Kalangan DPRD Sumut menilai, sangat tidak tepat hakim agung tidak lagi disebut "yang mulia" hanya gara-gara ulah satu orang oknum hakim agung ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Usulan tersebut dianggap emosional, sehingga seluruh hakim agung kena "getahnya".
Hal itu diungkapkan anggota Fraksi Nusantara DPRD Sumut Zeira Salim Ritonga dan Bendahara Fraksi NasDem Dimas Tri Adji kepada wartawan, Selasa (27/9/2022) saat menggelar kegiatan Raker DPRD Sumut di Berastagi Karo.
"Jangan gara-gara seorang oknum hakim agung, seluruh hakim agung kena getahnya atau imbasnya dengan tidak lagi disebut yang mulia. Usulan tersebut sangat tidak tepat dan dianggap sudah mencederai independensi hakim agung," tandas Zeira Salim.
Penegasan itu disampaikan Zeira Salim menanggapi pernyataan mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa di Harian SIB, Selasa (27/9/2022) yang mengusulkan agar tak ada lagi sebutan 'yang mulia' bagi hakim.
"Usulan itu merupakan ekspresi kekecewaan mantan Ketua MA Harifin Tumpa terhadap teman satu korpsnya yang sangat mengotori kemuliaan jabatan hakim agung," tegas Zeira.
Hal yang sama juga disampaikan Dimas Tri Adji, bukan keseluruhan hakim agung yang berprilaku tidak baik.
"Yang perlu dibenahi sebenarnya, dalam proses perekrutan hakim agung, agar benar -benar dilakukan sesuai dengan mekanisme yang ketat serta tidak bermental korup dan semuanya ini kembali kepada mental hakimnya. Kalau masih ada jiwa dan karakter koruptif, dihilangkan pun sebutan "yang mulia", tetap juga korupsi," tandas Dimas.
Selain itu, katanya, penegakan hukum terhadap seluruh pejabat yang koruptif ini harus disertai dengan sanksi berat dan hukuman maksimal sekaligus dilakukan pemiskinan, guna memberikan efek jera, bagi pejabat yang tersangkut hukum.
"Saya kira poinnya jelas, jika hukum lemah, korupsi akan sulit dihentikan, bahkan tidak pernah padam. Apalagi para koruptor ini ada yang diperlakukan istimewa dalam tahanan, tentu dianggap masih ada ruang untuk melakukan perbuatan melawan hukum," tegasnya.(A4).