Medan (SIB)- Federasi - Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman (F-SP-RTMM) menggelar sosialisasi pengenalan dan pemahaman tentang pekerja rumahan perempuan bagi anggota organisasi SP RTMM SPSI , Kamis (7/5) di Lubuk Pakam, Deliserdang, untuk menambah pengetahuan tentang pelanggaran hak normatif bagi pekerja rumahan di dunia industri.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum F-SP-RTMM Drs H Mukhyir Hasan Hasibuan kepada wartawan, Kamis (7/5) di Medan seusai membuka sosialisasi .
"Pekerja rumahan bukan masuk kategori Asisten Rumah Tangga (ART), namun mereka umumnya mengambil upahan dari perusahaan industri dan Usaha Kecil Menengah (UKM), sehingga perlu diberikan pengetahuan kepada seluruh pekerja," ujar Mukhyir Hasan Hasibuan.
Mukhyir mengaku prihatin masih banyak pekerja rumahan yang belum terlindungi Undang-Undang Ketenagakerjaan, sehingga melalui sosialisasi ini diharapkan kepada para pimpinan RTMM di daerah bisa lebih memperhatikan persoalan tersebut. "Pekerja rumahan belum terlindungi dari semua segi, baik pendidikan, kesehatan, kecelakaan kerja maupun jaminan hari tua," katanya.
Ia mencontohkan beberapa kategori pekerja rumahan seperti, memasang kancing baju pada usaha konveksi, membuat sapu dan lain-lain. Para pekerjaan ini umumnya dilakukan oleh perempuan dan ibu rumah tangga dengan tujuan membantu suami mencari nafkah. Tapi mereka tidak memahami bahwa hak-hak normatifnya tidak terlindungi.
Atas dasar tersebut, katanya, organisasi pekerja ini menggelar sosialisasi bekerjasama dengan ILO menghadirkan para Pimpinan Unit Kerja (PUK) SP RTMM SPSI kabupaten/kota se Sumut, agar hak-hak pekerja rumah ini bisa terlindungi undang-undang.
Dalam sosialisasi tersebut, tandas Mukhyir , juga hadir Pengurus Pusat F-SP RTMM SPSI Widodo Lestario, Kordinator ILO untuk Provinsi Sumut, Novita Indriana juga memaparkan fakta di lapangan, telah menemukan di enam provinsi yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, Banten dan Sumatera Utara, sebanyak 4.645 pekerja rumahan yang sudah terorganisir.
"Namun masih ada puluhan ribu pekerja rumahan mayoritas perempuan yang belum terkordinir dan teridentifikasi. Mereka umumnya tidak terikat dengan jam kerja dan tidak ada pengawasan secara langsung, karena membawa pekerjaannya ke rumah masing-masing. Sedangkan upah yang dihitung berdasarkan banyaknya produk yang dihasilkan,†katanya.
Namun di balik itu, tandas Widodo, pekerja rumahan ini mengalami situasi yang sangat eksploitatif, bekerja selama berjam-jam dan hanya mendapatkan upah yang jauh di bawah upah minimum yang telah tersistem dimana mereka tidak memiliki daya tawar dan tanpa kepastian kerja.
Padahal, lanjunya, pekerja rumahan merupakan pekerja yang dibuktikan dengan terpenuhinya unsur yang termaktub dalam Pasal 1 (ayat 3 ) UU No 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) yang menyebutkan bahwa pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
"Dalam ketentuan UU Ketenagakerjaan memang tidak disebutkan pekerja formal maupun informal akan tetapi, setiap orang tentu berlaku juga bagi tenaga kerja baik formal maupun informal, laki-laki maupun perempuan,†tandas Widodo.
Dalam sosialisasi pekerja rumahan yang berlangsung sehari penuh itu, juga terlihat hadir Ketua F-SP-RTMM Sumut Ismayadi dan Pimpinan Cabang (PC) RTMM Deli Serdang Mujariono yang begitu bersemangat, karena kegiatan tersebut digelar di Kabupaten Deli Serdang.
(A03/c)