Jakarta (SIB)- Rumah-rumah tradisional Batak dewasa ini terancam punah karena berbagai faktor. Antara lain, karena terbakar, rusak, tidak terawat dan lain sebagainya.
Karena itu, sangat wajar jika hal ini menjadi keprihatinan orang-orang Batak yang masih peduli akan adat, budaya, tradisi dan peninggalan leluhur bangso Batak.
Hal ini mengemuka, dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Menyelamatkan Rumah Adat Batak (Save Batak’s House)†akhir pekan lalu di Anjungan Sumut, TMII, Jakarta Timur, diselenggarakan Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT), bekerjasama dengan Komunitas Seniman Tradisi Sumatera Utara (Kosentra Sumut), dan pengelola Anjungan Sumut Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta.
Pelaksanaan FGD dilatarbelakangi adanya peristiwa kebakaran empat unit rumah adat Batak yang telah berusia 200 – 250 tahun di Huta Lumban Binanga, Desa Jangga Dolok, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), Provinsi Sumatera Utara pada hari Jumat, 1 Januari 2016 lalu.
Forum FGD menghimpun pandangan dan pemikiran dari berbagai perspektif seperti arsitektur, sejarah, budaya dan tradisi Batak, kesenian dan pemerintahan, untuk menyelamatkan rumah tradisional Batak yang semakin tergerus arus zaman dan modernisasi.
Pemandu FGD, Jhohannes Marbun mewakili YPDT yang selama ini dikenal sebagai pemerhati warisan budaya di tanah air menginformasikan bahwa setidaknya 12 (dua belas) peristiwa kebakaran Ruma atau Sopo Batak dalam kurun waktu 6 (enam) tahun terakhir (2010-2016), termasuk Ruma Batak di Jangga Dolok.
Tampil beberapa nara sumber antara lain, Dr Bisuk Siahaan (tokoh masyarakat), Dr Cosmas Batubara ( mantan Menaker), Prof Ir Gunawan Tjahjono M.Arch., Ph.D. (Guru Besar Arsitek Universitas Indonesia), Prof Dr.-Ing Ir Uras Siahaan (Guru Besar Arsitek Universitas Kristen Indonesia), Ir Galuh Widati MSc. (Dekan Fakultas Teknik UKI), Ir Parlin Sianipar (Forum Masyarakat Balige), Ir Joyce Sitompul br Manik (Ketua Kosentra Sumut), Ir Jesman Gultom (Ahli Aksara Batak/ Kosentra Sumut), Drs. Maruap Siahaan, MBA (Ketua Umum YPDT), Drs Jerry RH Sirait (tokoh budaya dan pendidikan, YPDT), Saut Poltak Tambunan (Sastrawan Batak), dan lain sebagainya.
Bisuk Siahaan menyatakan, bahwa orang Batak sekarang ini hampir sudah kehilangan adat, budaya, tradisi, dan peninggalan leluhur Bangso Batak.
“Saya sangat terkejut ketika mendengar di Belanda ada pameran barang-barang leluhur peninggalan Bangso Batak selama 3 (tiga) bulan. Hal ini bisa diartikan bahwa orang di luar Bataklah saat ini yang memiliki peninggalan leluhur nenek-moyang suku Batak,†kata Bisuk Siahaan sembari menambahkan, bahwa orang-orang Jerman dan Belanda masih menyimpan barang-barang leluhur masyarakat Batak.
Dikatakan, selama ini pemerintah lebih mengutamakan pelestarian bangunan-bangunan tua berarsitektur peninggalan masa kolonial, misalnya Kota Tua Jakarta, Kota Lama Semarang, Kota Baru Yogyakarta, dan beberapa peninggalan masa kolonial lainnya.
Padahal di Indonesia sangat banyak bangunan-bangunan tua berupa rumah tradisional (adat) yang jauh lebih bermakna yang menunjukkan identitas dan integritas suku-suku bangsa di Indonesia.
