Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Minggu, 10 Agustus 2025

KUHP Akan Akomodir Hukum Adat

- Sabtu, 19 Maret 2016 17:44 WIB
307 view
Jakarta (SIB)- Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil mengatakan,  pihaknya akan mengakomodir kehadiran hukum adat ( living law) yang masih berlaku di tengah-tengah masyarakat di  Indonesia.

‘”Jangan seperti UU Pornografi dan Pornoaksi dahulu, yang ditolak oleh masyarakat Bali, Papua dan daerah lain, terlepas dari motivasinya  untuk apa” kata  Nasir Djamil di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (15/3).

Menurut Nasir,  Panitia Kerja (Panja) DPR RI juga  tidak akan mengesampingkan hukum Islam yang  masih digunakan di daerah tertentu seperti Aceh Darussalam hingga saat ini. Juga hukuman mati, meskipun  tidak bermaksud  mengabaikan tuntutan global dunia, yang sebagian besar sudah menghapus hukuman mati.  Makanya,  dalam RUU KUHP nantinya hukuman mati  dinamai sebagai pidana mati bersyarat.

“ KUHP hasil revisi itu nantinya diyakini akan  mampu mengayomi semua kepentingan masyarakat dalam berhadapan dengan hukum. Kita harap KUHP  nantinya bisa akomodir warna-warni dan dinamika hukum yang ada di Indonesia, sehingga bisa menjadi hukum yang tidak terpisahkan dalam membangun masyarakat ini,”  ujar  Nasir sambil menyebutkan bahwa pihaknya juga akan  mencoba memahami sikap pemerintah terkait hukuman mati terhadap pelaku kejahatan.
Menurutnya, sepertinya di pemerintah sendiri memang  masih ada  pro dan kontra terhadap hukuman mati, sehingga hukuman mati dimasukkan dalam satu pidana khusus.

“Kami pahami suasana kebatinan pemerintah, tapi kami bersyukur masih dicantumkan hukuman mati meski sangat selektif dan bersyarat. Artinya hukuman mati merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Dia masih diberi kesempatan untuk bertobat dan merubah perilakunya, serta minta ampun pada presiden,” kata Nasir.

Dikatakan, Panitia Kerja (Panja) DPR RI  baru membahas asas-asas hukum pidana dalam buku I, yang akan selesai sekitar Juli atau Agustus 2016 mendatang. Sedangkan dalam buku II –nya sudah berbicara delik pidana.  Namun, yang dibahas  baru  asas-asas pidana.

Kepala BPHN Kemenkumham RI  Prof Dr Enny Nurbaningsih SH MHum  mengakui  bahwa  pemerintah dan DPR RI baru membahas asas-asas hukum pidana. Asas-asas tersebut mengakomodasi rencana strategis (Renstra) nilai-nilai kebangsaan Indonesia, dengan mengakomodir living law  dan lain-lain.

Tim Kemenkumham RI sebagai penggagas cukup solid, sehingga dalam setiap pembahasan selalu melibatkan pihak-pihak terkait, seperti Kepolisian, Kejaksaan, MA, KPK, BNN, BNPT dan lain sebagainya.

Artinya, Kemenkumham sudah melibatkan seluruh penegak hukum yang ada. Jika terkait dengan  terorisme melibatkan BNPT, narkoba melibatkan BNN, korupsi tentu dengan KPK, dan seterusnya.
Menurut  Enny, proses pembahasan RUU KUHP ini dilakukan tidak dengan tergesa-gesa dan melibatkan seluruh komponen masyarakat sampai benar-benar mencapai keyakinan bersama. Termasuk di dalamnya terkait kejahatan luar biasa (extra ordenary crime, lex specialist, lex generalist) dan lain sebagainya.

Sementara Pakar Hukum Pidana UI Akhyar Salmi menyatakan agak bingung dengan draft KUHP tersebut, karena yang buku satu pakai asas, tapi yang lain tidak, sehingga  terlihat tidak konsisten.

Seperti asas wilayah, asas nasional pasif, asas nasional aktif, dan asas internasional. Padahal,  itulah yang harus diclearkan, agar tujuan pemidanaan itu tidak dijadikan norma saja, melainkan harus dijalankan.

Akhyar Salmi berpendapat,  kalau tujuan itu dipahami sebagai norma, maka tak akan ada kekonsistenan seperti dengan hukuman mati itu sendiri di masyarakat.
Karena itu, pasal 55 dalam buku I,  bertentangan dengan pidana pokok hukuman mati.  Sebab, doktrin itu akan selalu berkembang dan tidak perlu diatur, dan tujuan pidana itu kita serahkan kepada penegak hukum.

Menurut  Akhyar, tidak perlu menghimpun semua delik yang ada. Sebab, dalam hukum pidana manapun delik administrasi itu berbeda dengan delik pidana umum, dan memang tidak boleh ada  2 ( dua) tindak pidana dijatuhi hukuman sekaligus.

Misalnya tindak pidana korupsi dengan mengganti uang kerugian negara. Sebab,  uang itu tidak  bisa mengganti korupsi. “ Kalau begitu, koruptor akan merasa senang.Padahal, itulah antara lain yang harus diclearkan,”  tukasnya.  (G 01/ r)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru