Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Rabu, 09 Juli 2025
Kemendikbud Tebalkan Persepsi Orang Miskin Dilarang Kuliah

DPR Soroti UKT Naik Ugal-ugalan

* Komisi X DPR Bentuk Panja, Desak Tata Kelola UKT Dievaluasi
Redaksi - Senin, 20 Mei 2024 12:57 WIB
487 view
DPR Soroti UKT Naik Ugal-ugalan
Foto: Getty Images/iStockphoto/MonthiraYodtiwong
Ilustrasi tabungan kuliah

Jakarta (SIB)
Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda prihatin atas pernyataan Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjani yang mengatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier dalam rangka menanggapi polemik tingginya UKT (Uang Kuliah Tunggal). Huda menyebut, Kemendikbud menebalkan persepsi orang miskin tidak boleh kuliah.


"Kami prihatin dengan pernyataan-pernyataan Prof Tjitjik bahwa perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier yang bersifat opsional atau pilihan. Bagi kami, pernyataan itu kian menebalkan persepsi bahwa orang miskin dilarang kuliah. Bahwa kampus itu elite dan hanya untuk mereka yang punya duit untuk bayar uang kuliah tunggal," ujar Syaiful Huda dalam keterangannya, Sabtu (18/5).


Huda menilai, pernyataan pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier benar, tapi kurang tepat. Apalagi, kata dia, hal itu disampaikan oleh pejabat publik yang mengurusi pendidikan tinggi dan disampaikan dalam forum resmi temu media untuk menanggapi protes kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri.

Baca Juga:


"Kalau protes kenaikan UKT direspons begini, ya tentu sangat menyedihkan," ucapnya.


Lebih lanjut, Wasekjen PKB ini menegaskan pernyataan pendidikan tinggi bersifat tersier oleh pejabat tinggi Kemendikbudristek bisa dimaknai jika pemerintah lepas tangan terhadap nasib mereka yang tidak punya biaya tapi ingin kuliah. Padahal, menurutnya, di sisi lain pemerintah gembar-gembor ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045 dan ingin memanfaatkan bonus demografi agar tidak menjadi bencana demografi.

Baca Juga:


"Tapi saat ada keluhan biaya kuliah yang tinggi dari mahasiswa dan masyarakat seolah ingin lepas tangan," ujar dia.


Politikus PKB ini mengungkapkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia bagi peserta memang relatif rendah. Berdasarkan data BPS tahun 2023, Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Tinggi Indonesia itu masih 31,45 persen. Angka ini tertinggal dari Malaysia 43 persen, Thailand 49 persen, dan Singapura 91 persen.


"Salah satu kendala faktor pemicu rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia adalah karena persoalan biaya," imbuhnya.


Di sisi lain, kata Huda, anggaran pendidikan di Indonesia setiap tahun relatif cukup besar dengan adanya mandatory spending 20 persen dari APBN. Tahun ini saja ada alokasi APBN sebesar Rp 665 triliun untuk anggaran pendidikan. "Nah, ini ada apa kok sampai ada kenaikan UKT besar-besaran dari perguruan tinggi negeri yang dikeluhkan banyak mahasiswa. Apakah memang ada salah kelola dalam pengelolaan anggaran pendidikan kita atau ada faktor lain," tutur dia.


Pernyataan Tjitjik
Sebelumnya, Tjitjik selaku Sesdirjen Dikti mengatakan, pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier dalam rangka menanggapi polemik tingginya UKT. Sebagaimana siaran audio yang ditampilkan 20detik, Kamis (16/5), sifat pendidikan tinggi adalah opsional. Alokasi fokus anggaran pemerintah lebih kepada pendidikan wajib belajar, bukan ke pendidikan tersier itu.


"Pendidikan tinggi adalah tertiary education, jadi bukan wajib belajar. Artinya, tidak seluruhnya lulusan SLTA/SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Itu sifatnya adalah pilihan," kata Tjitjik.


Konsekuensinya, pendanaan pemerintah untuk pendidikan diprioritaskan untuk pembiayaan wajib belajar. Kebijakan itu juga merupakan amanat undang-undang. Meski begitu, negara tetap memberi Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN).


SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru