Bangkok (SIB)- Mahkamah Konstitusi Thailand, Jumat (21/3), membatalkan pemilihan umum pada Februari yang diganggu oleh pengunjukrasa, sehingga semakin memperlambat pembentukan pemerintahan baru, setelah unjuk rasa jalanan selama berbulan-bulan untuk menjatuhkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra.
Dengan suara enam berbanding tiga, mahkamah memutuskan bahwa pemilu tersebut telah melanggar konstitusi, karena pemungutan suara tidak dilakukan di 28 distrik di selatan Thailand dimana kandidat tidak bisa mendaftar akibat blokade oleh pengunjukrasa anti-pemerintah. "Pemilu 2 Februari tidak bisa dilakukan serentak di seluruh negeri," kata mahkamah dalam pernyataannya.
Belum jelas apakah pemilu ulang akan digelar. Anggota Komisi Pemilihan Umum, Somchai Srisutthiyakorn mengatakan Thailand mempunyai dua opsi untuk menyelenggarakan pemungutan suara baru. "Komisi bisa membicarakan dengan pemerintah mengenai pengeluaran dekrit baru untuk tanggal pemilu yang baru atau kami akan menanyakan kepada semua pemimpin partai politik untuk memutuskan bersama kapan waktu terbaik untuk menggelar pemilu baru," katanya.
Pengunjuk rasa mengancam akan mengusik kembali jika pemilu baru dilakukan. "Jika mahkamah membatalkan hasil pemilu, jangan pernah bermimpi akan ada pemilu lagi. Jika tanggal pemilu baru diumumkan, kami akan urus semua provinsi dan pemilu akan gagal lagi," kata pemimpin unjuk rasa Suthep Thaugsuban.
Gelombang unjuk rasa tersebut merupakan episode terakhir dalam krisis sepanjang delapan tahun yang menghadapkan kelas menengah Bangkok melawan pendukung Perdana Menteri Yingluck Shinawatra dan saudara laki-lakinya, mantan PM Thaksin Shinawatra yang digulingkan oleh militer pada 2006 dan tinggal dalam pengasingan untuk menghindari hukuman penjara atas dakwaan korupsi.
Unjuk rasa yang sudah memasuki bulan kelima, telah menutup kantor-kantor pemerintah dan memblokade jalan-jalan utama di Bangkok dalam upaya menggulingkan Yingluck. Sebanyak 23 orang tewas dan ratusan lain terluka dalam aksi kekerasan.
Untuk meredam aksi unjuk rasa, Yingluck meminta dilakukan pemilu dan mulai saat itu memimpin pemerintahan sementara yang hanya memiliki wewenang terbatas. Aksi kekerasan dan kebuntuan politik menyebabkan jatuhnya kepercayaan asing, sehingga menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Partai yang dipimpin Yingluck, Partai Puea Thai diperkirakan memenangi pemilu namun oposisi utama Partai Demokrat meminta perubahan pelaksanaan pemilu untuk mengurangi pengaruh Thaksin. Partai-partai yang dipimpin atau berafiliasi dengan Thaksin selalu memenangi pemilu sejak 2001. Yingluck menghadapi tantangan hukum yang bisa menjatuhkan pemerintahannya, termasuk tuduhan pengabaian tanggung jawab terkait skema pembelian beras.
Pendukung Thaksin "baju merah" yang punya basis kuat di utara dan timurlaut Thailand, mulai bersuara sehingga menimbulkan kekhawatiran meningkatnya kekerasan jika Yingluck dipaksa mundur oleh pengadilan, komisi anti-korupsi, atau dengan cara lain.
"Institusi-institusi yang independen jelas ingin menyingkirkannya dan seluruh kabinetnya untuk menciptakan kekosongan kekuasaan, mengklaim bahwa pemilu tidak bisa dilakukan dan kemudian menunjuk perdana menteri pilihan mereka," kata analis politik Siam Intelligence Unit, Kan Yuenyong. "Jika mereka menjalankan rencana ini, pendukung pemerintah akan menentang dan setengah tahun ke depan akan menjadi masa-masa paling buruk yang kita pernah lihat sepanjang paruh pertama," katanya.
(Ant/AFP/f)
Simak berita lainnya di Harian Umum Sinar Indonesia Baru (SIB). Atau akses melalui http://epaper.hariansib.co/ yang di up-date setiap hari pukul 13.00 WIB.