Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Kamis, 26 Juni 2025

Suku Baduy Tak Sedikit pun Terkontaminasi Perkembangan Zaman Modern

- Sabtu, 06 Juni 2015 15:56 WIB
1.480 view
Suku Baduy Tak Sedikit pun Terkontaminasi Perkembangan Zaman Modern
SIB/Harnas.Co
Suku Baduy menggelar tradisi Seba di Banten.
Jakarta (SIB)- Masyarakat Baduy merupakan sekelompok masyarakat yang berpegang teguh pada  adat istiadat nenek moyang mereka secara turun-temurun.
Masyarakat Baduy tinggal di satu desa pedalaman, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. 

Kendati zaman terus berkembang, dan gaya hidup modern terus menggerogoti masyarakat masa kini, namun masyarakat Baduy tetap memilih hidup dalam kesederhaan, ketulusan, dan ketaatan pada titah leluhur mereka untuk terus menyatu dengan alam dan hidup bercocok tanam.

Keberadaan masyarakat Baduy sudah ratusan tahun lamanya, namun tidak sedikit pun terkontaminasi oleh perkembangan zaman modern saat ini.

Mereka terus berpegang teguh pada adat istiadat yang sudah diwariskan oleh leluhur mereka. Mereka tidak mengenyam pendidikan formal, sebagaimana layaknya masyarakat pada umumnya. Namun, mereka belajar tentang kebajikan hidup dari alam, dari adat istiadat yang mereka pegang dan yakini sebagai pedoman hidup mereka.

Untuk mempertahankan ada istiadat, masyarakat Baduy berpegang teguh pada pusaka leluhur dan melestarikannya dengan cara mewariskan secara turun-temurun kepada anak cucunya, secara tegas dan mengikat.

Namun, mereka menyadari, seiring berjalannya waktu, kehidupan anak dan cucu mereka mungkin tidak mampu mempertahankan amanat leluhur secara murni dan konsekuen, sehingga pewaris suku Baduy dibagi dalam dua kelompok yakni Baduy Dalam dan Baduy Luar.

Kehidupan masyarakat Baduy Dalam sangat rigit dan tegas, tidak terkontaminasi sedikit pun oleh perkembangan zaman, teknologi modern dan lain-lain. Ke mana-mana mereka selalu mengenakan pakaian putih dengan lomar/ikat kepala berwarna hitam. Mereka tidak boleh naik kendaraan dan tidak boleh memakai sandal. Mereka berjalan kaki, ke mana pun mereka pergi.  Sementara suku Baduy Luar, masih bisa menikmati teh botol, nasi kotak, memakai sandal, menggunakan handphone, dan bisa naik kendaraan umum.

Kedua kelompok pewaris suku Baduy ini telah memiliki tugasnya masing-masing dalam menjalankan pikukuh karuhun (amanat leluhur). Pikukuh karuhun inilah yang mereka pegang teguh dalam kehidupan sehari-hari. Pikukuh karuhun merupakan doktrin yang wajib mereka lakukan antara lain bertapa bagi kesejahteraan dan keselamatan pusat dunia dan alam semesta; memelihara sasaka pusaka buana; mengasuh ratu memelihara menak; menghormati guriang dan melaksanakan muja; mempertahankan dan menjaga adat bulan kawalu; menyelenggarakan dan menghormati upacara adat ngalaksa; dan melakukan upacara seba, setahun sekali.

Jadi upacara seba Baduy  merupakan bagian dari doktrin atau amanat leluhur (pikukuh karuhun) yang wajib dilaksanakan oleh masyarakat Baduy setahun sekali,  pada bulan safar awal tahun baru, sesuai dengan penanggalan adat Baduy (sekitar bulan April-Mei pada tahun Masehi).

Tujuan dari upacara seba ini adalah sebagai ekspresi rasa syukur  dan penghormatan suku Baduy terhadap pemerintah baik itu Bupati Lebak maupun Gubernur Banten.

Sebagai wujud rasa syukur dan penghormatan terhadap pemerintah, masyarakat Baduy dalam upacara seba mempersembahkan hasil panen dalam setahun, berupa talas, gula, pisang, dan lain-lain.

MITOS
Berdasarkan sejumlah sumber, di balik upacara Seba, ada satu mitos yang dipercaya oleh Suku Baduy yakni Bhatara Tunggal sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.

Tempat kediamannya terletak di hulu Sungai Ciujung dan Cisimeut. Tempat keramat tersebut oleh Suku Baduy dinamakan Arca Domas, yang tertutup bagi siapa pun kecuali pemimpin Suku Baduy atau Puun.

Mereka meyakni bahwa Bhatara Tunggal menciptakan bumi yang berawal dari benda besar yang kental dan bening, yang kemudian melebar dan berangsur-angsur mengeras.

Menurut keyakinan Suku Baduy, asal mula terjadinya bumi terletak di wilayah Baduy, karena itu warga Baduy sangat meyakini wilayahnya sebagai pancer bumi atau inti jagat dan juga Sasaka Pusaka Buana atau pusat dunia yakni Arca Domas.

Arca Domas selain dianggap sebagai inti jagat, juga dianggap sebagai tempat diturunkannya cikal bakal orang Baduy dan penghuni bumi lainnya.

Arca Domas dalam kepercayaan suku Baduy dianggap juga sebagai tempat berkumpulnya para leluhur atau nenek moyang mereka.

Para leluhur tersebut selalu memantau dan menjaga anak keturunan suku Baduy. Mereka sering datang ke kampung-kampung melalui leuweung kolot atau hutan primer, dan leuweung lembur atau hutan kampung.

Mengacu pada keyakinan tersebut, warga suku Baduy sangat menjaga keutuhan  lingkungan, kelestarian hutan dan keseimbangan alam.

Pada tanggal 25 April 2015 lalu, sebanyak 1.975 warga Baduy Dalam dan Baduy Luar, melakukan upacara Seba Baduy di Pendopo Lama Gubernur Banten yang terletak di Jln Brigjen KH Syam,un Nomor 5 Kota Serang, dan diterima oleh Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Banten Rano Karno.

Pesan yang mereka sampaikan kepada pemerintah setiap tahun tetap sama yakni menjaga kelestarian hutan dan lingkungan.

Bukan hanya itu, masyarakat Baduy juga meminta pemerintah untuk menegakkan hukum dan keadilan  demi ketenteraman dan keselamatan masyarakat.

Permohonan yang disampaikan kepada pemerintah dalam  ritual tersebut disampaikan oleh tokoh adat Baduy yang mewakili 12 tokoh adat masyarakat Baduy atau Jaro Tangtu 12, yakni Jaro Saidah yang diwakilkan ke Jaro Dainah dengan menggunakan bahasa Sunda.

Setelah menyampaikan permohonan tersebut, secara simbolis mereka juga menyerahkan sejumlah barang bawaan berupa hasil bumi atau hasil pertanian seperti, beras, pisang, gula merah, petai dan lainnya. Hasil bumi ini secara simbolis diserahkan kepada Plt. Gubernur Banten Rano Karno.

Plt Gubernur Banten Rano Karno mengakui  Seba Baduy merupakan upacara adat tradisi sakral asli dari warga Baduy yang tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.

Seba ini merupakan peristiwa budaya, bahkan sudah dilaksanakan secara turun temurun sejak zaman Kesultanan Banten
Rano mengatakan, ritual seba sendiri berarti mendatangi atau berkunjung kepada pemimpin mereka atau ibu gede yang tidak lain Bupati Lebak dan bapak gede yaitu Gubernur Banten.

"Mereka menitipkan pesan kepada pemerintah untuk menjaga kelestarian alam, hutan, dan lingkungan. Tentunya ini juga merupakan pesan moral untuk kita sebagai masyarakat Banten agar tetap menjaga kelestarian alam itu sendiri,"  jelasnya.

 Perwakilan Desa Kanekes Ayah Saidi Putra melalui juru bahasanya Jaro Dainah mengatakan, Seba Baduy ini sebagai bentuk silaturahmi kepada pemerintah yang dilakukan setahun sekali.

Selain bersilaturahmi masyarakat Baduy Dalam dan Baduy  Luar juga mengajak kepada pemerintah setempat untuk menjaga kelestarian lingkungan Gunung Pulosari, Gunung Karang agar tidak dirusak manusia. Karena jika alam mengalami kerusakan maka bisa mengakibatkan bencana alam, gempa bumi dan lain sebagainya.

Pemerhati masyarakat Suku Baduy M Iwan mengatakan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten harus memberikan apresiasi dan melestarikan  upacara Seba Baduy sebagai potensi budaya yang membawa banyak nilai dan pesan moral terkait keseimbangan alam, kelestarian linkungan, keharmonisan dan kedamaian.

"Saya sebenarnya mengkritisi cara Pemprov Banten memperlakukan masyarakat Baduy pada saat upacara Seba Baduy tahun 2015 dilaksanakan. Masyarakat Baduy dibiarkan duduk di halaman terbuka tanpa tenda, dan tidak disiapkan tempat untuk mereka beristirahat. Akhirnya, masyarakat Baduy kocar kacir ketika hujan turun.  Warga Baduy dibiarkan tidur di emperan gedung Pendopo Lama Gubernur Banten. Selain itu, pada saat pulang, warga Baduy Luar diangkut dengan menggunakan kendaraan truk terbuka padahal kendaraan bus di Pemprov Banten begitu banyak. Perlakukan masyarakat Baduy secara manusiawi," tegasnya. (SP/y)

SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru