Fasano (SIB)
Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik Paus Fransiskus mengingatkan para pemimpin tujuh negara terkaya di dunia atau G7 bahwa mesin tidak bisa menggantikan manusia dalam pengambilan keputusan. Ia menyebut bahwa kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) harus digunakan untuk hal-hal baik, tetapi jangan sampai manusia tergeser kemanusiaannya karena bergantung pada teknologi tersebut.
Seperti yang diberitakan Koran SIB, Paus Fransiskus diundang oleh Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni ke resor Bogno Egnaza di Fasano, Provinsi Brindisi, Italia, pada Jumat (14/6). Di sana, ia mengikuti rapat G7 dan kemudian memberi ceramah soal AI.
"Dulu, manusia menemukan pisau untuk bertahan hidup di alam. Tetapi, ketika tidak dikelola dengan bijak, pisau menjadi cikal bakal peralatan perang," kata Paus Fransiskus, dikutip oleh media National Catholic Register.
Baca Juga:
Pemuka agama asal Argentina itu menekankan bahwa ia tidak menentang kemajuan teknologi, termasuk AI. Tetapi, Paus mengingatkan bahwa teknologi tidak bisa menggantikan manusia dalam membuat keputusan karena teknologi tidak memiliki empati, simpati, nalar, dan kemampuan untuk melihat situasi kompleks secara manusiawi.
Paus mencontohkan pemakaian
AI dalam sistem peradilan. Teknologi dipakai untuk menganalisis tahanan dari segi kepribadian, latar belakang etnis, jenis kejahatan yang dilakukan, perilaku di lembaga pemasyarakatan, dan lain-lain guna memutuskan apabila terdakwa tersebut cocok dipenjara atau dijatuhi hukuman tahanan rumah.
Baca Juga:
"Jangan lupa bahwa manusia terus bertumbuh dan berkembang. Manusia bisa mengambil keputusan dan sikap yang mengejutkan. Ini hal yang tidak bisa diperkirakan oleh mesin," tuturnya.
Menurut Paus, istilah "kecerdasan buatan regeneratif" keliru. Pada dasarnya,
AI mengambil mahadata yang tersedia secara bebas di internet dari karya manusia.
AI lalu menggabungkannya sesuai perintah yang dimasukkan ke sistem. Produk
AI ini bukan kebaruan konsep ataupun analisis, melainkan mengulang hal yang sudah ada dengan kemasan baru.
Cara kerja
AI ialah menganggap ide yang diulang-ulang atau banyak disebut di dunia maya sebagai suatu hal yang absah.
AI lalu ikut mengulang dan mengonsolidasinya tanpa memeriksa apabila gagasan itu mengandung kekeliruan pemahaman dan prasangka.
"Ini bukan regeneratif, tetapi pemaksaan ide yang belum tentu benar," kata Paus Fransiskus.
Paus Fransiskus menekankan bahwa guna menjadikan teknologi
AI bermanfaat bagi manusia tanpa menghilangkan kemanusiaan, pendidikan menjadi sangat penting. Hanya dengan nalar dan kebijaksanaan, manusia bisa memakai
AI untuk kemajuan bersama yang berkeadilan. Oleh sebab itu, kode etik
AI mendesak dibuat.
Dia mengingatkan bahwa dunia akan hancur jika manusia tidak lagi mampu mengambil keputusan untuk diri sendiri. Harapan musnah apabila manusia menggantungkan segala pada teknologi yang mereka buat dan menganggapnya bisa menggantikan nilai dari manusia itu sendiri.
"Kami berjanji mengembangkan perubahan digital yang berpusat kepada manusia, inklusif, menyejahterakan ekonomi, dan berkelanjutan," kata para pemimpin
G7 setelah mendengar ceramah Paus Fransiskus.
John Kirton, peneliti isu
G7 dari Universitas Toronto, Kanada, menjelaskan bahwa mengundang Paus Fransiskus adalah pernyataan yang kuat. Harapannya, reputasi Paus bisa memberi arahan bagi para pemimpin
G7.
Salah satu pertemuan
G7 yang paling berdampak kepada dunia ialah Konferensi Tingkat Tinggi Ke-31
G7 di Skotlandia pada 2005. Hasil KTT itu ialah penghapusan utang 18 negara termiskin dunia. Nilai utang itu sebesar 40 miliar dollar AS.
"Kehadiran Paus Fransiskus memang tidak bisa menjamin KTT ini bisa sefenomenal yang di Skotlandia, tetapi harapannya bisa memberi keputusan yang berbobot bagi semua bangsa," kata Kirton.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida menerangkan bahwa Jepang sudah memiliki sistem Hiroshima
AI. Sistem ini memungkinkan setiap pemakaian
AI memenuhi pakem etika, terlepas dari jenis ataupun jenama produk
AI yang dipakai.
Uni Eropa adalah wilayah pertama di dunia yang membuat peraturan pemanfaatan
AI. Peraturan ini belum final, tetapi mengedepankan kemanusiaan dalam penggunaan kecerdasan buatan. Adapun Amerika Serikat mendorong DPR untuk membuat peraturan. Beberapa negara bagian juga sedang mengembangkan aturan masing-masing.
NganggurSementara dilaporkan terpisah, hampir 10 juta gen Z tercatat masih menganggur di tengah masifnya perusahaan yang mengadopsi teknologi kecerdasan buatan
AI, untuk mengisi pekerjaan yang seharusnya ditempati generasi Z.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 9,9 juta gen Z di Indonesia pada rentang usia 15–24 tahun tidak bekerja alias menganggur.
