Medan (SIB)- Tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, yakni Baslin Sinaga, Agustinus Setya dan Ramli Darasah, dilaporkan ke Pengadilan Tinggi (PT) Sumut, Mahkamah Agung (MA) RI dan Komisi Yudisial (KY). Ketiga hakim tersebut dinilai melanggar hukum dan kode etik saat menangani perkara perdata No 668/Pdt-Plw/2012/PN-Medan.
Ketiga hakim PN Medan tersebut dilaporkan Drs Bernard Efendi Silalahi, selaku pihak terlawan dalam perkara perdata gugatan perlawanan penetapan eksekusi. "Saya tidak dapat menerima perlakuan, tindakan majelis hakim itu karena telah menzolimi saya," katanya usai menyampaikan laporan ke PT Sumut, Rabu (8/1).
Menurut Ketua Harian Karate Do Tako se-Indonesia itu, majelis hakim yang diketuai Baslin Sinaga tersebut telah melanggar hukum dan kode etik, karena menangani gugatan perlawanan penetapan eksekusi sama seperti gugatan biasa. Bahkan, mengabulkan gugatan tersebut. Padahal, perkara ini menyangkut putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Sangat tidak pantas menerima begitu saja permohonan gugatan perlawanan penetapan eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap hanya dengan sidang setempat atau lapangan, layaknya gugatan biasa," katanya.
Wakil Bendahara Forki Sumut ini juga menilai majelis hakim telah melanggar hukum, karena menerima saksi Sungkono yang merupakan ipar dari Turut Terlawan I dan para Pelawan. Padahal, saksi tersebut juga membeli tanah yang berada di sebelah Barat dari Terlawan I.
"Berdasarkan kedua tindakan tersebut, saya menilai majelis hakim yang merupakan hakim-hakim senior di PN Medan telah melanggar kode etik hakim. Untuk itu, saya meminta KY untuk memeriksa ketiga hakim itu dan merekomendasikan kepada MA untuk dijatuhi sanksi agar tidak ada lagi hakim yang berbuat semaunya. Dalam perkara ini tampak dengan jelas ada udang di balik batu," katanya.
Pelatih karate di Kementerian Hukum dan HAM Sumut ini mengaku, sangat dirugikan dengan putusan yang mengabulkan permohonan perlawanan penetapan eksekusi tersebut. Sebab, dia telah membeli tanah yang menjadi obyek gugatan. Bahkan, dia telah mengalihkan kepemilikan tanah di hadapan Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT). Karena tidak ada sengketa terkait kepemilikan tanah tersebut, dia meningkatkan alas hak kepemilikan tanah menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) atas namanya.
Meski begitu, dia tidak dapat menguasai tanah tersebut karena ada beberapa orang yang menempati dan tidak bersedia mengosongkan bangunan di atas tanah tersebut. Karena tidak dapat dikuasainya hingga beberapa tahun, dia mengajukan gugatan pada 2004, namun ditolak majelis hakim karena tidak mengikutsertakan tiga orang yang menempati rumah di atas tanah itu.
"Ketiga orang itu saya laporkan ke polisi. Di pengadilan, mereka dinyatakan bersalah dan dihukum karena terbukti bersalah menguasai milik orang lain tanpa hak," jelasnya.
Bernard juga kembali menggugat Sugeng Subagio, sebagai pihak yang menjual tanah kepadanya. Namun, Sugeng tidak pernah menghadiri persidangan. Karena telah dipanggil beberapa kali dengan patut, namun Sugeng tetap tidak hadir, majelis hakim memutus perkara itu dengan putusan verstek pada 2009. Berdasarkan putusan verstek itu, dia mengajukan permohonan eksekusi ke PN Medan pada 7 April 2010. PN Medan juga telah mengeluarkan penetapan eksekusi No 07/Eks/2012/516/Pdt-G/2009/PN-Medan pada 29 Maret 2012.
"Anehnya, orang-orang yang menempati rumah di atas tanah milik saya itu mengajukan gugatan perlawanan selaku pihak ketiga penetapan itu tanpa dasar hak yang jelas. Ironisnya, majelis hakim diketuai Baslin Sinaga mengabulkan gugatan mereka," katanya. (A13/x)