Tokoh masyarakat Cosmas Batubara mengharapkan agar para generasi muda bersatu padu menyelamatkan dan melestarikan peninggalan leluhur Bangso Batak, salah satunya dengan menyelamatkan rumah tradisional Batak.
“Sesungguhnya kelebihan yang dimiliki rumah Batak dapat dipelajari dan kita harus mencoba mengusahakan membangun kembali rumah Batak atau memperbaiki rumah Batak yang sudah rusak dan rapuh sebelum rumah itu roboh dan hancur,†kata Cosmas Batubara.
Jerry RH Sirait menyatakan bahwa dengan melestarikan rumah tradisional Batak (Ruma Batak dan Sopo Batak), maka kita sudah melestarikan adat, budaya, tradisi, dan peninggalan leluhur Bangso Batak. Sebab, dalam rumah tradisional Batak, ditemukan adat, budaya, tradisi, dan peninggalan leluhur bangso Batak.
Kepala Anjungan Sumut di TMII Jakarta, Tatan Daniel berpendapat bahwa hilangnya rumah tradisional Batak juga berarti hilangnya kampung adat Batak.
Sebab, kampung adat Batak adalah tempat disimpannya nyanyi-nyanyian, lak-lak, tonggo-tonggo, filosofi Batak dan lain sebagainya.
Guru Besar Arstitek Universitas Indonesia (UI ) Prof Ir Gunawan Tjahjono M.Arch, PhD. mengemukakan, dari perspektif kebudayaan dan sejarahnya, Bangso Batak memiliki banyak kekayaan. Dari rumah tradisionalnya saja, sudah dapat dilihat kekayaan tersebut.
Gunawan Tjahjono menegaskan bahwa membangun rumah berarti membangun diri dari suatu komunitas.
“Jika kita melestarikan rumah tradisional berarti kita melestarikan pengetahuannya. Saat ini kita semakin kehilangan hal tersebut, sehingga perlu ada tindakan penyelamatan rumah tradisional Batak,†ujar Gunawan.
Problem rumah tradisional rata-rata karena terbakar, selain itu, karena sekarang ini kita hidup di budaya modern.
Menurutnya, budaya modern identik dengan budaya tulisan. Sebaliknya, nenek-moyang kita dulu hidup dalam budaya lisan.
“Kadangkala untuk menyampaikan budaya lisan itu kepada komunitas untuk dapat diingat, mereka terjemahkan dalam wujud simbol-simbol berupa ukiran, pahatan, dan patung,†tukasnya.
Gregorius Antar, mengemukakan, bahwa "rumah tradisional dianggap zaman kebodohan. Orang-orang pada zaman tersebut masih percaya roh-roh orang yang sudah mati.
Akibatnya ketertarikan untuk melestarikan rumah tradisional tidak ada sama sekali. Padahal sebenarnya rumah tradisional itu memiliki kearifan lokal yang tidak tertandingi oleh kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan di masa modern.
Sebagai contoh, rumah tradisional Batak adalah rumah yang didesain untuk tahan gempa karena memang kawasan mereka tinggal rawan gempa ketika itu. Bisa dibandingkan, dengan rumah modern yang terbuat dari batu, pasir, dan semen.
Ketua Umum YPDT, Maruap Siahaan mengajak forum untuk membentuk tim untuk merevitalisasi Ruma Batak dalam rangka menyongsong kawasan Danau Toba sebagai destinasi wisata kelas dunia dengan melibatkan seluruh stakeholder dan masyarakat di kawasan Danau Toba
Bisa dimulai dengan pembangunan Ruma Batak Jangga Dolok. Selain itu, membedah Ruma Batak di kawasan Danau Toba untuk menggali kembali nilai nilai dari sisi arsitektur, budaya, kearifan lokal, bahan dan teknologi pembuatannya.
Disarankan, melibatkan mahasiswa untuk live in mengerjakan bedah rumah tersebut.
(G01/ r)