin. Impor, oh ya sudah. Sekarang impor ada yang kebakaran jenggot kan, ada kementerian marah-marah. Nah jadi kita harus relax dan pemerintah punya perencanaan untuk menata produksinya," pungkasnya. (**)


Baca Juga:


Baca Juga:
SHARE:
komentar
beritaTerbaru