Naypyidaw (SIB)
Amerika Serikat (AS) telah memerintahkan penarikan diplomat non-essential dari Myanmar, di tengah meningkatnya ancaman perang saudara dampak dari kudeta militer yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.
Protes harian yang menuntut pemulihan pemerintah terpilih terus ditanggapi dengan tindakan keras dari militer. Tercatat korban tewas sejak kudeta Myanmar 1 Februari mencapai lebih dari 520 warga sipil. Tanggapan kekerasan junta telah memicu kecaman internasional - dan ancaman pembalasan dari beberapa kelompok etnis bersenjata Myanmar.
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) menyatakan sedang memerintahkan pegawai pemerintah AS non-essential dan anggota keluarga mereka keluar dari negara tersebut. “Keputusan itu diambil untuk melindungi keselamatan dan keamanan staf dan keluarga mereka,†kata Departemen Luar Negeri AS seperti dilansir dari Guardian, Rabu (31/3).
Negara-negara di dunia telah berulang kali mengutuk tindakan keras terhadap perbedaan pendapat dan menekan kader junta Myanmar dengan sanksi. Tapi tekanan tidak memengaruhi para jenderal. Pada Sabtu (27/3), bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata Myanmar, negara itu menyaksikan korban jiwa terbesar sejauh ini, dengan sedikitnya 107 orang tewas.
Hal serupa juga dilakukan pemerintah Norwegia. Pemerintah Norwegia mendesak seluruh warganya yang masih berada di Myanmar supaya segera pulang. Penyebabnya adalah kondisi di negara itu semakin tidak kondusif akibat kekerasan aparat keamanan dalam menghadapi aksi unjuk rasa menentang kudeta.
"Masih memungkinkan untuk meninggalkan Myanmar tetapi ini dapat berubah dalam waktu singkat," demikian isi imbauan Kementerian Luar Negeri Norwegia, seperti dikutip Reuters, Selasa (30/3).
Pemerintah Norwegia menyatakan sampai saat ini mereka dan negara di kawasan Skandinavia masih memantau ketat situasi di Myanmar. Perusahaan telekomunikasi Norwegia, Telenor, mempunyai kantor perwakilan di Myanmar. Menurut juru bicara perusahaan itu, ada dua warga Norwegia yang menjadi petinggi di kantor perwakilan itu.
"Kami sudah menerima peringatan perjalanan dari Kementerian Luar Negeri dan akan segera mengambil penilaian utuh terkait kondisi ini," kata juru bicara Telenor yang tidak disebutkan namanya.
Kerusuhan akibat kudeta militer terus memburuk di Myanmar. Lembaga Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) melaporkan 510 warga sipil tewas dua bulan sejak kudeta terjadi. Pasukan keamanan bahkan dilaporkan membunuh 114 orang termasuk anak-anak dalam sehari dalam bentrokan antara aparat dan pengunjuk rasa pro-demokrasi pada Sabtu (27/3) kemarin.
Tekanan dari dunia, baik di kawasan Asia Tenggara maupun negara berpengaruh seperti Amerika Serikat hingga Inggris, nampaknya belum mampu membuat junta Myanmar tunduk, meski sudah dikenakan berbagai sanksi. Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) pun nampak tidak berdaya untuk mencarikan jalan keluar dalam gejolak di Myanmar.
Suu Kyi Sehat
Sementara itu, pemimpin de-facto Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang dilengserkan sejak kudeta pada 1 Februari lalu masih dalam penahanan junta militer. Pengacara Suu Kyi yang berhasil melakukan komunikasi via video dengannya pekan ini, menuturkan pemimpin berusia 75 tahun itu dalam keadaan sehat.
Seperti dilansir Reuters dan AFP, Rabu (31/3), Mim MinSoe yang merupakan salah satu pengacara Suu Kyi menuturkan bahwa dirinya berhasil berkomunikasi dengan kliennya melalui video link di kantor polisi setempat. Komunikasi via video ini dilakukan menjelang persidangan selanjutnya untuk kasus Suu Kyi yang dijadwalkan digelar pada Kamis (1/4) mendatang.
Suu Kyi diketahui sempat menjadi tahanan rumah sejak ditahan saat militer melancarkan kudeta pada 1 Februari lalu. Namun kemudian sejumlah petinggi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menuturkan lokasi penahanan Suu Kyi dipindah ke suatu lokasi yang dirahasiakan.
Persidangan kasus Suu Kyi sebelumnya digelar melalui video conference, tanpa kehadiran pengacaranya. Tim pengacara yang mewakili Suu Kyi dalam kasusnya, berusaha melakukan komunikasi dengan kliennya itu namun tidak membuahkan hasil. (Guardian/Rtr/AFP/dtc/CNNI/f)
Sumber
: Hariansib.com edisi cetak