Patortorhon parumaen pada awalnya diperkenalkan di daerah tertentu dalam lingkungan komunitas orang Batak Toba berkisar sepuluh tahun silam.Kini, makin meluas di daratan tanah Batak. Dengan kata lain belum semua daerah mencakup berbagai marga yang mempraktikkan acara patortorhon parumaen dalam rangkaian upacara adat perkawinan Batak Toba. Patortorhon parumaen adalah pagelaran tari tradisional Batak Toba menampilkan menantu (Batak : parumaen), didampingi dan diikuti oleh suami di tempat yang sama. Acara ini digelar sesudah selesai acara pemberkatan nikah dari gereja.
Acara patortorhon parumaen di berbagai tempat di tanah Batak terbagi dalam dua cara. Cara I (pertama), patortorhon parumaen melibatkan tiga unsur Dalihan na Tolu terdiri dari unsur dongan tubu (dongan sabutuha) termasuk dongan sahuta, unsur boru dan unsur hulahula. Cara 2 (kedua), di daerah tertentu tanpa melibatkan unsur hulahula.
Alasan yang dikemukakan pihak paranak dengan cara 2 (kedua) adalah saweran dalam bentuk uang dari unsur hulahula belum pantas diterima, sebab pelaksanaan rangkaian adat berdasarkan adat Dalihan na Tolu masih dalam proses. Kedua, adanya kesepakatan dan komitmen bersama dari unsur dongan tubu (dongan sabutuha), unsur hulahula pada gilirannya nanti akan manortor bersama pada saat menyampaikan ulos kepada kedua mempelai, orang tua pengantin laki-laki dan pihak kerabat lain, sehingga durasi waktu tidak begitu berpengaruh terhadap seluruh rangkaian upacara adat.
Penulis ingin mengemukakan pandangan, gagasan dan pendapat terkait hal yang sedang dibicarakan. Penulis tidak berpretensi dan juga tidak dalam kapasitas untuk menyatakan benar atau salah, suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju atas praktek pelaksanaan patortorhon parumaen dalam upacara adat. Dengan kata lain, penulis ingin menyampaikan sisi positif dan negatif sebagai bagian dari bentuk kepedulian menggeluti budaya Batak Toba terkait adat istiadat.
SISI POSITIFPatortorhon parumaen dipandang dari sisi positif adalah terciptanya suasana keakraban dari berbagai kelompok kerabat bahkan individu terhadap kedua mempelai, pihak orang tua pengantin laki-laki dan kerabat lain. Dalam acara manortor, pihak kelompok kerabat mengenal lebih dekat putri hulahula yang menjadi parumaen bagi kelompok kerabat pihak paranak dan putra pihak paranak menjadi mantu (hela) bagi kelompok kerabat pihak orang tua pengantin perempuan.
Kemudian acara tortor (tari) yang digelar melalui berbagai termin dari kelompok kerabat merupakan pelestarian tari tradisional masyarakat Batak Toba yang merupakan warisan budaya tak benda (WBTB). Tortor yang sedang berlangsung juga menjadi instruktur bagi yang lain terutama bagi mereka yang kurang mahir tortor Batak.
Selanjutnya acara patortorhon parumaen, mungkin dapat dikategorikan sebagai ajang gotong royong untuk mengumpulkan uang dalam jumlah tertentu, sehingga dapat membantu keuangan pihak paranak terkait pembiayaan atas penyelenggaraan pesta adat. Di sisi lain, hal ini menimbulkan rasa enggan bagi kelompok kerabat atau individu untuk ikut serta manortor, terutama bagi mereka yang berkantong tipis.
SISI NEGATIF1. Acara patortorhon parumaen akan berpengaruh besar terhadap waktu berakhirnya acara adat yang sedang dan akan berlangsung. Perlu kiranya dicatat, jauh sebelum acara ini menjadi tren ketika berlangsung proses adat perkawinan Batak Toba di berbagai tempat di tanah Batak, sering terjadi pelaksanaan upacara adat perkawinan berlangsung hingga malam hari, termasuk acara adat "paulak une" dan "tingkir tangga"yang dinamai ulaon sadari.
2. Jika pemberkatan nikah dan adat nagok, katakanlah pada tanggal 7 (tujuh), pihak hulahula harus berangkat dini hari pada pukul 02.00 WIB dari kampung menuju tempat pihak paranak. Perjalanan ditempuh berkisar 6 (enam) jam dan akan tiba di tempat pihak paranak pada pukul 08.00 WIB untuk mengikuti acara "marsibuhabuhai". Upacara adat selesai pada malam hari yakni pada pukul 20.00 WIB.Perjalanan pulang ke kampung hulahula juga 6 (enam) jam dan tiba pada waktu dini hari yakni pukul 03.00 WIB pada tanggal yang berbeda yakni pada tanggal 8 (delapan). Total waktu pulang pergi dan mengikuti seluruh rangkaian upacara adat oleh unsur hulahula berkisar 23 (dua puluh tiga) jam.
3. Ketika acara tortor larut dan mengasikkan, pembawa acara akan sukar mengendalikan waktu. Jadwal makan untuk kalangan umum yang semula disepakati dalam tonggo raja pada pukul 13.00 WIB bergeser hingga ke pukul 15.00 WIB. Kerabat lain dan undangan umum harus menahan rasa lapar lebih kurang 2 (dua) jam. Akhirnya mereka marungutungut (bersungut-sungut).
4. Dalam acara patortorhon parumaen yang berdurasi 2 (dua) hingga 3 (tiga) jam, dapat dibayangkan kedua pasangan suami istri yang baru diberkati itu mengalami kelelahan. Acara akan berlanjut lagi dengan mengumandangkan berbagai koor terutama dari kelompok kaum ibu sambil menyampaikan kata-kata nasihat yang mirip pidato.
KESIMPULANDari uraian di atas, penulis ingin menyampaikan bahwa, acara patortorhon parumaen dalam rangkaian upacara adat perkawinan Batak Toba merupakan termonologi yang masih relatif baru yang dipraktekkan sejak 10 (sepuluh) tahun silam. Praktek patortorhon parumaen di daerah A akan diikuti di daerah B dalam lingkungan komunitas orang Batak Toba. Hal ini dimungkinkan, karena bertitik tolak dari prinsip adat lama "sisolisoli do adat" atau prinsip memberi dan menerima (take and give). Dengan begitu, pada gilirannya, jika upacara adat perkawinan berlangsung di daerah B akan menerima hal serupa. Demikian seterusnya.
Kedua, adat tidak boleh diabaikan dan juga tidak menjadi beban untuk meraih kemajuan (adaptif dan paralel terhadap kemajuan zaman). Artinya, tanpa mengurangi makna adat Dalihan na Tolu terkait patortorhon parumaen dalam upacara adat perkawinan Batak Toba, marilah kita pertimbangkan esensi patortorhon parumaen dengan mempertimbangkan sisi positif dan sisi negatif sebagaimana diuraikan di atas.
Ketiga, hendaknya juga dipertimbangkan masalah efisiensi waktu, baik dalam upacara adat perkawinan Batak Toba maupun dalam upacara adat lainnya.Penulis ingin meminjam istilah, jika tidak sekarang kita benahi, kapan lagi?, jika bukan kita sendiri yang membenahi, lalu siapa lagi?.
*( Penulis adalah pemerhati sosial dan kolumnis budaya Batak, tinggal di Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara/c.)