Jakarta (SIB)
Momen Ramadan kali ini tidak segesit tahun-tahun sebelumnya dalam hal pertumbuhan belanja masyarakat. Berdasarkan riset CNBC Indonesia, tabungan masyarakat yang makin terkuras dan rendahnya daya beli masyarakat di satu minggu menjelang Ramadan, khususnya kalangan bawah.
Penurunan pola belanja masyarakat menjelang Ramadan ini dinilai tak lazim. Hal ini terakhir terjadi pada Maret lima tahun lalu yang jadi momentum awal pandemi Covid-19 di Indonesia, dan menyebabkan pelambatan belanja masyarakat. Kini, belanja masyarakat sebesar hampir 40% lebih terfokus pada kebutuhan pokok.
Pengamat senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan, pertumbuhan di sektor lain selain makanan, misalnya sektor sandang, juga tampak lesu. Meskipun secara month to month (mtm) Maret 2025 ini tampak ada pertumbuhan.
Baca Juga:
"Sekarang mulai positif, tapi tidak terlalu tinggi. Tidak langsung mencuat angkanya. Kalau kita lihat secara year on year (yoy), memang agak terjadi pelambatan. Tapi kalau month to month-nya agak membaik. Mungkin mereka siapkan untuk kebutuhan Lebaran, walaupun mungkin dalam jumlah dan harga yang lebih terjangkau," ucap Tauhid melalui sambungan telepon, Sabtu (8/3).
Hal ini juga sebagian besar, kata Tauhid, dipantik oleh simpanan atau
tabungan masyarakat yang kian melesu. Tauhid bilang, masyarakat sudah benar-benar ada dalam fenomena makan
tabungan, atau yang kerap kita dengar dengan istilah 'mantab'.
Baca Juga:
"Karena sebagian besar, mungkin kalau kita lihat data-data dari indeks simpanan, saya lagi cek juga datanya. Itu simpanan
tabungan masyarakat agak terjadi penurunan. Jadi, mereka sudah benar-benar mantab," tegas Tauhid.
Kendati demikian, jika masyarakat sudah jelas bertumpu pada
tabungannya yang terus tergerus, Tauhid bilang secara otomatis konsekuensi dari situasi ini adalah menurunnya konsumsi.
"Kalau
tabungan naik, berarti konsumsi stabil, investasi juga ikut naik. Tapi kalau
tabungan turun, biasa larinya ke konsumsi. Jadi, situasinya seperti itu," tambahnya.
Selain itu, Tauhid menjelaskan, uang dari tunjangan hari raya (
THR) jarang digunakan untuk
tabungan atau investasi. Pola kebiasaan masyarakat Indonesia, menurut Tauhid, momentum menabungnya ada di kisaran Juni-Juli untuk persiapan kebutuhan sekolah. Biasanya,
THR cenderung dihabiskan untuk momen Lebaran saja.
"Kalau ada yang
THR-nya kurang, ataupun banyak yang tidak dapat
THR atau katakanlah di bawah standar upah, banyak yang kemudian mengambil
tabungan yang sudah disiapkan jauh-jauh hari," tambahnya.
Tak Semeriah
Tauhid juga melihat, momentum Ramadan kali ini tidak se-"meriah" tahun kemarin dalam konteks pertumbuhan belanja masyarakat. Hal ini lantaran di tahun lalu juga dibarengi dengan pesta rakyat pemilihan umum (pemilu), namun tidak demikian di tahun ini.
"Kalau dibandingkan tahun lalu, rasanya tidak begitu (pertumbuhannya), ya. Karena tahun lalu ada momentum pemilu, dan sebagainya. Banyak bansos dan sebagainya. Sehingga, konsumsi masyarakat relatif baik," katanya lebih lanjut.
Tauhid mengelaborasi, lantaran kondisi Ramadan kali ini ada di momen kasual yang tanpa hingar-bingar pemilu atau pesta politik, ini berdampak pada stimulus yang diberikan terhadap sektor konsumsi juga berkurang.
"Waktu itu masih ada Pilkada (pemilihan kepala daerah), jadi ada uang yang beredar di masyarakat, lebih banyak lah. Sehingga konsumsinya mendorong growth. Saya kira ini yang bisa agak relatif lambat Tapi kalau secara intinya, memang pertumbuhan ini akan terbelah. Januari, Februari, Maret itu 'kan di kuartal pertama," katanya.
"Biasanya growth-nya itu kemungkinan tidak begitu tinggi. Tapi nanti di April, karena Lebaran ada spending di April lebih banyak, untuk Lebarannya itu biasanya lebih naik di kuartal kedua. Kalau kuartal pertama, trennya agak sedikit turun," tutup Tauhid.
NaikDilaporkan terpisah, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memprediksi semakin banyak masyarakat yang meminjam uang melalui pinjaman daring (pindar) atau pinjol serta paylater.
Hal ini dikatakan oleh Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, LKM dan LJK Lainnya OJK, Agusman.
"Diperkirakan terjadi peningkatan permintaan pembiayaan BNPL (Buy Now Pay Later) oleh PP (perusahaan pembiayaan) dan Pindar menjelang
lebaran tahun ini, namun diharapkan akan lebih terkendali agar tidak menimbulkan peningkatan NPF ke depan," kata dia dalam keterangannya, Sabtu (8/3).
Agusman mengatakan, sementara ini pembiayaan BNPL oleh Perusahaan Pembiayaan pada Januari 2025 meningkat sebesar 41,9% yoy dibandingkan Desember 2024 37,6% yoy, atau menjadi Rp 7,12 triliun dengan NPF gross sebesar 3,37%.
Sementara itu, pada industri fintech lending/Pindar, outstanding pembiayaan di Januari 2025 tumbuh 29,94% yoy (Desember 2024: 29,14% yoy), dengan nominal sebesar Rp 78,50 triliun.
"Tingkat risiko kredit macet secara agregat (TWP90) dalam kondisi terjaga stabil di posisi 2,52%," lanjutnya.
Jelang Lebaran tahun lalu, outstanding pembiayaan BNPL oleh PP menguat sebesar 31,45% yoy pada April 2024 dibandingkan Maret 2024 23,90%, sedangkan pembiayaan industri Pindar menguat sebesar 24,16% yoy dibandingkan Maret 2024 21,85% yoy.
"Pertumbuhan kinerja Pindar dan BNPL yang didukung dengan tingkat pembiayaan bermasalah yang masih terjaga stabil tersebut menunjukkan masih tingginya demand/permintaan masyarakat, seiring dengan peningkatan transaksi digital antara lain pembelian produk melalui e-commerce," pungkasnya. (**)