Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Senin, 11 Agustus 2025

Upaya Melestarikan Kebudayaan Batak

* Oleh Manguji Nababan
- Sabtu, 12 Maret 2016 16:25 WIB
3.361 view
Pada umumnya orang Batak yang lahir dan besar di perantauan sudah merasa asing dengan hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan Habatahon.

Apakah itu soal bahasa, adat istiadat, pemahaman silsilah dan asal usul marga, pemahaman tentang ulos, kesenian dan lain sebagainya. Belum jelas apa penyebabnya, apakah model pewarisan budaya yang kurang ataukah  mereka sendiri yang kurang tertarik dengan segala macam yang berhubungan dengan hal-hal tradisional yang dianggap kolot, kampungan dan ketinggalan zaman? Ataukah kemajuan zaman dan teknologi yang semakin canggih  dan pengaruh lingkungan perkotaan yang heterogen yang semakin menjauhkan mereka dari akar budayanya? Entahlah! Tapi yang jelas jika situasi ini dibiarkan berlarut-larut maka dapat dipastikan bahwa kebudayaan Batak akan semakin terdegradasi bahkan bisa saja punah.

Kita dapat melihat sekarang betapa pewarisan kebudayaan Batak pada generasi muda sangat menipis. Dari pengamatan penulis, kejadian itu bukan saja pada orang Batak yang bermukim di kota bahkan sudah sampai ke bonapasogit. Bukan hanya pemahaman generasi muda saja yang terdegradasi, orangtua yang tergolong usia mudapun, banyak di antara mereka yang sangat minim pemahamannya tentang kultur budaya Batak. Lambat laun, bisa dipastikan mereka akan tidak tertarik dengan apa yang berkaitan dengan kultur budaya mereka yang merupakan warisan leluhur mereka. Namun dari semua itu, jika ketidakpahaman itu awalnya bersumber dari sikap rasa malu sebagai etnis Batak, ini yang menjadi masalah besar.

Dalam hal sikap berbudaya, beberapa generasi muda Batak tanpa alasan yang jelas sudah ada yang tidak mencantumkan marganya di belakang namanya. Sepertinya tidak ada rasa bangga sebagai orang Batak dan pewaris kebudayaan Batak.  Ironisnya, mereka justru lebih berminat melaksanakan tradisi etnis lain, meninggalkan budayanya. Kenapa hal itu bisa terjadi, apakah nilai-nilai dalam kebudayaan Batak tidak  fungsional lagi? Ya tentu banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Mungkin saja arus budaya luar (asing) yang begitu kuat, populer dan cepat memasyarakat sehingga mendominasi kehidupan generasi muda.  Lama kelamaan akan lahir generasi Batak yang tidak berkarakter Batak sebab mereka akan semakin membias dari akar kulturnya. Nah, apakah kita tinggal diam dengan situasi yang demikian? Namun, menurut penulis, upaya yang bisa kita laksanakan adalah minimal  memperlambat kepunahan itu, suatu target yang ironis bahkan pesimis memang. Nah, jika demikian apa yang bisa kita lakukan?

Memang, harus kita akui seandainya generasi muda Batak ingin mengetahui dan mempelajari  seni dan budaya Batak tidaklah semudah yang kita bayangkan. Ke mana dan di mana mereka mendapatkannya? Setahu penulis tidak banyak sarana pendidikan formal yang mengajarkan kebudayaan Batak. Kalau kita bandingkan dengan kebudayaan Jawa, sungguh banyak lembaga atau komunitas berkesenian  yang siap menampung minat dan bakat  putra-putri mereka di bidang seni dan budaya. Sarana ini sudah pasti bermanfaat untuk pelestarian dan mengembangkannya kebudayaan Jawa. Sebut saja padepokan Bagong Kusdiardjo, begitu kreatif dan produktif melestarikan tarian jawa, sehingga mereka sering pagelaran tari hingga luar negeri. Dalam industri tenun batik, Danarhadi amat kreatif mengkreasikan kerajinan batik mulai dari sapu tangan, gaun, taplak meja dan bentuk kreasi lainnya. Ide-ide untuk menjadikan motif batik dalam berbagai bentuk kerajinan serasa tak habis-habisnya untuk memenuhi selera pasar dan permintaan masyarakat. Di Yogya kita bisa menemukan Akademi Seni Kerawitan yang mendidik mahasiswanya menjadi ahli dalam bidang musik dan tarian tradisional Jawa. Di sini terlihat begitu cintanya mereka terhadap budayanya, sikap seperti ini sangat terpuji bahkan juga sebagai upaya yang cerdas untuk menjaga kelestarian budayanya.  Tidak ada salahnya jika apa yang dilakukan mereka menjadi model, bahkan menjadi bahan perenungan bagi generasi muda Batak yang masih merasa malu menunjukkan identitas kebatakannya. Berbicara tentang kelembagaan sebagai penaung kebudayaan Batak, memang di beberapa tempat masih ada lembaga formal yang memiliki institusi Cultural. Namun  keberadaan  lembaga itu sering mati suri dari segi aktifitas yang hanya menyisakan nama saja. Ironis memang, institusi semacam ini sering terabaikan dari segi perhatian dan pendanaan,  sebab dari segi bisnis lembaga kebudayaan tidak bisa diharapkan menghasilkan profit yang besar.

Memang di beberapa tempat masih ada yang melakukan usaha-usaha pelestarian seni dan budaya melaksanakan seminar dan diskusi  namun upaya tersebut kurang maksimal sebab masih sebatas teori semata. Seperti dikemukakan oleh alm Ds SMS Sitompul penulis di tahun 80-an mengatakan, yang lebih dibutuhkan sekarang adalah penyajian karya budaya itu dalam bentuk tertulis untuk dapat dipelajari anak cucu kita kelak. Untuk itulah diperlukan peran lembaga kebudayaan Batak untuk aktif melakukan kajian dan menghasilkan rekomendasi dalam bentuk buku.  Dengan demikian, mereka yang tadinya agak asing dengan kebudayaan Batak diharapkan kelak akan lebih kenal dan akrab, sehingga kekhawatiran akan punahnya kebudayaan Batak mudah-mudahan tidak akan terjadi. Untuk itu keterlibatan budayawan, sastrawan, pemuka adat, dan kalangan intelektual Batak sangat diharapkan guna mewujudkan upaya pelestarian dan pengembangan kebudayaan Batak pada masa-masa mendatang.

Keterlibatan gereja juga  sangat strategis untuk terlibat langsung dalam upaya pelestarian kebudayaan Batak. Penggunaan bahasa Batak dalam khotbah, nyanyian rohani berbahasa Batak, musik Batak untuk mengiringi lagu-lagu gereja adalah wujud keterlibatan gereja dalam merawat kebudayaan Batak. Apabila semua gereja Batak di Indonesia membuka pintu pada lagu-lagu tradisional yang sudah diadopsi ke dalam lagu-lagu gereja, maka keberlanjutan dan kesinambungan seni budaya Batak itu akan lebih mulus nantinya.

Kebijakan pemerintah juga dirasa perlu untuk ikut serta dalam upaya pelestarian kebudayaan Batak ke depan. Khususnya untuk daerah eks keresidenan Tapanuli, tidaklah berlebihan jika bahasa dan aksara Batak, seni dan budaya diajarkan di sekolah-sekolah sebagai mata pelajaran muatan lokal yang dimulai dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah lanjutan atas.

Sesungguhnya, hingga kini masih banyak orang Batak yang merisaukan kelestarian kebudayaan Batak ke  depan. Namun hanya sebatas risau, miris lalu secara sporadis menggagasi  pembentukan lembaga budaya Batak, melakukan  pelantikan pengurus membuat rapat-rapat  namun tetap tanpa action.  Tentu hal seperti ini bukanlah sebuah upaya pelestarian kebudayaan Batak. Menurut penulis, perlu segera diadakan "Kongres Kebudayaan Batak", dengan mengundang pakar, tokoh adat dan pemerhati budaya Batak untuk membicarakan secara paripurna segala pengetahuan tentang Habatakon. Kongres diharapkan mampu menghasilkan rumusan yang ilmiah dan Holistik terkait bahasa (tata bahasa) Batak, sastra lisan, tradisi lisan, sejarah, adat istiadat, keaksaraan, musik Batak dan lain sebagainya.

Keberadaan suku bangsa Batak dengan segala unsur budayanya, adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan Nasional sebagai kekayaan dan anugerah yang patut kita jaga kelestariannya. Adalah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk mewarisi dan memelihara nilai budaya leluhur nenek moyang kita sebagai pembentukan krakter yang luhur. Pembentukan krakter adalah bagian dari pembangunan insan manusia Indonesia seutuhnya yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.  (Penulis adalah Kepala Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nommensen) (d)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru