Jakarta (SIB)-
Kota membutuhkan peradaban baru yang ditentukan warganya. Hal esensi dari arsitektur kota ialah menghubungkan manusia dengan tempat yang dibangun.
Demikian dikatakan arsitektur dan perancang kota Bagoes Wiryomartono dan Yuswadi Saliya secara terpisah, Senin (1/6), di Jakarta. Menurut keduanya kota perlu memiliki kearifan lokal yang dibentuk dan dirancang oleh warganya. Bahkan, menurut Bagoes, dibutuhkan seorang perancang kota di setiap kecamatan di Indonesia, khususnya di kota-kota besar.
“Kita ini kaya sumber daya dan budaya. Namun, arsitektur menjadi rancu karena dalam pendidikan kita tidak dikenalkan segmen-segmen yang menghargai kearifan lokal. Dalam hal ini, kita tidak lagi membicarakan materi organik dan bentuk-bentuk,†kata Bagoes, arsitek dari Institut Teknologi Bandung, yang tinggal di Kanada. Menurut Bagoes, kota-kota di Indonesia itu sangat kaya dengan kearifan. Kampung-kampung di Jakarta, misalnya meski kumuh tidak miskin budaya.
Bagi Bagoes, arsitektur produk dari kesadaran bermasyarakat yang menciptakan kesadaran kolektif sehingga ada rasa memiliki. Hal itu masih bisa dijumpai di kampung-kampung yang ada di kota-kota, meski makin menghilang. “Kampung selalu memiliki titik-titik temu yang disebut simpang. Itu yang menjadi titik komunikasi,†kata Bagoes.
Sementara bagi Yuswadi, kota harus menyesuaikan diri dengan kekinian. “Kota terbaik itu konon berpenduduk 10.000. Tapi, itu kan dulu. Kalau sekarang, ya, bagaimana semua kebutuhan orang kota bisa dipenuhi, itu idealnya. Makanya kota butuh peradaban baru,†katanya.
Munculnya pusat-pusat perbelanjaan yang ditempatkan secara acak membuat wajah kota berubah. “Kalau melihat mal-mal kita seperti lupa akan hakikat kearifan lokal. Arsitektur zaman sekarang lebih menghargai mobil, lapangan parkir lebih bagus dari jalur pedestrian. Mal-mal itu merusak struktur kota,†kata Bagoes.
(Kps/j)