Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Sabtu, 26 Juli 2025

Tragedi Gacoan: Ketika Lantunan Musik Berujung Pidana bagi Pemilik Gerai

Redaksi - Jumat, 25 Juli 2025 10:04 WIB
253 view
Tragedi Gacoan: Ketika Lantunan Musik Berujung Pidana bagi Pemilik Gerai
(harianSIB.com/ist)
Gerai mie Gacoan.
Denpasar(harianSIB.com)

Gemuruh musik yang biasa mengiringi santap mie di gerai Mie Gacoan cabang Teuku Umar, Denpasar, kini menyisakan nada sumbang. Pasalnya, I Gusti Ayu Sasih Ira, Direktur PT Mitra Bali Sukses (MBS) selaku pemilik gerai tersebut, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian Bali atas dugaan pelanggaran hak cipta, Kamis (24/7/2025). Ia dituduh memutar lagu secara komersial tanpa izin dan tanpa membayar royalti kepada para pencipta lagu.

Penetapan tersangka ini berawal dari laporan yang diajukan oleh Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi), sebuah lembaga yang bertugas mengelola hak cipta musik. Selmi mengungkapkan bahwa upaya persuasif dan pendekatan damai untuk menagih royalti kepada manajemen Mie Gacoan sudah dilakukan sejak lama, namun tidak membuahkan hasil positif. Akibat kebuntuan tersebut, Selmi akhirnya menempuh jalur hukum dengan melaporkan kasus ini pada Agustus tahun lalu.

Baca Juga:

Langkah tegas Selmi ini mendapat dukungan penuh dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), yang menaungi lembaga pengelola royalti di Indonesia. Bagi LMKN, kasus ini bukan sekadar insiden tunggal, melainkan pesan keras bagi seluruh pelaku usaha. "Jika Anda menggunakan musik untuk kepentingan komersial, maka bayarlah royaltinya secara sukarela. Ini tentang menghargai keringat dan kreativitas para musisi," tegas perwakilan LMKN.

Pro dan Kontra

Kasus ini sontak membelah suara di kalangan musisi sendiri. Asosiasi Komposer Seluruh Indonesia (AKSI) secara terang-terangan mendukung langkah Selmi dalam penegakan hukum pidana. Mereka berpendapat bahwa penegakan hukum pidana adalah esensial untuk melindungi hak hidup pencipta lagu, di mana royalti tidak hanya sekadar uang, tetapi juga pengakuan dan napas bagi kelangsungan karya mereka.

Baca Juga:

Namun, di sisi lain, Vibrasi Suara Indonesia (Visi) justru menolak pemidanaan dalam kasus ini. Visi menyuarakan kekhawatiran bahwa proses hukum yang berbelit dan dampak negatif yang ditimbulkannya dapat menghambat upaya edukasi dan kolaborasi antara pelaku usaha dan musisi. Pertanyaan "Apakah penjara solusi terbaik?" menjadi sorotan utama mereka.

Para Ahli Hak Cipta memberikan pandangan mereka, menegaskan bahwa pemidanaan seharusnya menjadi langkah terakhir. Mereka menilai bahwa Selmi telah menjalankan prosedur dengan benar, dengan mendahulukan upaya persuasif dan mediasi sebelum akhirnya melangkah ke ranah pidana. Hal ini menunjukkan bahwa jalur damai telah menemui jalan buntu.

Kini, pertanyaan besar menggantung: Akankah penetapan tersangka ini menjadi titik balik kesadaran hak cipta di Indonesia? Atau hanya sekadar kasus hukum yang akan berakhir di pengadilan, tanpa menyentuh akar permasalahan yang lebih dalam?

Kasus Mie Gacoan ini telah membuka "kotak Pandora" yang jauh lebih luas. Di setiap sudut kafe, restoran, mal, atau gerai ritel, musik kerap mengudara. Namun, berapa banyak dari mereka yang benar-benar menghargai proses kreatif di balik setiap nada dan lirik yang mereka putar?

Ini bukan hanya tentang satu direktur atau satu perusahaan. Ini tentang sistem, tentang budaya menghargai karya orang lain. Akankah pemidanaan menjadi deterren yang efektif, atau justru dialog dan mekanisme pembayaran royalti yang mudah dan adil yang lebih dibutuhkan? Yang pasti, para pencipta musik terus menanti. Mereka menanti hak mereka diakui, bukan hanya karya mereka didengarkan, tetapi juga dihargai nilainya. Bisakah lantunan tanpa royalti terus kita biarkan mengalun?(**)

Editor
: Bantors Sihombing
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru