Sudah biasa didengar, bila Pemilu Legislatif maupun pemilihan kepala daerah, selalu dibayangi kerusuhan akibat ketidakpuasan pada penyelenggara.
Berita terkini adalah Kabupaten Tapanuli Utara, Provinsi Sumatera Utara. Berulangkali aksi massa yang memprotes penyelenggara hingga melaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) di Jakarta.
Peristiwa itu menarik perhatian publik, dan menjadi motivasi bagi penyelenggara bahwa harus siap menjadi sorotan. Bukan soal salah atau benar, tetapi itulah fakta, tidak saja peserta Pemilu, tim sukses, partai politik namun juga masyarakat yang setiap saat menyoroti.
Memang, menjadi penyelenggara Pemilu, apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tidaklah mudah. Dibutuhkan integritas, kapabilitas, netralitas dan profesionalitas, serta mentalitas yang kuat.
Berbagai regulasi untuk penguatan penyelenggara demi terwujudnya penyelenggaraan yang demokrastis, adil dan berintegritas serta berkepastian hukum terus dicari. Terakhir dengan keluarnya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pemilu dilaksanakan berdasarkan azas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dengan prinsip penyelenggaraannya yang mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, profesional, akuntabel, efektif, dan efisien.
Kedudukan Panwaslu diubah menjadi Bawaslu dengan masa tugas 5 tahun. Wewenang juga diperkuat menjadi "setengah peradilan" untuk memeriksa, mengkaji dan memutus pelanggaran administratif, dan sengketa proses Pemilu dengan putusan final dan mengikat, kecuali sengketa verifikasi Parpol, penetapan daftar Caleg dan penetapan pasangan calon.
Sulit membayangkan penyelenggaraan Pemilu ke depan yang diharapkan negara lebih baik apabila seorang penyelenggara setengah paham atas undang-undang, dan kedudukannya. Bukan maksud menuduh penyelenggara di Tapanuli Utara dan daerah lain. Tetapi, tidak mungkin ada sorotan kalau tidak ada pelanggaran.
Bila demikian juga ke depan, maka jangan heran jika suatu waktu terjadi permasalahan yang lebih besar dalam Pemilu. Jika di Kabupaten Tapanuli Utara masih sebatas aksi massa dan aksi bakar ban, maka bisa saja ke depan mengarah jadi aksi yang lebih besar dan brutal.
KETENTUAN PIDANA
Selain regulasi yang mendorong penguatan penyelenggara dan penyelenggaraan Pemilu, negara juga mendorong sanksi pidana bagi penyelenggara, pejabat negara, pejabat BUMN, aparatur pemerintah desa hingga masyarakat biasa yang melanggar.
Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 diatur pada pasal 488-554. Konsekuensinya jelas mulai dari pidana penjara, hingga pidana denda. Sepertinya tidak ada lagi ruang yang menjadi celah terjadinya pelanggaran.
Bagi pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang mempersoalkan dasar negara, pembukaan dan bentuk negara. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan negara. Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan atau peserta Pemilu yang lain.
Dilarang menghasut dan mengadu domba perseorangan ataupun masyarakat. Mengganggu ketertiban umum. Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan atau peserta Pemilu yang lain.
Dilarang merusak dan atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu. Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Membawa atau menggunakan tanda gambar dan atau atribut selain dari tanda gambar dan atau atribut peserta Pemilu yang bersangkutan.
Dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu. Dilarang mengikutsertakan aparatur sipil negara, anggota TNI dan anggota polisi. Dilarang mengikutsertakan kepala desa, perangkat desa, anggota badan permusyawaratan desa.
Kepala desa juga dilarang membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu dalam masa kampanye. Pelanggaran pada poin di atas dipidana dengan pidana penjara 1-2 tahun dengan denda Rp6-24 juta.
PENYELENGGARA
Bagi penyelenggara yang melaksanakan Pemilu yang tidak menjalankan tahapan, seperti tidak mengumumkan dan atau tidak memperbaiki Daftar Pemilih Sementara (DPS) serta mengumumkannya kembali setelah mendapat masukan dari masyarakat dan atau peserta Pemilu dipidana dengan pidana penjara 1 tahun dan denda Rp12 juta.
Penyelenggara PPS wajib mengumumkan salinan sertifikat hasil penghitungan suara dari seluruh TPS di wilayah kerjanya dengan cara menempelkannya ditempat umum. Dan Setiap anggota KPPS, PPS wajib menjaga, menyegel dan mengamankan keutuhan kotak suara yang berisi surat suara, berita acara pemungutan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara dan menyerahkannya ke PPK.
Pelanggaran terhadap peraturan tersebut dipidana dengan pidana penjara 2 tahun penjara dan denda Rp24 juta.
Selanjutnya bagi penyelenggara KPU hingga PPS yang dengan sengaja membuat keputusan dan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta Pemilu dalam masa kampanye. Kemudian sengaja menambah atau mengurangi daftar pemilih setelah ditetapkannya DPT, dipidana dengan pidana penjara 3 tahun dan denda Rp. 36 juta.
Bagi anggota Bawaslu di tingkat kelurahan dan kecamatan wajib mengawasi penyerahan kotak suara tersegel dari PPS hingga KPU. Pelanggaran terhadap aturan itu dipidana dengan pidana penjara 1 tahun dan denda Rp12 juta.
Bagi anggota Bawaslu yang dengan sengaja tidak menindaklanjuti temuan dan atau laporan penyelenggara Pemilu yang dilakukan anggota KPU hingga tingkat KPPS dalam setiap tahapan penyelenggaraan dipidana dengan pidana penjara 2 tahun dan denda Rp24 juta.
KODE ETIK
Selain Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, penyelenggara juga diatur dengan kode etik yang mengatur pedoman perilaku penyelenggara berupa kewajiban dan larangan, tindakan atau ucapan yang patut dan tidak patut dilakukan.
Setiap penyelenggara harus patuh pada prinsip jujur yang didasari niat tanpa kepentingan, mandiri dengan menolak campur tangan dan pengaruh siapapun, adil dalam bertindak dengan menempatkan segala sesuatu sesuai hak dan kewajiban. Akuntabel yang bertanggungjawab dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.
Profesional dalam bekerja dengan prinsip berkepastian hukum, mudah dijangkau semua orang, tertib, terbuka dengan akses informasi yang seluas-luasnya, mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum untuk keadilan, serta memahami tugas dan wewenang serta kewajiban yang didukung keahlian.
Bekerja efektif dengan kesesuaian tahapan dengan ketepatan waktu, efisien dengan prosedur dan tepat sasaran, aspiratif, akomodatif dan selektif dengan kepentingan umum. Bersikap netral, tidak partisan, menolak pemberian janji atau barang dari siapapun yang bisa mempengaruhi pekerjaan, dan menolak menerima pemberian dan peserta Pemilu.
KESIMPULAN
Sejatinya Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat yang demokratis, berintegritas, jujur dan adil harus sudah di depan mata. Seharusnya tidak terjadi lagi ketidakpuasan yang mengarah kepada penyelenggara Pemilu pada sekarang ini.
Seorang pengawas harus mampu bersikap adil seadil-adilnya. Bercermin dari kejadian yang terjadi di Tapanuli Utara dan beberapa daerah lain, diharapkan menjadi introspeksi bagi penyelenggara untuk lebih baik lagi ke depan.
Mengingat sekarang ada proses seleksi KPU dan Bawaslu Kabupaten di Sumatera Utara yang sedang berlangsung. Harapan masyarakat kiranya mampu melahirkan pribadi penyelenggara yang mampu mengemban tugas dan amanah yang bertanggungjawab.
Kita mendukung proses rekrutmen yang cukup ketat yang dilakukan Tim Seleksi untuk menjaring calon yang berintegritas, kredibilitas, jujur, adil dan bertanggungjawab. Berbagai tools yang disiapkan mulai dari ujian CAT dengan pengumuman nilai, tes psikologi dan tes kesehatan bekerjasama dengan Polda, hingga wawancara, serta uji kelayakan dan kepatutan patut diacungi jempol.
Bahwa rekrutmen terbuka yang sudah dilakukan secara baik dan transparan ini kiranya berujung manis dengan penentuan penyelenggara yang benar-benar dapat memenuhi amanat UU. Sehingga harapan masyarakat dalam Pemilu dijadikan sebagai roh demokrasi.(d)