Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan
Rabu, 09 Juli 2025

OTT KPK terhadap Kadis PUPR Bukti Sumut Darurat Reformasi Birokrasi

Duga Munte - Selasa, 08 Juli 2025 15:34 WIB
213 view
OTT KPK terhadap Kadis PUPR Bukti Sumut Darurat Reformasi Birokrasi
Ist/SNN
Shohibul Anshor Siregar
Medan(harianSIB.com)

Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Sumut, Rabu (2/7/2025) lalu, telah mengguncang sekaligus menelanjangi paradoks deklarasi "Pemerintahan Bersih" Bobby Nasution yang dicanangkan saat pelantikan November 2024.

Demikian Shohibul Anshor Siregar, Dosen Sosiologi Politik FISIP UMSU, ketika dihubungi Jurnalis SIB News Network (SNN) di Medan, Selasa (8/7/2025). Dikatakan, kasus ini mencerminkan patologi sistemik suksesi politik Indonesia.

Baca Juga:

"Kita masih ingat 309 sengketa Pilkada 2024 membuktikan elite terpilih berutang budak pada pendukung. Korupsi menjadi mekanisme balas jasa yang terinstitusionalisasi. Ini bukan kecelakaan lokal, melainkan penyakit kronis demokrasi elektoral kita," tegas Siregar.

Keterlibatan Kadis PUPR, arsitek kunci pembangunan Medan era Bobby sebagai Wali Kota (2020-2024), menurut Shohibul, menguatkan tesis "korupsi berbasis loyalitas".

Baca Juga:

"Ini pola klasik, proyek infrastruktur dijadikan mata uang pertukaran dalam jaringan patron-klien," papar Siregar.
Ironisnya, proyek yang diduga dikorupsi justru bagian dari program unggulan gubernur.

Menurut Shohibul, "keberanian" KPK menangkap orang dalam Bobby mengundang pertanyaan krusial, terutama karena Bobby adalah menantu Presiden Jokowi dan ipar Wapres Gibran.

Siregar melihat dinamika baru bahwa KPK bergerak meski Bobby bersinggungan dengan istana, menunjukkan dua kemungkinan. Pertama, otonomi relatif KPK di era Prabowo dan kedua, ini strategi politik untuk menata ulang peta kekuasaan dengan membatasi klan.

Siregar pun memetakan skenario genting. "Jika ditemukan aliran dana ke lingkaran gubernur, Bobby bisa jadi korban konsolidasi kekuasaan nasional Prabowo. Sementara dalam posisi Gibran sebagai Wapres, intervensi langsung ke KPK adalah bunuh diri politik. Tapi bila diam, ia dinilai gagal lindungi keluarga – ini jebakan legitimasi yang amat serius dan berbahaya," sebut Shohibul.


Meski OTT memicu spekulasi keretakan poros Jokowi-Prabowo, Siregar justru membaca ini bisa sebagai manuver penataan aliansi.

"Bagaimana jika, misalnya, Prabowo diposisikan merasa perlu mengurangi ketergantungan pada jaringan Jokowi, sedangkan pada saat dan dengan fenomena yang sama Gibran diuji membangun otoritas mandiri tanpa 'payung ayah'. Karena itulah OTT ini dapat ditandai sebagai sinyal kecil renegosiasi kekuatan menuju suksesi 2029," kata Siregar

Shohibul Siregar menegaskan, kasus ini adalah lampu merah kegagalan tata kelola.


"Rantai masalah – dari Pilkada bermasalah, penolakan Kemendagri atas pengisian jabatan, hingga korupsi lingkaran dalam – membuktikan Sumut darurat reformasi birokrasi. Deklarasi 'pemerintahan bersih' tinggal retorika kosong jika tanpa pembongkaran sistemik," tegas Shohibul.


Bobby, lanjutnya, kini dihadapkan pada dilema menegangkan, 'Membiarkan KPK bekerja independen (risiko keterlibatan terungkap), atau memanfaatkan sisa jaringan kekuasaan keluarga untuk intervensi (risiko skandal nasional).


Shohibul mengingatkan perkembangan beberapa hari ke depan potensil menentukan nasib politik Bobby.

"Jika selamat, publik akan membaca ini bukan karena ia bersih, tapi karena elite nasional belum membutuhkan tumbalnya," kata Shohibul.

Pilihan Bobby hari ini, lanjutnya, akan menentukan masa depan poros keluarga Jokowi (khususnya Bobby-Gibran) dalam peta suksesi 2029.

"Satu hal yang pasti, bayang-bayang dinasti tak lagi cukup untuk membentangi praktik korupsi," pungkasnya. (**)

Editor
: Wilfred Manullang
SHARE:
Tags
komentar
beritaTerbaru