WASHINGTON DC (SIB)
Pemerintah Amerika Serikat secara resmi menangguhkan perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong karena kekhawatiran bahwa UU Keamanan Nasional baru pemerintah China mengintervensi otonomi Hong Kong. Dalam pernyataan pada Rabu (19/8), diumumkan bahwa Washington menangguhkan atau menghilangkan 3 perjanjian dengan Hong Kong. Melansir CNN pada Kamis (20/8), 3 perjanjian tersebut, meliputi penyerahan buronan, pemindahan orang yang dijatuhi hukuman, dan pembebasan pajak timbal balik atas penghasilan."
Pemerintah AS menuduh Beijing merusak "otonomi tingkat tinggi yang (pemerintah China) janjikan kepada Inggris dan rakyat Hong Kong selama 50 tahun di bawah Deklarasi Bersama Sino-Inggris yang terdaftar di PBB." Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo mengatakan di Twitter resminya, bahwa perjanjian telah ditangguhkan karena Partai Komunis China yang berkuasa telah memilih untuk menghancurkan kebebasan dan otonomi rakyat Hong Kong.
Sementara itu, juru bicara pemerintah Hong Kong memberikan tanggapan keras atas keputusan AS tersebut. Dikatakannya, keputusan AS tersebut menciptakan masalah lebih lanjut dalam hubungan China-AS, menggunakan Hong Kong sebagai pion, dan "harus dikutuk oleh komunitas internasional".
Hong Kong menuduh Amerika Serikat menggunakan kota itu sebagai pion dalam hubungan dengan China, seraya mengecam keras keputusan AS yang menarik diri dari tiga perjanjian ekstradisi dan perpajakan.
Jubir pemerintah Hong Kong mengatakan keputusan AS itu mencerminkan "tidak menghormati bilateralisme dan multilateralisme" di bawah pemerintahan Presiden AS Donald Trump. Beijing juga mengkritik "tindakan salah AS" tersebut, dengan mengatakan China telah memutuskan Hong Kong akan menangguhkan perjanjiannya dengan AS tentang bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan dalam jumpa pers reguler: "Urusan Hong Kong adalah murni urusan dalam negeri China ... China mendesak AS untuk segera memperbaiki keputusannya yang salah." Awal bulan ini Washington menjatuhkan sanksi kepada pemimpin Hong Kong, Carrie Lam bersama dengan 10 pejabat senior lainnya di kota itu, dan mengkriminalkan setiap transaksi keuangan AS dengan mereka.
Sejak penyerahan Hong Kong dari Inggris ke China pada 1997, Hong Kong telah menikmati status perdagangan dan keamanan khusus dengan AS, yang didasarkan pada otonomi tingkat tinggi yang dimiliki pusat keuangan itu dari Beijing. Namun, pada akhir Juni, setelah berbulan-bulan terjadi aksi protes pro- demokrasi yang meluas dan seruan untuk otonomi yang lebih besar di dalam kota bekas koloni Inggris ini, pemerintah China memberlakukan UU Keamanan Nasional baru yang ketat di Hong Kong.
Regulasi tersebut mengkriminalisasi orang-orang yang terlibat dalam rencana pemisahan diri, subversi, terorisme, dan campur tangan asing. Kritikus, termasuk pemerintah AS, berpendapat bahwa UU baru tersebut memiliki efek mengerikan yang besar pada kebebasan sipil kota dan sangat merusak kebebasan berbicara, serta kebebasan pers.
Pada 14 Juli, Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif untuk mengakhiri status perdagangan khusus Hong Kong dengan AS sebagai tanggapan atas disahkannya UU Keamanan Nasional Beijing. "Hong Kong sekarang akan diperlakukan sama seperti pusat daratan China. Tidak ada hak istimewa khusus. Tidak ada perlakuan ekonomi khusus dan tidak ada ekspor teknologi sensitif," kata Trump. Sementara ini, AS adalah negara terbaru yang menangguhkan perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong menyusul pengesahan UU Keamanan Nasional baru.
Kanada, Australia, Prancis, Jerman, dan Inggris Raya semuanya menunda perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong sejak UU Keamanan Nasional disahkan. Pemerintah China menuduh negara-negara Barat itu "mencampuri urusan dalam negeri China dan serius melanggar hukum internasional." "Tindakan salah Kanada, Australia dan Inggris untuk mempolitisasi kerja sama yudisial Hong Kong telah sangat merusak dasar kerja sama yudisial...dan pemeliharaan keadilan serta supremasi hukum," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin pada 28 Juli lalu. (CNN/dtc/kps/a)