Kotapinang (SIB)
Sejumlah sopir truk dan pemilik kendaraan bermesin diesel di Kabupaten Labusel mengeluhkan terbitnya Surat Edaran Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi tentang Pengendalian Pendistribusian Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (JBT) bio solar.
Kebijakan yang tertuang dalam Surat Edaran No: 541/3268 tanggal 23 Maret 2022 itu dinilai sangat merugikan dan dapat mengganggu perekonomian.
Dalam surat edaran itu diatur sejumlah ketentuan dalam pembelian bio solar, yakni kendaraan dinas milik instansi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, BUMN, BUMD, dan TNI/Polri dilarang menggunakan JBT jenis bio solar, kecuali kendaraan untuk pelayanan umum seperti ambulan, mobil jenazah, pemadam kebakaran dan pengangkut sampah.
Kemudian kendaraan yang digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan tidak terbatas pada angkutan CPO, angkutan kayu, tambang batuan dan batu bara serta angkutan mixer semen, dilarang menggunakan JBT jenis bio solar.
Selanjutnya, untuk keperluan usaha mikro, usaha perikanan, pertanian, transportasi air dari pelayanan umum juga dilarang menggunakan JBT jenis bio solar tanpa melampirkan surat rekomendasi dari instansi berwenang. Berikutnya, pembelian menggunakan jerigen atau sejenisnya pun dilarang, kecuali untuk keperluan usaha seperti pada poin tiga.
Selain itu, turut diatur tata cara penerbitan surat rekomendasi terkait poin tiga dan empat yang mengacu pada Peraturan BPH Migas No 17 tahun 2019 tentang Penerbitan Surat Rekomendasi Perangkat Daerah untuk pembelian JBT. Turut diatur batas pembelian JBT jenis bio solar, yakni kendaraan pribadi roda empat paling banyak 40 liter per hari per kendaraan, kendaraan umum angkutan orang roda empat paling banyak 60 liter per hari per kendaraan, dan kendaraan umum angkutan barang roda empat atau lebih paling banyak 100 liter per hari per kendaraan.
"Kalau begini ongkos angkutan terpaksa dinaikkan. Karena menggunakan Dexlite harganya jauh lebih nahal. Dampaknya, kalau untuk pengangkutan kelapa sawit, maka harga TBS kelapa sawit menjadi berkurang karena dipotong ongkos.
Sedangkan logistik, harganya di pasaran akan lebih mahal," kata Dedi Siregas Sopir truk di Kotapinang seperti dilansir dari harian SIB.com.
Dijelaskan, ongkos angkutan untuk TBS kelapa sawit menggunakan truk roda enam saat ini berkisar Rp120 hingga Rp150 per Kilogram. Jika truk pengangkut kelapa sawit dilarang beli bio solar, maka sopir truk terpaksa menaikkan harga ke kisaran harga Rp200 hingga Rp250 per Kg.
Hal itu dilakukan untuk menyesuaikan harga bahan bakar dari bio solar ke Dexlite. Sebab kata dia, selisih harga bio solar dengan Dexlite sangat jauh, yakni Rp5.150/liter untuk bio diesel dan Rp13.250/liter untuk Dexlite.
Keluhan senada diutarakan pemilik kendaraan bermesin diesel, Rahmat Ritonga (41) warga Lingkungan Simaninggir, Kelurahan Kotapinang. Menurutnya, kuota 40 liter per hari tidak mencukupi untuk kebutuhan kendaraan.
"Seharusnya yang diatur pemerintah itu kuota bio solar dari Pertamina ke SPBU, bukan pembeliannya. Bio solar itu sangat bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak. Kalau seperti ini, masyarakat akan menerima dampaknya, karena harga-harga akan naik. Belum lagi peralatan mesin yang menggunakan bio solar" katanya.
Manajer SPBU 14.214.288 Titi Kembar, Kelurahan Kotapinang, M Sitompul yang dikonfirmasi mengaku sudah menerima surat edaran tersebut, pada Kamis (24/3). Menurutnya, sejak diterimanya surat tersebut, aturan yang tertuang di dalamnya sudah mulai dijalankan. (SS18/c)