Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Rabu, 06 Agustus 2025

Tradisi Pukul Sapu yang Unik dari Maluku

Redaksi - Sabtu, 19 Desember 2020 10:18 WIB
1.122 view
Tradisi Pukul Sapu yang Unik dari Maluku
Foto Dok
Tradisi Pukul Sapu
Indonesia kaya akan tradisi yang unik. Dari Maluku, ada tradisi Pukul Sapu sebagai lambang persaudaraan yang tidak mengenal istilah SARA.

Tradisi Pukul Sapu atau orang Maluku menyebutnya dengan istilah 'Pukul Menyapu' merupakan tradisi turun temurun yang sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Portugis atau sekitar abad ke-16.

Informasi dari para tetua adat di negeri Mamala dan Morela mengatakan bahwa tradisi ini dilaksanakan setiap 7 Syawal atau 7 Hari setelah hari raya Idul Fitri. Tradisi ini memiliki akar sejarah perjuangan perang melawan Portugis dan VOC Belanda yang dipimpin oleh Kapitan Telukabessy.

Perang tersebut dikenal dengan nama perang Kapaha. Nama Telukabessy dan Kapaha sekarang diabadikan menjadi nama Jalan Nasional di Kota Ambon.

Menurut Georg Eberhard Rumpf atau yang lebih dikenal dengan Rumphius, sejarawan asal Jerman yang dulu bekerja dengan VOC, mengatakan Perang Kapaha adalah perang Ambon yang ke-4 di wilayah jazirah Leihitu, bagian utara Pulau Ambon.

Rumpius datang ke Indonesia karena terkesima dengan kekayaan rempah Indonesia. Sesampainya di Maluku, Rumpius pun tinggal di Larike, dan semasa hidupnya ia menjadi saudagar di Hitu.

Karena ketertarikannya dengan alam di Maluku, ia menetap di sana dan menikahi gadis Ambon, hingga akhirnya Rumphius buta. Namun di tengah kebutaannya, dia tidak menyerah.

Rumphius banyak menulis dan mengajarkan anak-anaknya tentang flora maupun fauna laut (kerang-kerangan) dengan tehnik meraba dan mencium, sehingga karena kepandaiannya tentang tumbuh-tumbuhan dan khasiatnya, ia dijuluki sebagai ilmuwan atau peramal buta dari Ambon.

Puncak peperangan di Maluku terjadi ketika penjajah melakukan agresi militernya yaitu selama tujuh hari tujuh malam. Pada tanggal 27 Juli Tahun 1646 VOC berhasil menyerang dari laut dengan meriam kapal, sedangkan di sekitar benteng, pasukan Belanda juga terus melakukan tekanan.

Pertempuran berlangsung sengit, dalam detik-detik terakhir ketika benteng tidak lagi bisa dipertahankan, Telukabessy harus mundur guna menyusun kekuatan kembali melawan Belanda.

Benteng Kapaha akhirnya jatuh ke tangan Belanda. Banyak dari para pejuang yang ditangkap. Kapitan Telukabessy pun diminta untuk menyerahkan diri kepada Belanda serta diminta pertanggung jawabannya atas para tawanan dan perang tersebut.

Dengan jiwa kapitan, pada tanggal 19 Agustus 1646 Telukabessy menghadap Komandan Verheijden. Di hadapan Gubernur Gerard Demmer, Telukabessy mengajukan beberapa tuntutan tegas, namun tuntutan tersebut tidak diindahkan oleh Belanda. Hingga pada akhirnya Kapitan Telukabessy digantung 13 September 1646 di Benteng Victoria, Amboina.

Setelah perlawanan Telukabessy berakhir, maka pada tanggal 27 Oktober 1646 Gubernur Gerard Demmer membebaskan pejuang-pejuang Kapaha yang telah ditawan selama lebih dari 90 hari. Pembebasan tawanan perang Kapaha diselingi dengan acara perpisahan.

Pada acara inilah dipentaskan tarian adat yang bernafas sejarah dengan nyanyian lagu-lagu Kapaha. Turut pula serombongan pemuda Kapaha mempertunjukan atraksi Pukul Sapu Lidi. Para Kapitan dan Malesy larut dalam atraksi ini. Luka-luka berdarah dapat mengingatkan perjuangan berdarah Perang Kapaha yang telah berlalu.

Itulah sepenggal kisah dari atraksi Pukul Sapu Lidi di Negeri Morella. Kita dapat menangkap sisi spiritualisme, nasionalisme dan patriotisme dalam satu kultur budaya.

Atraksi ini pun memiliki filosofi yaitu persaudaraan tidak memandang Suku, Agama dan Ras. Sakit di kuku, rasa di daging yang artinya rasa senang maupun rasa sakit dapat dirasakan bersama demi terwujudnya kehidupan yang harmonis antar sesama. (detikTravel/f)

Sumber
: Hariansib edisi cetak
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru