Jakarta
(harianSIB.com)
Di sebuah sudut kecil di Ngada, Nusa Tenggara Timur, tiga anak di bawah umur kini harus memikul beban yang tak seharusnya mereka tanggung. Bukan hanya luka fisik, tapi juga luka batin yang mungkin akan membayangi hidup mereka bertahun-tahun ke depan.
Yang lebih menyakitkan, pelakunya bukanlah orang asing, melainkan seorang yang seharusnya menjadi pelindung: yaitu
AKBP Fajar Widyadharma Lukman,
mantan Kapolres Ngada.
Baca Juga:
Kasus ini bukan sekadar berita kriminal biasa. Ini adalah cerita tentang pengkhianatan terhadap kepercayaan, tentang seragam yang ternoda, dan tentang anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual oleh orang yang seharusnya menjunjung tinggi hukum.
AKBP Fajar Widyadharma Lukman, sang eks Kapolres, kini menjadi sorotan. Bukan karena prestasi atau dedikasinya, melainkan karena tuduhan
pelecehan seksual terhadap tiga anak di bawah umur.
Baca Juga:
Seorang aparat keamanan negara, yang seharusnya menjadi penjaga hukum, justru dituduh melanggarnya dengan cara yang paling keji.
"Tindakan ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar nilai-nilai moral dan etika,
Hak Asasi Manusia (HAM), serta
Konvensi Hak Anak (KHA)," tegas
Pdt Etika Saragih, Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam siaran persnya, Minggu (16/3) seperti yang dilansir Harian SIB.
Konvensi Hak Anak, yang diratifikasi Indonesia pada 1990, menjamin hak-hak anak untuk hidup aman, sehat, dan bebas dari kekerasan. Namun, di Ngada, tiga anak justru menjadi korban kejahatan yang dilakukan oleh orang yang seharusnya melindungi mereka.
Kasus ini bukan hanya tentang kejahatan individu, tapi juga tentang sistem yang gagal melindungi yang lemah. PGI melalui pernyataan resminya, mendesak
Polri untuk mengusut tuntas kasus ini.
"Tindakan pelaku tidak hanya melanggar hukum dan kemanusiaan, tetapi juga bisa mencederai rasa kepercayaan masyarakat terhadap institusi kepolisian," ujar
Pdt Etika Saragih.
PGI juga meminta Kapolri untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme pengawasan internal.
"Ini penting untuk memastikan bahwa aparat penegak hukum menjalankan tugasnya dengan integritas dan profesionalisme," tambahnya.
Desakan ini bukan tanpa alasan. Kasus ini bukan hanya merusak reputasi individu, tapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi yang seharusnya menjadi tumpuan harapan.
Di balik berita ini, ada tiga anak yang harus berjuang melawan trauma. Mereka bukan hanya korban kekerasan seksual, tapi juga korban sistem yang gagal melindungi mereka.