Hasil Sakernas Agustus 2023, tercatat 22,25% dari 44,7 juta anak muda golongan gen Z tidak bekerja, menjalani pendidikan dan mendapat pelatihan, atau not in employment, education, and training/NEET).
Adapun, NEET menurut BPS adalah penduduk usia muda dengan rentang usia 15 - 24 tahun yang sedang tidak sekolah, tidak bekerja, atau tidak mengikuti pelatihan.
Beban yang dipikul gen Z tampaknya makin menggunung. Data World Economic Forum Report & LinkedIn (2023) mengungkap, sebanyak 83 juta pekerjaan diproyeksikan akan hilang dalam lima tahun ke depan, imbas dari perkembangan kecerdasan buatan alias
AI.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menuturkan bahwa perkembangan
AI akan memicu tren pergeseran kemampuan dan pekerjaan, termasuk membuat jutaan pekerjaan hilang akibat teknologi
AI.
Namun, Budi menyampaikan bahwa
AI juga bisa memunculkan 69 juta pekerjaan baru. Dia pun menyebut, sebanyak 22,1% total pekerja Indonesia memanfaatkan
AI dan 26,7 juta pekerja terbantu oleh
AI.
"Jadi memang inilah dilema dari kemajuan teknologi, tetapi kita harus optimis. Nanti ada pekerjaan yang hilang, tetapi akan ada pekerjaan baru muncul," kata Budi saat ditemui seusai acara Google
AI untuk Indonesia Emas 2045 di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Indonesia, kata Budi, harus optimistis dengan kehadiran teknologi
AI, salah satunya dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Menurutnya, masyarakat Indonesia mampu beradaptasi dengan perkembangan dan kemajuan teknologi.
"Yang penting dari
AI adalah tidak against people and humanity, manusia dan kemanusiaan. Itu yang harus kita jaga," tuturnya.
Budi menyampaikan bahwa masyarakat juga perlu memprioritaskan pelatihan berbasis keterampilan dengan mempertimbangkan kebutuhan industri yang bertumpu pada
AI. Serta, mengikuti pelatihan platform pembelajaran online, workshop, dan inisiatif kolaboratif antara lembaga pendidikan dan industri.
Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC) memperkirakan adanya kemungkinan
AI menggantikan peran manusia, seperti analis, sebab akan membuat perencanaan makin lebih baik dan efisien. Kendati demikian, teknologi
AI tidak sepenuhnya menggantikan peran manusia.
Ketua Bidang Regulasi & Pemerintahan IDIEC Ardian Asmar mengatakan bahwa terdapat sektor pekerjaan tertentu yang tidak akan tergantikan
AI, seperti kontraktor. "Ai Itu akan berperan misalnya di analisa data, itu mungkin akan tergantikan, tetapi tidak akan tergantikan 100%, karena basis
AI adalah data dan algoritma," kata Ardian saat dihubungi, Senin (10/6).
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi melihat sudah ada pergeseran pekerjaan
AI. Namun, dalam 3–5 tahun ke depan akan makin terasa karena porsinya yang makin besar.
"
AI ini memang diam-diam akan menggantikan banyak pekerjaan yang sebelumnya dilakukan manusia, seperti analis, tenaga administrasi, bahkan didukung oleh robotika atau automasi maka pekerja pabrik juga akan bisa dipangkas," kata Heru.
Menurutnya, saat ini
AI baru tahap pengenalan di Indonesia sehingga dampak terhadap tenaga kerja belum terlihat. "Dalam waktu 5 tahun baru akan kelihatan bagaimana banyak pekerjaan dilakukan dengan
AI," ujarnya.
Untuk itu, dia menyebut harus ada upaya peningkatan keterampilan sumber daya manusia (SDM) ke digital, termasuk pengendali atau pengontrol
AI. "Kita jangan hanya senang hadirnya
AI, tapi tenaga kerja kita tidak di-upgrade, reskilling pun up skilling," imbuhnya.
Tidak Bisa Digantikan
Namun menurut laporan Goldman Sachs tahun 2023, beberapa pekerjaan di antaranya adalah akuntan, desainer grafis, hingga layanan pelanggan (customer service) tidak akan tergeser. Namun, adakah pekerjaan yang tak bisa digantikan
AI?
Secara umum, pekerjaan yang bisa tergeser adalah yang bisa digantikan oleh sistem otomatisasi. Analisis McKinsey pada Juli 2023, menyatakan bahwa pada 2030, sekitar 30% posisi kerja di Amerika Serikat dapat diotomatisasi.
Di luar itu, pekerjaan yang membutuhkan keterampilan tertentu dari manusia, akan tetap bertahan. Misalnya, pekerjaan yang membutuhkan penilaian dan pengambilan keputusan manusia serta yang membutuhkan komunikasi kompleks dan bernuansa.
Melansir laman World Economic Forum (WEF), teknologi
AI tidak akan menggantikan pekerjaan yang membutuhkan:
Kecerdasan sosial dan emosional, Kreativitas dan inovasi, Ketangkasan fisik dan mobilitas.
Survei yang dilakukan untuk Future of Jobs Report, menunjukkan bahwa pertumbuhan pekerjaan tertinggi pada 2023-2027 adalah operator peralatan pertanian, pengemudi truk besar dan bus, serta guru pendidikan kejuruan.
Kemudian mekanik dan tukang reparasi mesin menyusul di posisi keempat. Ini artinya, pekerjaan-pekerjaan tersebut tidak bisa digantikan
AI pada masa depan.(**)