Medan (SIB)
Ketua Komisi D DPRD Sumut Delpin Barus berjanji akan menuntaskan persoalan masyarakat Desa Gajah, Namotonga, Ujung Bandar, Lau Damak dan Desa Empus Kabupaten Langkat yang mengaku jadi korban pembangunan bendungan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro atau Minihidro (PLTM) oleh PT Thong Langkat Energi (TLE) di Kecamatan Kutambaru Langkat.
Penegasan itu dilontarkan Delpin Barus didampingi anggota Komisi D Ronny Reynaldo Situmorang dan Ari Wibowo dalam rapat dengar pendapat dengan masyarakat sejumlah desa di Kabupaten Langkat, General Manager PT TLE (Thong Langkat Energi), Dinas SDA, CKTR (Sumber Daya Air, Cipta Karya Dan Tata Ruang) Sumut, dan Dinas ESDM (Energi Sumber Daya Mineral) Sumut, Senin (4/4), di DPRD Sumut.
"Kami akan menyikapi keluhan warga Langkat yang hingga kini masih teraniaya akibat tanamannya tak bisa dipanen dan ada sebagian yang belum diganti rugi, akibat dampak pembangunan PLTM oleh PT TLE," ujar politisi PDI Perjuangan itu.
Terkait masalah ini, tandas Delpin, Komisi D akan kordinasi dengan pimpinan dewan, untuk turun ke lokasi proyek PLTM, guna melihat persoalannya lebih jelas, agar lembaga legislatif dapat mengambil langkah penyelesaiannya.
Delpin mengaku sangat prihatin atas kondisi yang dialami warga Langkat, sejak dimulainya proyek PLTM pada 2019, hingga kini belum ada titik temunya, terkait ganti untung terhadap lahan sebagian warga yang terkena proyek atau bendungan yang menghasilkan tenaga listrik sebesar 10 MW tersebut.
Sementara dalam pertemuan itu, warga desa Langkat tersebut mengaku menolak tawaran PT TLE yang menawarkan ganti rugi tanah warga sebesar Rp 6 juta/rante, karena dianggap terlalu sedikit sebab masih jauh dari angka layak.
Akibat belum ada kesepakatan soal besaran ganti rugi itu, tegas juru bicara masyarakat, kehidupan mereka menjadi terlantar dan tidak dapat menghidupi sanak keluarganya, karena lahan yang selama ini dijadikan tempat bercocok tanam sudah tenggelam akibat proyek bendungan PLTM.
Akui
Menyikapi hal itu, General Manager PT TLE Berman Pasaribu mengakui belum adanya titik temu soal besaran uang ganti untung yang dituntut masyarakat terhadap perusahaan, karena pihaknya hanya sanggup membayar ganti rugi sebesar Rp6 juta/rante. Apalagi lahan warga yang terkena proyek berada di sempadan sungai yang seharusnya bebas dari penguasaan.
"Tapi karena adanya niat baik perusahaan, dari 103 KK (kepala keluarga) yang menuntut ganti rugi, tahap awal telah kita selesaikan 72 KK dan tahap kedua 12 KK, sehingga tinggal 19 KK lagi yang belum bersedia diberi ganti rugi sesuai harga pasar, yakni Rp6 juta/rante," ujar Berman Pasaribu sembari mengaku akan terus berupaya untuk menyelesaikannya.
Namun, kalau 19 warga tetap tidak bersedia menerima ganti rugi, tambah Berman, pihak perusahaan akan mengajukan permohonan penitipan ganti rugi uang pembebasan lahan kepada Pengadilan Negeri, sebab pembangunan bendungan PLTM itu merupakan proyek strategis pemerintah untuk kepentingan umum.
"Kita memulai proyek ini setelah seluruh surat izinnya keluar yang terlebih dahulu dilakukan sosialisasi kepada masyarakat desa yang ada di sekitar lokasi dan sudah ada kajian maupun penelitian dari sejumlah instansi terkait, baik dari Dinas SDA, CKTR dan sejumlah instansi lainnya.
Namun dikarenakan perseteruan masyarakat dengan PT TLE menyangkut masalah ganti rugi lahan yang merupakan gawenya Komisi A, anggota Komisi D Ari Wibowo dan Ronny Reynaldo Situmorang meminta pimpinan rapat dan masyarakat menunda pertemuan, untuk dijadualkan kembali bersama dengan Komisi A yang membidangi pertanahan dan Komisi D yang membidangi limbah. (A4/a)