Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Selasa, 22 Juli 2025

SETARA: Perundungan Beda Suku dan Agama di SD Inhu Langgar Berat Hak Anak

Rido Sitompul - Minggu, 01 Juni 2025 10:08 WIB
690 view
SETARA: Perundungan Beda Suku dan Agama di SD Inhu Langgar Berat Hak Anak
(ANTARA News /Andre Angkawijaya)
ilustrasi bully
Medan(harianSIB.com)
SETARA Institute menyatakan bahwa perundungan yang diduga bermotif perbedaan agama dan suku terhadap seorang siswa Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau, merupakan pelanggaran berat terhadap hak-anak dan prinsip kebebasan beragama yang dijamin konstitusi.

"Tindakan kekerasan yang berujung pada kematian korban adalah pelanggaran serius terhadap hak anak sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, serta terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945," kata Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, dalam keterangan tertulis sebagaimana dikutip harianSIB.com, Minggu (1/6/2025).

Korban berinisial KB (8), siswa kelas II SD, meninggal dunia pada Senin (26/5/2025) pukul 02.30 WIB di RSUD Indrasari Rengat, setelah dirawat beberapa hari usai diduga mengalami perundungan oleh lima siswa kakak kelas pada Rabu (21/5/2025).

Baca Juga:

Ayah korban, Gimson Beni Butarbutar (38) didampingi ibu korban, Siska Yusniati Sibarani (30) mengungkapkan bahwa anaknya kerap menjadi sasaran ejekan terkait latar belakang agama dan suku.

"Seminggu sebelumnya dia sering dibully. Disebut-sebut soal suku dan agamanya. Itu sebelum dia jatuh sakit," ujarnya dikutip dari Kompas.com, Selasa (27/5/2025).

Baca Juga:

SETARA menilai kasus ini sebagai bukti nyata bahwa benih intoleransi telah merambah generasi anak-anak, bahkan di tingkat sekolah dasar.

"Fenomena ini menunjukkan bahwa intoleransi tidak lagi terbatas di kalangan remaja, melainkan sudah menjangkiti usia lebih muda," ucap Halili.

Berdasarkan survei yang dilakukan SETARA Institute pada Februari 2023, sebanyak 24,2 persen siswa SMA tergolong intoleran pasif, 5 persen intoleran aktif, dan 0,6 persen telah terpapar ideologi ekstremisme kekerasan.

SETARA mendesak negara untuk tidak bersikap abai. Pemerintah diminta hadir dan mengambil langkah nyata dalam menjamin perlindungan anak, khususnya yang berasal dari kelompok minoritas agama dan suku, serta memastikan para pelaku dan pihak yang lalai diproses sesuai hukum.

"Kepolisian harus mengusut tuntas kasus ini secara profesional, termasuk dugaan pembiaran oleh orang dewasa. LPSK juga perlu memberikan perlindungan kepada keluarga korban," tegas Halili.

SETARA juga meminta evaluasi menyeluruh terhadap lingkungan sekolah yang menjadi tempat terjadinya diskriminasi dan kekerasan.

Pemerintah daerah diminta memobilisasi sumber daya pendidikan untuk menciptakan sekolah yang aman, inklusif, dan non-diskriminatif.

Lebih lanjut, keberadaan Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK) yang dibentuk berdasarkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 dinilai belum efektif.

"TPPK seharusnya mampu mencegah kasus seperti ini," tambahnya.

SETARA turut mendorong Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk memberikan rehabilitasi psikologis bagi keluarga korban serta memastikan perlindungan hukum terhadap anak-anak yang terlibat, baik korban maupun pelaku.

Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri juga didorong untuk menyusun langkah konkret dalam mencegah diskriminasi berbasis agama di tingkat lokal, serta membangun toleransi dan perjumpaan lintas identitas sejak usia dini.

Sementara itu, proses penyelidikan oleh pihak kepolisian terhadap dugaan perundungan yang dialami KB masih terus berlangsung.

Kapolres Inhu, AKBP Fahrian Saleh Siregar, menjelaskan bahwa pihaknya sedang melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi dan menunggu hasil otopsi untuk mengungkap penyebab kematian korban.

"Otopsi dilakukan baru tadi malam. Kami masih menunggu hasil otopsi, biar tahu pasti apa penyebab korban meninggal dunia," ujar Fahrian kepada Kompas.com melalui sambungan telepon sebagaimana dikutip harianSIB.com, Sabtu.

Kasus ini dilaporkan oleh ibu kandung korban, yang mengungkapkan dugaan adanya kekerasan fisik dan perundungan yang dialami anaknya.

Kronologi kejadian bermula pada Rabu (21/5/2025), sekitar pukul 20.25 WIB, ketika Siska menghubungi wali kelas korban, Febri, melalui WhatsApp.

Ia mengungkapkan keluhan anaknya yang merasa sakit pada bagian perut dan mengalami pembengkakan. Ibu korban juga menyatakan bahwa ia mengetahui adanya pemukulan dan perundungan (bullying) yang diduga dilakukan oleh kakak kelasnya.

Meskipun awalnya korban tidak mau mengaku menjadi korban pemukulan, seorang temannya berinisial RO memberitahu bahwa RB telah memukulinya.

Ibu korban berupaya mencari solusi melalui wali kelasnya, mengingat kondisi anaknya yang terlihat membungkuk akibat kesakitan.

Korban juga mengaku sering dirundung yang membuat ayahnya marah. Febri, sebagai wali kelas, mengaku tidak mengetahui kejadian pemukulan tersebut, namun ia melaporkan informasi itu kepada kepala sekolah.

Pada Jumat (23/5/2025), kepala sekolah Sutarno memanggil para pelaku untuk melakukan mediasi dan perdamaian. Dalam mediasi tersebut, orangtua korban juga hadir dan mencapai kesepakatan damai, meskipun kondisi korban masih dalam keadaan membungkuk akibat sakit.

Namun, pada Senin (26/5/2025), sekitar pukul 02.30 WIB, wali kelas Eka Juliarti dihubungi oleh orangtua korban yang meminta untuk melayat karena korban telah meninggal dunia.

Tak terima dengan kematian anaknya yang diduga akibat dipukuli, orangtua korban melaporkan kejadian ini ke Polsek Seberida agar para pelaku diproses hukum.

Kapolres Inhu mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan medis sementara, ditemukan beberapa tanda kekerasan di tubuh korban.

Lima orang terduga pelaku yang terlibat dalam kasus ini masing-masing berinisial HM (12), RK (13), MJ (11), DR (11), dan NN (13). (*)

Editor
: Eva Rina Pelawi
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru