Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 08 Juli 2025

Raih Penghargaan Tertinggi Ilmuwan Berpengaruh, Taruna Ikrar Ingatkan Ancaman Silent Pandemic Akibat Resistensi Antimikroba

Donna Hutagalung - Sabtu, 04 Januari 2025 16:15 WIB
258 view
Raih Penghargaan Tertinggi Ilmuwan Berpengaruh, Taruna Ikrar Ingatkan Ancaman Silent Pandemic Akibat Resistensi Antimikroba
Foto: SNN/Dok
Prof. dr. Taruna Ikrar, Ph.D., M.Biomed, menerima penghargaan sebagai ilmuwan berpengaruh di Indonesia, di Unpri Medan, Sumatera Utara, Sabtu (4/1/2025).
Medan (harianSIB.com)
Resistensi antimikroba (AMR), sering disebut sebagai "silent pandemic," kini menjadi ancaman serius yang dapat mengguncang sistem kesehatan global. Fenomena ini disorot Prof. dr. Taruna Ikrar, Ph.D., M.Biomed, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, dalam orasi ilmiahnya, di Universitas Prima Indonesia (Unpri), Medan, Sumatera Utara, Sabtu (4/1/2025).

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Taruna juga menerima penghargaan sebagai ilmuwan berpengaruh di Indonesia, yang diserahkan langsung oleh Rektor Unpri, Prof. Dr. Crismis Novalinda Ginting, M.Kes.

Acara ini turut dihadiri Menteri Hukum Dr. Supratman Agtas, Penjabat Gubernur Sumatera Utara, dan sejumlah tokoh akademisi lainnya.

Baca Juga:

Prof. Taruna menjelaskan, resistensi antimikroba terjadi ketika mikroorganisme seperti bakteri, virus, jamur dan parasit mengembangkan kemampuan untuk bertahan hidup meskipun terpapar obat antimikroba yang sebelumnya efektif.

"Fenomena ini merupakan proses evolusi biologis yang kompleks, di mana mikroorganisme dengan keunggulan genetik tertentu mampu bertahan dan berkembang biak, sehingga menghasilkan generasi baru yang lebih resisten," jelasnya.

Baca Juga:

Ia juga menyoroti kemampuan bakteri untuk berbagi informasi genetik melalui mekanisme horizontal gene transfer, yang memungkinkan penyebaran resistensi lintas spesies. Hal ini, menurutnya, menjadi tantangan besar dalam pengendalian infeksi.

*Faktor Pemicu dan Dampaknya*

Menurut Prof. Taruna, penggunaan antibiotik yang tidak rasional dalam bidang kesehatan dan peternakan menjadi pendorong utama resistensi ini.

"Praktik seperti pemberian antibiotik dalam dosis subterapeutik atau penggunaan antibiotik spektrum luas menciptakan tekanan seleksi yang mendorong evolusi mikroorganisme resisten," ungkapnya.

Selain dampak kesehatan, resistensi antimikroba juga memiliki konsekuensi ekonomi yang signifikan. Bank Dunia memperkirakan kerugian global akibat AMR bisa mencapai $100 triliun pada tahun 2050, dengan jutaan penduduk di negara berkembang terancam jatuh ke dalam kemiskinan.

Prof. Taruna menekankan pentingnya pendekatan multidisipliner dalam menghadapi AMR. Upaya ini membutuhkan kolaborasi antara mikrobiologi, genetika, epidemiologi dan kebijakan kesehatan.

Strategi yang diusulkan meliputi penggunaan antibiotik yang bijak, pengembangan terapi inovatif seperti terapi fago, serta edukasi masyarakat tentang bahaya resistensi antimikroba.

*Tentang Prof Taruna Ikrar*

Sebagai salah satu ilmuwan terkemuka Indonesia, Prof. Taruna memiliki rekam jejak akademik dan profesional yang mengesankan. Ia adalah lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan meraih gelar Ph.D. dalam bidang Kardiofarmakologi dari Niigata University, Jepang. Pengalamannya mencakup penelitian di Universitas California, Irvine, dan Harvard University.

Selain menjadi Kepala BPOM, Prof. Taruna telah mempublikasikan lebih dari 100 penelitian di jurnal internasional, dengan fokus pada farmakologi, neurosains, dan terapi sel punca. Atas kontribusinya, ia menerima berbagai penghargaan bergengsi, termasuk Outstanding Scientist dari Pemerintah AS pada 2014.

Resistensi antimikroba adalah tantangan global yang memerlukan perhatian serius dan tindakan segera. Dengan kepemimpinan ilmuwan seperti Prof. Taruna Ikrar, diharapkan Indonesia dapat menjadi pionir dalam penanganan krisis ini, baik melalui riset, kebijakan, maupun edukasi masyarakat. (*)

Editor
: Donna Hutagalung
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru