Seringkali kita mengeluh dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Terutama pada saat mengalami hal-hal yang tidak mengenakkan. Rasanya dunia seolah mau runtuh. Dampaknya bermacam-macam. Ada yang semangat hidupnya menurun, daya produktivitas menjadi padam, pokoknya semua terasa tak mengenakkan. Orang seperti ini biasanya menganggap kehidupan begitu tidak adil dan kejam.
Sebaliknya, ketika kita mengalami hal-hal yang menyenangkan, sebagian kita lupa daratan. Rasa syukur jarang diucapkan. Kita merasa kesenangan hidup bagaikan kenikmatan yang tak berujung dan akan terus menempel dalam kehidupan ini. Kebanyakan terlena dan terjebak dalam zona kenyamanan.
Dalam Sutra Intan (Diamond Sutra) disebutkan bahwa "semua fenomena ataupun kejadian dalam kehidupan di dunia bagaikan mimpi, ilusi, gelembung udara, bayangan, tetesan embun dan petir...".
Jika kita merenungkan, perumpamaan fenomena yang disebutkan dalam sutra terkenal tersebut, tentunya pernah kita kenal, pernah lihat atau alami dalam hidup ini. Misalnya, mimpi, begitu kita terbangun maka semuanya akan sirna. Gelembung udara, bayangan, tetesan embun dan petir, juga tak abadi. Semuanya datang dan pergi sesuai waktu dan kondisi. Apakah dari semua itu ada yang bertahan terus? Tidak ada. Ya, hidup penuh dengan hal-hal yang sebenarnya hanya permainan pikiran kita semata. Tak ada yang benar-benar nyata. Karena apa yang timbul akan tenggelam, demikian selanjutnya, tanpa henti. Itulah ilusi.
Ada sebuah pengalaman nyata tentang seorang teman. Ia pernah menjadi sangat kaya. Hidupnya penuh gelimang kemewahan. Pada saat bersenang-senang, banyak teman yang mendampinginya.
Sampai satu saat, bisnis yang dikelolanya bangkrut, dan ia pun jatuh miskin. Teman-teman yang dulunya selalu ikut bersenang-senang mulai menjauh dan kemudian menghilang. Tinggallah ia sendiri. Seiring bertambahnya usia, satu persatu penyakit fisik menimpa dirinya. Kini ia menjadi sosok yang tak berdaya. Masa tuanya dijalani dengan penuh kesusahan dan kemiskinan. Hanya keluarga-lah yang masih setia mendampinginya.
Awalnya sang teman tak menerima kondisi pahit ini. Rasanya sulit menerima bahwa beberapa tahun lalu ia masih memiliki segala-galanya dan sekarang semua hilang tak berbekas. Berbagai perasaan negatif berkecamuk dalam dirinya: dendam, sedih, marah, gelisah, semuanya berbaur menjadi satu.
Untunglah, sampai satu saat, ia mulai mengenal Buddha Dharma, dan secara perlahan mempelajarinya secara tekun. Ia mulai memahami hakikat kehidupan. Bahwa semua di dunia ini tak ada yang pasti. Benda-benda material yang dikumpulkan dengan susah payah, perlahan memang akan rusak, pun dapat hilang, dicuri atau musnah karena bencana alam. Demikian pula jabatan tinggi cepat-lambat akan kita lepaskan karena lambat laun akan muncul generasi muda yang lebih energik dan kreatif. Si teman pelan-pelan menyadari kondisi ini. Ia mulai paham, bahwa ia sudah mengalami kebenaran sebagaimana yang Buddha ajarkan.
Ia mulai menerima kondisi yang kini menimpa dirinya. Ia juga mencoba bersyukur bahwa ia masih beruntung karena sempat mengalami masa-masa jaya dalam hidupnya. Ada orang yang sepanjang khayatnya tak pernah menikmati kesenangan hidup.
Jika selama ini, ia hanya mementingkan kesenangan pribadi, maka sekarang ia mulai berlatih berbagi. Memang yang dibagikan bukan lagi materi tetapi kisah hidupnya sembari berpesan untuk selalu menghargai kehidupan, lalu berbagi kebahagiaan dan tentunya berbagi manfaat dari belajar Dharma.
Si teman menjadi pulih kepercayaan dirinya. Ternyata hidupnya tak sejelek yang ia bayangkan. Setidaknya ia masih bisa bertahan hidup. Dan yang terpenting, ia menjadi lebih bijaksana dalam menjalani kehidupannya. Ia maju dalam bathin. Dan anehnya, menurut pengakuannya, ia justru merasa hidupnya jauh lebih bermakna ketimbang ketika ia mengalami masa kejayaan.
Saat ini, ia menikmati kondisi hari tuanya sembari tetap tekun mempelajari Dharma. Secara perlahan, anak-anaknya mulai mandiri dan sedikitnya telah menyokong kehidupannya. Kepahitan yang dulu dirasakan sekarang menjadi pengalaman indah. Ia berkata, sekalipun ia tutup usia, ia merasa puas. Karena telah mampu mendapatkan makna kehidupan ini.
Dalam doktrin Empat Kebenaran Mulia (Cattari Ariya Saccani) disebutkan Kebenaran Mulia pertama adalah hidup ini penuh dengan hal-hal yang tidak menyenangkan, yang tidak permanen atau selalu berubah-ubah (dukkha). Manusia yang bisa segera menyadari akan Kebenaran ini akan berpotensi untuk lebih cepat pula mengetahui realitas kehidupan. Sehingga dalam tahapan selanjutnya, akan lebih mudah untuk menyadari akar penderitaan itu sendiri. Lalu mencari solusi untuk bebas darinya.
Jika demikian, maka pintu gerbang menuju kesejatian sudah terbuka. Kita tinggal masuk ke dalamnya dan satu saat, akan memetik hasilnya! (*Penulis adalah Duta Dharma serta Pengurus Majelis Buddhayana Indonesia/MBI Provinsi Sumatera Utara/d)